Mendayung di Tengah Ombak Benturan Dua Kekuatan Dunia
Sepanjang 2019, tahun penutup dekade kedua pada awal milenium ketiga ini, dunia diwarnai gejolak unjuk rasa di sejumlah negara yang mendesak perombakan sistem politik.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
Usia Republik Indonesia pada 2020—yang tinggal dalam hitungan beberapa hari lagi—memasuki 75 tahun. Sepanjang 2019, tahun penutup dekade kedua pada awal milenium ketiga ini, dunia diwarnai gejolak unjuk rasa di sejumlah negara yang mendesak perombakan sistem politik. Benturan Amerika Serikat-China, dua kekuatan yang tengah memperebutkan supremasi dunia lewat perang dagang, belum terlihat akan berakhir.
Sejumlah konflik dan perang saudara di beberapa negara, terutama di Timur Tengah (Suriah, Yaman, dan Libya) belum reda. Perang baru nyaris meletus antara AS dan Iran. Di Semenanjung Korea, setelah perundingannya dengan AS tak berbuah hasil, Korea Utara terus memantik ketegangan lewat sejumlah uji coba rudal.
Beberapa pengamat internasional memaknai benang merah dari berbagai rentetan peristiwa dunia itu dengan berbagai perspektif. Sebagian mencatat tanda kemerosotan tata dunia liberal, yang kerap diistilahkan tata aturan internasional yang liberal (liberal international rules-based order).
Kebangkitan China dan benturannya dengan AS mengingatkan pada apa yang disebut ”jebakan Thucydides”. ”Kebangkitan Athena dan kecemasan yang terpatri di Sparta, yang menyebabkan perang tak terelakkan,” kata Thucydides.
Sejarawan Yunani kuno itu melukiskan ketegangan berbahaya antara Athena yang sedang bangkit dan Sparta yang berkuasa, lebih dari 2.400 tahun silam. Cerita kuno itu kerap diangkat sebagai pengingat agar benturan AS-China saat ini bisa dikelola dan tak berujung perang.
Dalam situasi tersebut, sangat penting artinya bagi Indonesia menempatkan diri secara tepat. Karena itu, sungguh pas sekali momentumnya saat, Juni lalu, Pandangan Indo-Pasifik yang digagas Indonesia diadopsi ASEAN. Pandangan Indo-Pasifik ASEAN itu bekal sangat berharga dalam mendayung di kawasan yang tengah berombak akibat benturan kekuatan-kekuatan dunia, termasuk persaingan AS-China.
Di sisi lain, sebagian pengamat, seperti Francis Fukuyama, mengamati adanya kebangkitan politik identitas. Politik identitas kini menjadi konsep utama—bukan lagi fenomena pinggiran—yang menjelaskan banyak peristiwa di panggung global saat ini. Peristiwa politik di Tanah Air beberapa tahun terakhir ini juga tak luput dari gelombang politik identitas itu.
Fenomena politik identitas menguat di tengah kegagalan tata dunia liberal mengatasi ketidakadilan ekonomi dan kesenjangan sosial. Sentimen dan persepsi ketersingkiran dimanfaatkan buat menebalkan identitas, baik identitas nasional, agama, etnis, seks, jender, maupun lainnya (Foreign Affairs, September/Oktober 2018).
Hegemoni ”illiberal”
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dan kemenangan kelompok pro-Brexit di Inggris dalam pemilu dan referendum tahun 2016 adalah contoh paling menonjol dari fenomena politik identitas dan penanda merosotnya tata dunia liberal. Sejak dilantik pada 2017, Trump mengubah total model hegemoni AS.
Ia cenderung memilih kompetisi dibandingkan kerja sama; proteksionisme dibandingkan perdagangan bebas, unilateralisme dibandingkan multilateralisme; dan otoritarianisme dibandingkan demokrasi. Barry R Posen, Direktur Program Studi-studi Keamanan pada Massachusetts Institute of Technology, menyebut hal itu sebagai hegemoni illiberal (illiberal hegemony). Istilah ini untuk melukiskan strategi besar Trump untuk mempertahankan superioritas ekonomi dan militer AS serta penentu keamanan di hampir semua kawasan dengan menanggalkan demokrasi dan kesepakatan multilateral.
Ketegangan-ketegangan di beberapa kawasan sepanjang 2019 menjadi efek dari pendekatan itu. Kawasan Teluk Arab, misalnya, memanas sejak Mei hingga Oktober: serangan dan penahanan terhadap kapal-kapal tanker, penembakan kapal nirawak AS oleh Iran, serangan atas kilang minyak di Arab Saudi, dan serangan rudal ke kapal tanker Iran. Pada 20 Juni 2019, AS nyaris mengebom Iran sebelum dibatalkan beberapa saat sebelum serangan dieksekusi.
Akar berbagai ketegangan itu adalah keputusan AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran pada 2018. Keputusan ini disusul dengan kebijakan ”tekanan maksimum” lewat penerapan kembali sanksi ekonomi kepada Teheran. Di Asia-Pasifik, benturan AS-China tak hanya berwujud perang dagang, tetapi merambah bidang keamanan. Bagi ASEAN, situasi itu harus diwaspadai.
Salah satu titik panas persaingan AS-China berlokasi di Laut China Selatan. Apalagi, empat negara ASEAN, yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Filipina, plus Taiwan, terlibat dalam sengketa klaim dengan China di perairan itu. Tarik-menarik kepentingan AS dan China kerap mewarnai dinamika di ASEAN.
Laporan tahunan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2019 menunjukkan, belanja pertahanan AS dan China tahun 2018 mencapai separuh dari total belanja pertahanan global. Belanja pertahanan AS dan China secara berurutan naik 4,6 persen menjadi 649 miliar dollar AS dan naik 5 persen menjadi 250 miliar dollar AS.
Dalam konteks tersebut, Jepang untuk pertama kali menempatkan militer China di posisi kedua sebagai fokus perhatian setelah AS. NATO juga mencermati militer China lebih intensif. Sebagian keperkasaan militer China itu dipamerkan dalam perayaan 70 tahun RRC, 1 Oktober 2019, saat Beijing memperlihatkan rudal supersonik berhulu ledak nuklir berdaya jangkau 15.000 kilometer, Dongfeng (DF)-41.
Di pengujung tahun 2019 ini, kelompok pro-Brexit di Inggris unggul meyakinkan dan berupaya mempercepat proses Brexit tahun 2020. Di AS, Trump didakwa pemakzulan di DPR. Ia mungkin bisa selamat dalam sidang pemakzulan di Senat dan menghadapi pemilu presiden, November 2020, yang akan kembali menebalkan politik identitas di negeri itu, seperti disinggung Fukuyama.
Siapa pun pemenangnya, Trump atau kandidat Demokrat, banyak pengamat memperkirakan tidak akan meredakan rivalitas AS dan China.