Bukan kebetulan gerhana matahari cincin (GMC) berlangsung tanggal 26 Desember, bertepatan dengan peringatan 15 tahun gempa bumi dan tsunami di Aceh.
Oleh
·2 menit baca
Kedua peristiwa alam dahsyat dan fenomenal tersebut kita kenang dan kita catat sebagai wujud khidmat kita terhadap alam, terlebih lagi terhadap Allah Sang Maha Pencipta. Gempa dan tsunami Aceh yang menelan korban jiwa tidak kurang dari 200.000 orang melahirkan selain trauma juga menjadikan bangsa Indonesia tersadar bahwa kita hidup di kawasan Cincin Api, dengan deretan gunung api yang tiap saat meletus, dan pertemuan lempeng besar dunia, yang tiap saat bisa menimbulkan gempa.
Terjadinya gempa dan tsunami berikutnya, dari Yogyakarta (2006) hingga Palu (2018), menguatkan kesadaran masyarakat untuk menjadi bangsa pemelajar, yang serius mempelajari ihwal gempa dan tsunami, juga cara meminimalkan dampak dan menyelamatkan diri manakala tsunami datang.
Berkah lain akibat rentetan bencana gempa dan tsunami membuat ilmu alam yang semula kurang dikenal dan dipandang kurang penting menjadi bidang menarik dan perlu diberi prioritas, seperti geologi, vulkanologi, dan seismologi. Hal sama kiranya juga perlu kita tujukan terhadap ilmu astronomi, yang mempelajari berbagai hal tentang benda langit.
Terjadinya gerhana matahari dan gerhana bulan sudah bisa diprakirakan dengan eksak karena para astronom dengan tekun mempelajari ilmu mekanika benda langit, yang antara lain mengamati dengan saksama orbit dan pergerakan benda-benda langit seperti Matahari dan Bulan.
Kini jauh hari sebelum gerhana terjadi, ilmuwan sudah mengetahui, untuk Indonesia, GMC akan melintasi tujuh provinsi dan 25 kabupaten/kota di Sumatera dan Kalimantan. Diketahui pula, GMC bermula di tenggara Jazirah Arab dan berakhir di bagian barat Samudra Pasifik.
Sebagai bangsa yang tinggal di wilayah geografi luas, Indonesia beruntung sering dilintasi gerhana matahari, termasuk gerhana matahari total yang bila dikaji saksama bisa menjadi kontribusi ilmiah penting, mengikuti apa yang di abad silam dilakukan oleh Ekspedisi Sir Arthur Eddington untuk memverifikasi Teori Relativitas Umum Albert Einstein.
Mempelajari geologi dan astronomi memang dari satu sisi merupakan panggilan tulus bagi mereka yang berjiwa ilmiah dan mencintai alam dan sains. Namun, iklim keilmuan hanya bisa tumbuh subur jika ada insentif sebagai pendorong. Adanya beasiswa juga pendirian laboratorium dan sarana-prasarana lain adalah beberapa di antaranya.
Tanpa berkembangnya semangat cinta alam dan ilmu pengetahuan, kita akan tumbuh sebagai bangsa yang kering. Hal ini akan membuat kita berkembang menjadi bangsa yang tidak rasional, suka takhayul dan mistik, tetapi juga menyia-nyiakan berkah dan karunia alam yang semestinya membuat Indonesia yang dihormati dalam ilmu kealaman.
Selain geologi dan vulkanologi, kita tak boleh melupakan disiplin geofisika dan meteorologi, justru di saat kita menghadapi kegentingan saat pemanasan global kian kritis.