Api dalam Sekam Bernama Perbedaan
Kemelut di antara kelompok berbeda identitas, pandangan, serta pilihan politik, masih terus digoreng hingga kini. Perbedaan bahan bakarnya, dan media sosial tungkunya. Inilah salah satu catatan akhir tahun di Ibu Kota.
Penduduk Jakarta tidak bisa langsung lega setelah pesta pemilihan gubernur 2017 dan kontestasi merebut posisi kepala negara tahun ini berakhir. Kemelut di antara kelompok yang berbeda identitas, pandangan, serta pilihan politik, masih terus digoreng bahkan hingga sekarang. Perbedaan sebagai bahan bakarnya, dan media sosial sebagai tungkunya. Inilah salah satu catatan akhir tahun 2019 bagi Ibu Kota.
“Kalo ahok yg Gelar acara ini, gimana reaksi FPI n HTI yaa…??? Menag Puji Anies Baswedan Gelar Christmas Carol Jelang Natal.”
Demikian cuitan salah satu akun di jagad Twitter hari Jumat (20/12/2019) silam. Sudah lebih dari dua setengah tahun sejak pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI putaran kedua tanggal 19 April 2017 dihelat. Namun, masih ada saja pemilik akun medsos yang membenturkan pendukung dua calon gubernur saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (ketika itu akrab disapa Ahok) dan Anies Baswedan yang saat ini sudah memimpin DKI selama 802 hari (16 Oktober 2017-27 Desember 2019).
Entah itu akun milik pendukung fanatik Basuki atau merupakan akun beridentitas palsu yang memanfaatkan rasa kecewa berkepanjangan barisan belum bisa “move on”. Motifnya bisa jadi untuk mendapat perhatian khalayak di alam maya yang kemudian dikonversi jadi rupiah (cuitan tadi disukai 683 akun dan dicuit ulang 142 akun). Yang jelas, ia membuktikan, perseteruan pendukung Basuki dan pendukung Anies masih laku dijual.
Ini juga jadi bukti masih langgengnya intoleransi di antara kubu yang berseberangan. Perseteruan pendukung Basuki kontra Anies sangat kentara terkait dengan perbedaan identitas, utamanya identitas agama. Anies merupakan Muslim dan meraih dukungan suara dari kelompok-kelompok berbasis agama Islam, sedangkan Basuki, gubernur DKI 2014-2017, beragama Kristen dan berasal dari etnis Tionghoa.
Baca juga : Perkuat Moderasi Beragama di Berbagai Lini
Konflik tak terhindarkan lantaran beredarnya rekaman berisi pidato Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 yang dinilai menghina Islam. Namun, keterbelahan posisi soal ada-tidaknya unsur penistaan agama pada pidato Basuki, tidak hanya muncul di antara umat berbeda agama, tetapi juga di dalam kalangan umat Muslim sendiri.
Basuki memilih menerima vonis hakim yang menyatakan ia bersalah dalam perkara penodaan agama dan mendekam di penjara dua tahun lamanya. Sebelumnya, ia dengan legowo menerima kemenangan pasangan Anies-Sandiaga Uno bahkan sejak baru dinyatakan oleh hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei.
Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dibuat Kementerian Agama merekam perubahan persepsi masyarakat terkait kerukunan umat beragama yang mengiringi pilkada DKI. Meski Kemenag tidak menyatakan ada hubungannya dengan pemilihan gubernur yang diwarnai isu penodaan agama tersebut, skor DKI dalam Indeks KUB nyata-nyata turun pasca pilkada.
Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dibuat Kementerian Agama merekam perubahan persepsi masyarakat terkait kerukunan umat beragama yang mengiringi pilkada DKI. Meski Kemenag tidak menyatakan ada hubungannya dengan pemilihan gubernur yang diwarnai isu penodaan agama tersebut, skor DKI dalam Indeks KUB nyata-nyata turun pasca pilkada.
Tahun 2017, skor DKI 73,9 sedangkan pada 2018 menjadi 70,2. Dibanding angka rata-rata nasional, skor DKI tergolong jeblok, dari yang tadinya di atas angka rata-rata nasional (72,2 pada 2017) menjadi di bawah rata-rata (70,9 pada 2018).
Setelah perbedaan identitas meramaikan pertarungan dalam pemilihan kepala daerah DKI 2017, “senjata” itu kembali dicoba untuk pilpres 2019. Terdapat organisasi masyarakat berbasis agama yang mendorong publik memilih salah satu calon karena dinilai lebih membela agama dibanding yang lain.
Publik yang lega setelah selesai mencoblos tanggal 17 April 2019 kembali cemas karena upaya pembelahan rupanya belum usai. Puncaknya, kerusuhan Mei di Jakarta yang mengiringi pengumuman kemenangan pasangan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin oleh Komisi Pemilihan Umum tanggal 21 Mei 2019.
Kerisauan masih membayangi sampai pelantikan Presiden Jokowi-Wapres Amin tanggal 20 Oktober 2019. Energi terkuras sehabis-habisnya hanya karena berkuasanya rasa takut terhadap ancaman teror, khususnya bagi warga Ibu Kota.
Baca juga : Buka Ruang Interaksi
Langkah pemerintah
Publik yang capek dengan segregasi karena pilihan politik mendamba rekonsiliasi. Presiden Jokowi dan rivalnya capres Prabowo Subianto menjawab angan-angan itu. Mereka bertemu di stasiun kereta moda raya terpadu (MRT) tanggal 13 Juli 2019 lantas berpelukan, saat sebelum menumpang kereta serta setelah konferensi pers.
Rekonsiliasi dikristalkan dengan langkah Presiden Jokowi menjadikan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dan mengangkat Edhy Prabowo, kader Partai Gerindra yang didirikan Prabowo, sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Semestinya, sudah tidak ada alasan lagi bagi kubu-kubu yang berbeda pilihan meneruskan perseteruan mereka.
Namun nyatanya, toleransi di Jakarta masih mendapat tantangan. Indeks KUB Kemenag tahun 2019 menempatkan Jakarta pada ranking 27 dari total 34 provinsi se-Indonesia. Atau, peringkat kedelapan provinsi dengan skor indeks KUB terendah.
Skor DKI 71,3, masih di bawah rata-rata nasional yang sebesar 73,83. Sebagai gambaran, provinsi dengan skor indeks KUB tertinggi meraih angka 82,1, yaitu Papua Barat.
Publikasi indeks KUB ini cukup membuat geger. Pemprov DKI pun heran dengan hasil riset yang dibuat Badan Litbang dan Diklat Kemenag, sebab upaya pemprov mempromosikan toleransi boleh dikata sudah jor-joran.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta Taufan Bakri menyatakan, Pemprov DKI terus bekerja meningkatkan kerukunan di antara warga, termasuk antar umat beragama. Jemaat Ahmadiyah dan penganut kepercayaan Baha’i, misalnya, menurut dia bebas beribadat di Ibu Kota selama tidak menimbulkan hal-hal yang menyinggung perasaan umat beragama lain.
Soal polemik umat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu di Jakarta Selatan yang belum kunjung mendapatkan izin pendirian rumah ibadah, Taufan menuturkan, masalah itu masuk ranah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pemprov bersinergi dengan FKUB untuk menuntaskannya.
“Ada data bahwa kami kota paling berdemokrasi di Indonesia. Maknanya, kebebasan sipil tinggi, yang berarti keberagamaan (kebebasan beragama) juga tinggi,” ujar Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta Taufan Bakri.
“Ada data bahwa kami kota paling berdemokrasi di Indonesia. Maknanya, kebebasan sipil tinggi, yang berarti keberagamaan (kebebasan beragama) juga tinggi,” ujar dia. Berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia 2018 yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS), DKI Jakarta menempati posisi tertinggi di antara provinsi-provinsi seluruh Indonesia, dengan nilai 85,08. DKI mengalahkan Bali (82,37) serta Nusa Tenggara Timur (82,32).
Skor Jakarta naik 0,35 poin dibanding skor dalam indeks serupa tahun 2017, yang saat itu sebesar 84,73. Aspek kebebasan sipil naik 7,36 poin dan aspek lembaga demokrasi naik 87,82 poin.
Baca juga : Lima Negara Berkolaborasi Rawat Toleransi
Baca juga : Generasi Toleran Menjaga Kerukunan
Pemprov DKI juga menunjukkan merangkul pemeluk berbagai agama. Contohnya, pemprov menghibahkan krematorium canggih senilai Rp 1,39 miliar untuk memenuhi kebutuhan kremasi umat Hindu yang meninggal di Jakarta. Pemprov juga menginisiasi "Christmas in Jakarta", mengundang penyanyi, grup vokal, dan paduan suara untuk melantunkan lagu-lagu Natal di 11 titik ruang publik jelang perayaan kelahiran Yesus Kristus.
Selain itu, Gubernur Anies tidak pernah absen mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani setiap tahun. Padahal, boleh-tidaknya memberi ucapan Natal menjadi polemik di kalangan umat Muslim.
Konsistensi
Prof M Adlin Sila, Ketua Tim Survei Indeks KUB 2019, mengatakan, rendahnya peringkat DKI dalam indeks KUB 2019 bukan menunjukkan program dan kebijakan DKI juga jelek. Bisa jadi, dampak belum dirasakan oleh masyarakat karena mengukur dampak tidak bisa berdekatan waktunya dengan saat program ditelurkan.
Apalagi, ranking rendah bukan berarti kerukunan umat beragama di DKI juga rendah. Sebab, kerukunan di seluruh provinsi berdasarkan Indeks KUB 2019 masuk kategori tinggi (rentang skor 61-80). Selain itu, skor DKI dibanding tahun sebelumnya juga naik.
Apalagi, ranking rendah bukan berarti kerukunan umat beragama di DKI juga rendah. Sebab, kerukunan di seluruh provinsi berdasarkan Indeks KUB 2019 masuk kategori tinggi (rentang skor 61-80). Selain itu, skor DKI dibanding tahun sebelumnya juga naik.
“Sebuah kebijakan nanti dampaknya baru bisa satu-dua tahun, jadi jika program dibuat tahun 2019, mungkin baru berdampak pada 2020 atau 2021,” kata Adlin.
Yang perlu dilakukan DKI sekarang adalah konsisten meneruskan program-program yang menyuburkan kerukunan umat beragama. Selain itu, menurut Adlin, penting bagi DKI untuk mewujudkan rekonsiliasi yang paripurna di antara kubu-kubu berseberangan imbas pilkada 2017.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (2010-2016) Heiner Bielefeldt menulis dalam buku Politik Kesetaraan: Dimensi-Dimensi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (2019), ketidakpercayaan antar kelompok agama atau keyakinan merupakan salah satu akar kebencian kolektif keagamaan. Untuk mencegah atau melenyapkannya, pra kondisi paling penting yaitu komunikasi rutin melintasi batas-batas keagamaan.
Terkait komunikasi lintas agama, menurut Adlin, FKUB DKI punya peran sentral. Perannya yang sudah baik mesti terus ditingkatkan, mengingat FKUB DKI menerima anugerah Harmony Award 2018 dari Kemenag karena berpredikat sebagai FKUB provinsi terbaik kedua.
Baca juga : Kisah Para Pemenang Kehidupan