Bencana Senyap dari Tambang
Bumi dibelah dan digali demi sejumput rezeki. Kerusakan lingkungan, lenyapnya flora dan fauna, serta terganggunya kesehatan masyarakat di sekitar tambang sering kali luput dari perhatian. Maka, aturan harus ditegakkan.
Diam-diam kehancuran lingkungan makin masif terjadi di banyak pelosok Indonesia. Hutan digunduli serta kebun dan tepian sungai digali demi emas, batubara, dan minyak. Kerusakan lingkungan dan bahaya kesehatan mengancam di depan mata. Namun, hal ini berlangsung senyap, nyaris luput dari perhatian, meski terus diteriakkan pegiat lingkungan dan akademisi, karena jauh dari kota dan terjadi pada rakyat kecil.
Penelusuran tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama Kompas dan pemerhati lingkungan hidup pada tiga kabupaten di Sumatera Barat, yakni Solok Selatan, Dharmasraya, dan Sijunjung, akhir November, menunjukkan gambaran yang membuat miris.
Tambang emas ilegal marak di sepanjang Sungai Batanghari beserta subdaerah aliran sungainya, seperti Sungai Pamong Besar dan Pamong Kecil. Kondisi serupa tampak di Sungai Baye, Sungai Batang Bangko, dan Sungai Batang Kuantan. Penambangan serupa terjadi di sepanjang Sungai Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Kerusakan lingkungan akibat tambang dikhawatirkan menghilangkan status taman bumi nasional di Silokek.
Di semua tempat itu petambang mengeruk sempadan sungai, puluhan hingga ratusan meter, menggunakan ekskavator ataupun mesin pompa air diesel. Puluhan lubang dibiarkan menganga tanpa direklamasi. Hal itu mengubah topografi sungai dan merusak ekosistem sungai, air berwarna coklat pekat mengandung lumpur yang digelontorkan ke badan sungai meningkatkan sedimentasi yang memicu pendangkalan dan bencana.
Tingkat bahaya erosi pada sembilan kabupaten di hulu Sungai Batanghari mengalami kondisi terparah pada dua tahun terakhir, yakni di atas 480 ton sedimen per hektar per tahun. Kondisi itu terjadi di Kabupaten Solok Selatan, Darmasraya, dan Sijunjung (Sumbar), serta Kerinci, Sungai Penuh, Bungo, Merangin, Sarolangun, dan Tebo (Jambi). Selama kemarau lalu, beberapa kali terjadi banjir di hulu. Padahal, saat itu debit air rata-rata tergolong rendah, yakni 48 ton per hektar per tahun.
Tak hanya di sungai, Hutan Lindung Batanghari, Taman Bumi Nasional Silokek, Hutan Nagari Pakan Rabaa, dan hutan produksi terbatas juga dijarah untuk pertambangan. Kerusakan lingkungan akibat tambang dikhawatirkan menghilangkan status taman bumi nasional di Silokek yang sedang dirintis sebagai obyek wisata andalan.
Zat berbahaya
Di sejumlah lokasi, petambang menggunakan merkuri dan sianida dalam proses pengolahan emas. Dampak buruknya tidak langsung dirasakan, tetapi sekian tahun kemudian. Hasil kajian Pusat Penelitian Kependudukan dan Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang, tahun 2017, menunjukkan, kandungan organik dan logam berat di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Kuantan, Kabupaten Sijunjung, relatif tinggi dan tidak layak konsumsi akibat aktivitas tambang emas ilegal.
Kandungan merkuri mencapai 0,0078 mg/l, melampaui baku mutu 0,001 mg/l berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Sungai Batanghari merupakan sumber irigasi bagi 7.000 hektar sawah di Dharmasraya. Konsentrasi merkuri di atas baku mutu ditemukan pada padi, kunyit, singkong, kangkung, dan cabe rawit di wilayah itu.
Hasil kajian peneliti Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, air Sungai Batanghari, Dharmasraya, di aliran Batu Bakauik, tidak layak konsumsi. Kandungan merkurinya 5,198 mg/l, sedangkan kandungan timbal (Pb) 1,259 mg/l. Padahal, baku mutu Pb 0,03 mg/l.
Selain itu, hasil kajian Direktorat Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung mengindikasikan warga di sekitar Sungai Batanghari terpapar merkuri. Kajian dilakukan pada 2018 di Kecamatan IX Koto dan Kecamatan Sitiung, Dharmasraya.
Di IX Koto, dari 30 responden anak, konsentrasi merkuri pada urine 20 anak melebihi baku mutu 5 µg/g kreatinin. Sementara di Sitiung, dari 22 responden anak, 14 orang melampaui baku mutu. Artinya, fungsi ginjal mereka telah terganggu.
Sementara itu, setidaknya tiga tahun terakhir, enam bayi lahir dengan kelainan di kawasan tambang emas Mandailing Natal. Kelainan tersebut seperti anencephaly (tengkorak kepala tidak sempurna), gastroschisis (usus di luar perut), omphalocele (usus keluar dari pusar), cyclopia (bermata satu), serta bayi tidak mempunyai tulang rusuk dan kulit pembalut perut.
Hal itu diduga akibat paparan merkuri dari tambang emas ilegal. Tim Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas I Medan menemukan banyak kasus keguguran kandungan pada ibu di kawasan tambang.
Tak hanya di Sumatera, tambang emas ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, juga mencemari Sungai Wai Apo yang mengairi 5.702 hektar sawah. Merkuri dan sianida terbawa arus sungai sampai ke Teluk Kayeli sehingga mengancam perikanan nasional.
Penelitian tim Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, pada 2014, mendapati konsentrasi merkuri pada 30 persen contoh biota laut melampaui batas atas standar nasional 0,5 miligram per 1 kilogram sampel, yakni tiga kali dari standar pada udang, tujuh kali pada ikan, enam kali pada kerang-kerangan, dan dua kali pada kepiting.
Konsentrasi merkuri pada 30 persen contoh biota laut melampaui batas atas standar nasional 0,5 miligram per 1 kilogram sampel.
Tidak tertutup kemungkinan ikan-ikan kecil dan telur ikan yang menetas di kawasan mangrove teluk itu tercemar merkuri. Padahal, ikan-ikan kecil itu akan bergerak menuju tengah laut dan menyebar di sejumlah perairan sekitar. Untunglah tambang emas di sana telah ditutup.
Paparan merkuri pada tubuh dapat mengakibatkan kerusakan pada saluran pencernaan, otak, jantung, ginjal, hati, paru, serta sistem saraf dan sistem kekebalan tubuh. Ancaman serius bagi kesehatan itu yang mendasari pelarangan penggunaan merkuri di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Tahun 2017, pemerintah meratifikasi Konvensi Minamata yang melarang perdagangan dan penggunaan merkuri. Hal itu ditindaklanjuti dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri serta Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri.
Di Jambi, tambang minyak ilegal kian masif merambah Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifudin di Kabupaten Batanghari. Sebanyak 10.000 hektar dari luas total tahura 15.830 hektar telah dirambah. Dampaknya, sepanjang tahun 2019 terjadi tujuh kali ledakan dan kebakaran di lokasi tambang dan pengolahan minyak hasil tambang.
Limbah mengalir ke sejumlah anak sungai yang berhilir ke Sungai Batanghari. Air sungai terlihat berminyak pekat dengan warna kemerahan. Hasil uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi, terjadi pencemaran air di Danau Merah, Sungai Berangan Hulu, Sungai Berangan Hilir, serta air sumur warga.
Kadar minyak dan lemak di Danau Merah mencapai 10.824 mg/l, melebihi ambang batas 1 mg/l. Kadar hidrogen sulfida mencapai 0,800 mg/l, jauh melampaui ambang batas 0,02 mg/l. Di Sungai Berangan dan Sungai Bulian yang menjadi bagian aliran Sungai Batanghari, kehidupan satwa telah lenyap sejak tiga tahun terakhir.
Di Kaltim, tambang batubara merusak hutan dan lahan konservasi, menimbulkan lubang- lubang besar berisi air asam dan penuh logam berat. Perhitungan pegiat lingkungan di tataran internasional, untuk sebentuk cincin emas, 20 ton batu dan tanah harus digali dan dibuang ke sungai. Limbah itu umumnya mengandung merkuri dan sianida yang digunakan untuk memisahkan emas dari batuan.
Dampak lain adalah timbulnya air asam tambang yang terjadi saat batuan digali. Kandungan besi sulfida pada batuan yang terpapar oksigen dan air berubah menjadi asam sulfida. Zat ini sangat beracun bagi organisme yang hidup di perairan. Air asam tambang sudah lama menjadi keprihatinan. Bahkan, PBB menyatakan bahwa hal ini sebagai masalah besar dunia setelah pemanasan global.
Tegakkan aturan
Pada sejumlah wilayah, mengurangi petambang bisa dilakukan lewat alih profesi. Petambang bisa diarahkan untuk bekerja di sektor pertanian ataupun perikanan. Di Mandailing Natal, banyak petani karet menjadi petambang akibat anjloknya harga karet. Jika harga karet membaik, tentu mereka akan kembali mengurus kebun dan menyadap karet.
Sektor transportasi dan wisata bisa menjadi pilihan alih profesi. Sungai Batanghari yang berhulu di Solok Selatan, Sumbar, dan bermuara di Tanjung Jabung Timur, Jambi, misalnya, punya potensi transportasi air dan wisata jika kondisi sungai itu dipulihkan. Taman Bumi Nasional Silokek di Sinjunjung mulai dilirik wisatawan karena keindahan alamnya bisa dikembangkan untuk ekoturisme.
Selain itu, aturan hukum harus ditegakkan secara konsisten. Pembalakan hutan dan peredaran merkuri serta sianida harus dicegah dan diberantas. Tanpa ada langkah pencegahan, kita tinggal menunggu waktu kehancuran bumi dan generasi muda bangsa.