Membangun prestasi olahraga membutuhkan ekosistem yang lengkap mulai dari dukungan anggaran hingga pembinaan performa tinggi. Penjenjangan pembinaan prestasi, kini mulai dilakukan Indonesia dengan target besar Olimpiade.
Oleh
Agung Setyahadi
·4 menit baca
Dunia olahraga nasional memberikan sinyal positif pada 2019. Salah satunya keberanian pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga menjadikan SEA Games sebagai ajang pembinaan atlet-atlet muda. Langkah ini, jika dijalankan secara konsisten, bisa menjadi tolakan untuk melompat menuju persaingan elite Asia dan dunia.
Desakan menjadikan SEA Games sebagai bagian dari proses regenerasi atlet telah didengungkan oleh publik olahraga nasional selama bertahun-tahun. Namun, pemerintah seolah terjebak pada ”kutukan medali emas”, sehingga selalu memasang target juara umum di ajang multicabang Asia Tenggara itu. Akibatnya, atlet-atlet elite yang levelnya sudah dunia, masih menjadi andalan di SEA Games. Dampak ikutannya, regenerasi atlet lambat di berbagai cabang.
Mulai 2019, Kemenpora menerapkan kuota 60 persen atlet yunior dan 40 persen atlet elite. Pelaksanaannya belum maksimal, karena masih 50:50. Meskipun belum 60:40 tetapi langkah ini sudah memberikan keseimbangan baru. Atlet-atlet muda pun bermunculan dan memberikan prestasi, seperti lifter kelas 49 kilogram berusia 17 tahun Windy Cantika Aisah.
Langkah menjadikan SEA Games sebagai pematangan atlet muda sebenarnya bukan hal baru, karena sudah dilakukan bertahun-tahun oleh cabang bulu tangkis. PP PBSI sudah ”tidak silau” dengan emas SEA Games. Bulu tangkis telah sejak lama memiliki visi besar, mengejar target di ajang-ajang prestisius seperti All England, Kejuaraan Dunia, Asian Games, dan Olimpiade.
Paradigma itu terbangun di bulu tangkis karena dukungan sistem kompetisi internasional berjenjang yang sudah solid dari Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF). Selain itu, dukungan anggaran yang mandiri dari PP PBSI sehingga bisa rutin mengirimkan atlet-atletnya ke berbagai turnamen Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF).
Hasilnya, bulu tangkis menjadi salah satu cabang kebanggaan Indonesia. Atlet-atlet Indonesia terus menjaga daya kompetitif di level elite dunia, hingga panggung tertinggi bagi atlet, yaitu Olimpiade.
Sistem yang berjalan di bulu tangkis menjadi contoh ideal untuk membangun olahraga nasional yang kompetitif. Konsekuensinya memang pada sistem penganggaran yang membutuhkan pagu anggaran pemusatan latihan nasional lebih besar. Bagi cabang-cabang yang tidak populer di Indonesia, itu memang berat, karena dukungan sponsor kecil. Cabang juga tidak bisa berharap banyak pada pemerintah, karena anggaran yang ada di Kemenpora sangat kecil.
Pada 2019, anggaran Kemenpora hanya 1,95 triliun dibandingkan APBN 2.461,1 triliun. Anggaran yang dikucurkan untuk pelatnas sebesar Rp 386,06 miliar, dengan rincian Rp 266,20 miliar untuk pelatnas persiapan SEA Games 2019 dan Olimpiade 2020, serta Rp 119,86 miliar untuk persiapan ASEAN Para Games 2020 dan Paralimpiade 2020.
Inilah yang kemudian menjadi masalah saat Kemenpora membagi cabang ke dalam empat kluster berdasarkan jejak prestasi di SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Bulu tangkis dan angkat besi dengan jejak prestasi bagus di ketiga multicabang itu, juga berbagai kejuaraan internasional, masuk kluster satu dan mendapat kue anggaran relatif lebih besar. Namun, cabang-cabang olimpiade lain yang jejak prestasinya kurang bagus, masuk ke kluster bawah dengan anggaran yang lebih kecil. Ini memperkecil peluang cabang-cabang itu, seperti renang, senam, dan panahan, untuk mengakselerasi pembinaan atlet-atletnya.
Cabang renang misalnya, yang menjadi lumbung emas di Olimpiade, jangankan bersaing di level Asia, di level Asia Tenggara saja sudah sulit menandingi Vietnam yang melesat hingga menjadi pesaing Singapura. PB PRSI yang memayungi renang, pada 2019 mengajukan anggaran Rp 52 miliar, tetapi hanya disetujui sekitar Rp 9 miliar. Anggaran itu hanya sekitar sepersepuluh dari anggaran pembinaan renang Singapura.
Sistem kluster cabang itu, sebenarnya merupakan langkah maju untuk mempercepat perkembangan cabang-cabang olimpiade. Namun, perlu dipikirkan modifikasi dalam kriteria penentuan cabang yang masuk ke kluster teratas, sehingga pembinaan prestasi cabang-cabang yang menjadi lumbung emas di Olimpiade juga terakselerasi. Dengan anggaran kecil, renang misalnya, akan sulit menggenjot prestasi. Pada SEA Games 2019 saja, renang hanya meraih satu emas.
Kriteria-kriteria lain perlu dimasukan dalam penentuan kluster cabang. Salah satunya, memprioritaskan cabang-cabang mother of sports seperti senam dan atletik untuk percepatan pembinaan prestasi.
Berdasarkan riset Bappenas, ada 10 cabang prioritas menuju Olimpiade, yakni bulu tangkis, angkat besi, panahan, atletik, senam, renang, panjat tebing, taekwondo, dayung, dan sepeda. Cabang-cabang itu layak menjadi prioritas karena sudah menunjukkan prestasi di level Olimpiade, kejuaraaan dunia, dan cabang induk menjadi lumbung medali di ajang multicabang. Kriteria tambahan itu perlu dimasukan dalam penyaluran anggaran 2020.
Dengan memasukan kriteria yang lebih detail, pembagian kue anggran bisa lebih rasional dalam konteks akselerasi prestasi cabang-cabang olimpiade. Untuk 2020, Kemenpora menyatakan, anggaran bantuan pelatnas tidak jauh berbeda dari 2019. Untuk menyiasati keterbatasan anggaran itu, pemerintah perlu melakukan terobosan, supaya atlet-atlet yunior dan remaja juga bisa mengikuti jejak ke level elite.
Konsep bapak asuh bagi cabang-cabang olahraga, dengan melibatkan sejumlah Badan Usaha Milik Negara dan swasta, perlu terus dimatangkan oleh Kemenpora bersama kementerian dan lembaga terkait untuk transisi memandirikan cabang-cabang olahraga. Selama kemandirian itu belum terwujud, potensi masalah dalam pembagian kue anggaran akan terus terjadi.
Berbagai tantangan itu merupakan konsekuensi dari paradigma baru olahraga nasional yang mengincar prestasi level dunia. Langkah awal pada 2019 ini perlu terus dirawat dan disempurnakan, sehingga Merah Putih berkibar di panggung dunia.