Belajar dari pengalaman tsunami, pemerintah Thailand akan meningkatkan standar keamanan. Kesadaran mitigasi bencana akan ditingkatkan untuk melindungi rakyat negeri itu dari bencana.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Suwannee Maliwan (28) tidak pernah bisa melupakan ingatan traumatis 15 tahun lalu. Tsunami yang menerjang kampung halaman perempuan itu di Provinsi Phang Nga, Thailand, membuat dia kehilangan kedua orangtua dan lima saudaranya.
”Saya masih ingat semua. Terkadang saya mimpi buruk, tsunami datang lagi. Saya takut. Saya sebenarnya ingin pindah ke tempat lain, tetapi tidak bisa. Saya lahir di sini. Ayah ibu juga meninggal di sini,” kata Suwannee, Kamis (26/12/2019).
Pada 26 Desember, tepat 15 tahun lalu, tsunami setinggi 17,4 meter menerjang kawasan Asia hingga menewaskan sedikitnya 230.000 jiwa. Tsunami menerjang pada pagi hari, sehari setelah hari raya Natal 2004, terpicu oleh gempa bermagnitudo 9,1 di utara Pulau Sumatera. Hampir seluruh wilayah permukiman di pinggir pantai Aceh di Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, dan sembilan negara lain disapu bersih.
Di Aceh, lebih dari 125.000 orang tewas. India kehilangan 10.000 warganya, sementara di Sri Lanka diperkirakan 35.000 orang tewas. Thailand kehilangan lebih dari 5.300 orang tewas, termasuk turis yang sedang berada di pulau-pulau wisata di Laut Andaman.
Sekitar 1.400 orang yang tewas di antaranya berasal dari Ban Nam Khem, desa yang paling parah terdampak tsunami. Kini, di Thailand, tanggal 26 Desember diperingati sebagai Hari Pencegahan Bencana. ”Belajar dari pengalaman dulu, pemerintah akan meningkatkan standar keamanan. Kesadaran mitigasi bencana akan ditingkatkan untuk melindungi rakyat dari bencana,” kata Wakil Mendagri Thailand Nipon Bunyamanee.
Unit Identifikasi Korban Bencana yang melibatkan aparat kepolisian dan ahli forensik dari 30 negara berhasil mengidentifikasi lebih dari 3.600 korban dalam waktu kurang dari dua tahun. Wakil Komandan Kepolisian Distrik Takua Pa Kolonel Khemmarin Hassini yakin, sekitar 340 jasad yang belum teridentifikasi bisa diidentifikasi jika operasi tim internasional diaktifkan lagi.
Sampai kini, kepolisian Thailand masih menyimpan satu kontainer berisi barang yang diduga milik korban tsunami. Barang-barang pribadi itu, seperti dompet, dokumen, dan barang elektronik, disimpan di kantong plastik bukti yang dipasangi label.
Namun, Hin Temna (76) yang kehilangan tujuh anggota keluarganya, termasuk anaknya, merasa sia-sia berharap anak perempuannya akan kembali. ”Saya tidak yakin, mereka akan bisa menemukan anak saya,” ujarnya.
Karibeeran Parameshvaran (54) dan Choodomani, istrinya, hampir saja bunuh diri setelah kehilangan tiga anaknya yang berusia 5, 9, dan 12 tahun. Di hari itu, mereka melihat banyak anak berdiri di jalan tanpa orangtua. Mereka lalu terpikir membantu merawat anak-anak yang sebatang kara dengan membuatkan tempat atau rumah penampungan.
Mereka kemudian mengubah rumah mereka menjadi rumah yatim piatu. Hanya beberapa hari setelah tsunami, mereka menampung 36 anak. ”Misi ini akan terus kami lakukan untuk menghormati anak-anak kami,” kata Parameshvaran.