Polisi Tangkap Dua Warga China Pengelola Tekfin Ilegal
Bisnis pinjaman daring menggiurkan banyak pihak, tidak terkecuali pelaku kejahatan finansial. Polisi kembali mengungkap praktik ilegal pinjaman daring yang kali ini melibatkan dua warga China.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi menangkap lagi dua tersangka dari sindikat usaha pinjaman daring ilegal di kawasan ruko Pluit Village, Penjaringan, Jakarta Utara. Dua tersangka itu adalah warga negara China yang menjabat sebagai anggota direksi perusahaan bidang teknologi finansial atau tekfin tersebut.
Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara menetapkan dua tersangka bernama Olivia (35) dan Teddy (38), Jumat (27/12/2019). Olivia adalah perempuan yang menjabat sebagai direktur utama, sedangkan Teddy menjabat wakil direktur utama tekfin PT Barracuda Fintech.
”Kedua tersangka ditangkap saat berada di Pelabuhan Batam Centre. Setelah diselidiki bersama unit Polresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau, diduga Olivia dan Teddy akan naik kapal untuk menyeberang ke luar Indonesia,” ucap Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto saat konferensi pers, Jumat.
Budhi menjelaskan, Olivia dan Teddy diketahui kerap berkoordinasi dengan Li, warga negara China yang juga menjadi tersangka pada Senin (23/12/2019) lalu. Kini ada total lima tersangka yang ditangkap, meliputi Olivia, Teddy, Li, serta dua warga Indonesia berinisial DS dan AR.
Dari penyidikan aparat, sindikat tekfin Barracuda biasa menitahkan penagihan pinjaman melalui Li, yang kemudian dieksekusi tim penagih. Tim tersebut menagih tunggakan pinjaman kepada nasabah secara paksa, seperti dengan cara teror pesan bertubi-tubi atau menelepon sambil memaki-maki nasabah.
Nasabah juga dirugikan karena ada potongan administrasi saat awal meminjam. Orang yang meminjam uang Rp 1,5 juta, misalnya, tidak akan mendapat uangnya secara utuh, tetapi dipotong sekitar 20 persen dari total pinjaman. Apabila terlambat mengembalikan, yang bersangkutan akan dikenai bunga pinjaman senilai Rp 50.000 per hari.
Sebelumnya, Kepala Unit Kriminal Khusus Polres Metro Jakarta Utara Inspektur Satu Dharma Adi Waluyo mengatakan, Barracuda Fintech berafiliasi dengan PT Vega Data untuk mengelola data nasabah. Sejak 2018, Barracuda beroperasi dengan berganti-ganti nama, mulai dari Gagahijau, Dompetkartu, Kurupiah, Tetapsiap, Uangberes, Kascash, hingga Tokotunai.
Dari modus tersebut, polisi mengetahui Barracuda Fintech sempat menggelontorkan pinjaman sebesar Rp 70 miliar melalui nama aplikasi pinjaman Kascash dan Tokotunai. Dari jumlah miliaran rupiah itu, diketahui pengembalian pinjaman yang mereka terima mencapai Rp 78 miliar.
”Sindikat ini meraup keuntungan miliaran rupiah. Uang administrasi yang mereka potong di awal peminjaman saja bisa mencapai Rp 25 miliar, khusus untuk aplikasi mereka yang bernama Tokotunai. Jumlah itu pun belum dihitung dari perputaran uang pinjaman,” kata Budhi.
Analis Senior Kebijakan Penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wahid Hakim Siregar mengatakan, sejumlah nama aplikasi yang dibuat oleh sindikat tekfin ini sudah pernah diblokir oleh Satgas Waspada Investasi. Ia mencontohkan, aplikasi bernama Dompetkartu pernah diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 7 September 2018, sementara nama aplikasi Uangberes juga pernah diblokir pada 13 Februari 2019.
”Memang, belasan aplikasi lain yang dibuat oleh sindikat tekfin ini belum terjaring Satgas Waspada Investasi. Kami akan terus menggali data yang berkaitan dengan tekfin ilegal ini,” kata Wahid.
Budhi menyampaikan, polisi akan mendalami sumber pendanaan dari sindikat tekfin ini. Sebab, dalam bisnis peminjaman uang, diduga ada pihak yang memberi modal besar dan riskan mengarah ke tindak pidana pencucian uang.
”Banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan tekfin ini. Polisi akan mendalami apakah kegiatan mereka berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Selain itu, salah satu tersangka WNA ada yang juga bermasalah perihal keimigrasian,” tuturnya.
Budhi mengatakan, para tersangka terancam penjara paling lama 5 tahun. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 368 juncto Pasal 310 juncto pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Terkait hal tersebut, Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah menilai, tekfin ilegal semacam itu memperburuk citra tekfin yang legal dan diawasi oleh OJK. Ia menyarankan sebaiknya warga melihat daftar perusahaan tekfin yang resmi pada situs www.ojk.go.id atau www.afpi.or.id.