Kisah peziarahan iman orang Dayak terpatri dalam interior Gereja Katedral Santa Gemma Galgani Ketapang, Kalimantan Barat. Terangkai pesan kebaikan pada beragam relief yang dibuat dari ukiran kayu ulin dan bengkirai.
Oleh
Emanuel Edi Saputra
·5 menit baca
Nuansa itu dirasakan saat memasuki pintu utama Gereja Katedral Ketapang, Rabu (11/12/2019). Di bawah salib, ada ukiran yang menggambarkan ikatan orang Dayak dengan adat istiadat dan ikatan dengan alam. Hal itu digambarkan dengan manusia bertelinga lebar serta bermata dan hidung yang besar. Pastor Matheus Juli Pr, perancang ukiran di Gereja Katedral Ketapang, menggambarkan itu ”spiritualitas ketakutan”.
”Orang Dayak menafsirkan kejadian hidupnya berhubungan dengan hal-hal menakutkan,” ujarnya, misalnya takut ada hantu atau mati dimakan hantu. Lalu, ada tiga bersaudara dari daratan China, yakni Tan A Hak, Tan A Ni, dan Tan Kaw Pue. Mereka mewartakan kabar kehadiran Yesus pada 1918. Warta itulah yang akhirnya membebaskan orang Dayak dari belenggu ”spiritualitas ketakutan”.
Pada salib dalam gereja, tampaklah Yesus dengan mengenakan cawat dari kulit kayu. Pengenaan cawat, dijelaskan Juli, untuk menunjukkan kepada orang Dayak bahwa Yesus itu dekat dalam kehidupan mereka. ”Jangan berpikir bahwa Yesus itu jauh di Eropa atau Timur Tengah. Yesus ada dalam budaya Dayak,” katanya.
Kisah Injil
Pada tembok belakang altar gereja ada ukiran menjulang tinggi yang dimaknai sebagai puncak kehidupan. Terdapat pula ukiran-ukiran menggambarkan kabar Injil dalam Alkitab. Misalnya saja pada Kitab Matius digambarkan dengan simbol malaikat, Yohanes bersimbol rajawali, dan Lukas bersimbol sapi. Simbol-simbol itu menjadi bagian cerita kelahiran Yesus.
Ada pula ukiran yang menggambarkan penyaliban. Semuanya khas ukiran Dayak dan Tionghoa. Pada bagian lain, ada ukiran tentang kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa, lalu diusir dari Taman Eden. Selain itu, terukir juga kisah Yesus yang sudah dicatat Nabi Yesaya sejak sebelum Yesus lahir. Tentang seorang perawan akan mengandung dan melahirkan Yesus. Bahkan, tentang kematian Yesus.
Salah satu yang tak kalah menarik, ada ukiran yang menggambarkan Yesus sebagai mempelai laki-laki dan Gereja Katolik digambarkan sebagai mempelai perempuan. Di situ tersirat akan harmoni dalam hubungan keluarga. Pada bagian langit-langit, ada lukisan yang dibuat dari tempelan manik-manik yang menggambarkan pengorbanan Yesus di salib.
Di situ juga terdapat kulit kayu besi yang ditempel. Kayu besi biasanya digunakan sebagai dinding rumah tradisional Dayak. Kulit kayu itu paling keras, lebih keras dari kayu ulin, sehingga saat ingin dipahat harus dibor terlebih dahulu. Penggunaan kulit kayu tersebut untuk menunjukkan jejak-jejak ikatan hidup orang Dayak pada alam. Kayu-kayu yang diukir kini sudah langka, tetapi generasi kini bisa menyaksikannya dalam gereja.
Budaya Tionghoa
Pada tembok dekat pintu sebelah kiri terdapat budaya Tionghoa yang digambarkan dengan naga, sosok yang sangat kuat dalam budaya Dayak dan Tionghoa. Ada pula Maria menggunakan pakaian Dayak. Kemudian, ada orang Dayak menari dan menyanyi, ekspresi sukacita karena hidup dari pewartaan. Di bagian itu juga terdapat ukiran pertobatan Rasul Paulus.
Ada cerita Yesus dimuliakan di atas gunung disaksikan tiga rasul. Di situ tampil Nabi Elia dan Musa. Ada juga Musa ketika mengalami penampakan semak yang terbakar. Ada ular yang jadi tongkat Musa ketika menghadapi Raja Firaun. Di belakang Tabernakel, ada dua loh batu sebagai perjanjian umat Perjanjian Lama. Perjanjian Baru adalah Yesus Kristus itu sendiri yang terpusat di Tabernakel.
Ada pula ukiran yang menggambarkan Yesus menyembuhkan seorang pemuda bernama Lazarus. Ia dibangkitkan dari kematian. Di Tabernakel bagian bawah ada ukiran Thomas, murid Yesus yang memasukkan tangannya ke dalam lambung Yesus.
Di belakang patung Yesus memasukkan kepercayaan Dayak tentang padi, menghormati padi karena makanan pokok. Maka, setiap orang mengambil beras dan tumpah orang akan memanggil roh padi. Kemudian, ada burung enggang hinggap di lilitan anggur. Enggang burung khas Kalimantan.
Simbol Hawa
Patung Maria simbol pembawa Hawa baru, sedangkan Hawa yang lama membawa manusia jatuh dalam dosa. Di situ tergambar Adam yang hanya duduk tidak mencegah Hawa untuk mengatakan jangan mengambil buah terlarang sehingga terjadilah dosa. Hawa yang baru (Maria) tidak membiarkan manusia jatuh dalam dosa. Di panti Imam terdapat pagar yang berisi ukiran orang dengan pakaian dari semua suku di Indonesia. Latar belakangnya tetap Dayak. Artinya, gereja terbuka untuk semua suku bangsa.
Sungguh menarik mengikuti relief-relief yang dibuat dari kayu. Memang, itu menggambarkan identitas Kalimantan yang memiliki keanekaragaman jenis tanaman. Adapun tangga menuju altar juga tampak berukir. Ukirannya melambangkan kerja sama dan harmonisasi serta hidup dalam kasih. Itulah yang menjadi dasar hidup umat.
Sejarah pembangunan
Pastor Juli menuturkan, Gereja Katedral Ketapang dibangun tahun 1998 ketika krisis ekonomi melanda. Kemudian, tahun 2000 selesai dan diresmikan. Gereja itu sempat rusak berat dan kacanya pecah. Uskup Ketapang waktu itu, Mgr Blasius Pujaraharja, menugaskan Pastor Juli untuk mencari dana dan membenahi gereja.
Mulai dari situ Gereja Katedral Ketapang dibenahi. Membenahi tidak hanya sekadar memperbaiki yang rusak, tetapi juga gereja ini berdiri di tengah masyarakat Dayak yang memiliki adat istiadat sendiri. ”Kebetulan saya seorang seniman. Keluarga kami keluarga seniman. Saya berpikir membuat gereja yang memiliki nilai budaya Dayak dan Tionghoa, tetapi tidak terlepas dari nilai-nilai Alkitabiah,” ujarnya.
Juli memanggil keponakannya yang juga seniman ukir bernama Petrus Kanisius. Juli membuat konsepnya dan Petrus Kanisius menerjemahkan konsep itu dalam ukiran-ukiran di Gereja Katedral Ketapang. Dengan adanya ukiran itu, pesan Injil bisa dilihat pada ukiran di tembok dan tiang hingga kini. Ketika orang masuk ke gereja, tidak hanya mengikuti Ekaristi, tetapi bisa bermeditasi mendalami kitab suci, lalu menyelaminya pada relief-relief yang telah dituangkan pada dinding.
Benyamin Efraim (45), salah satu umat Katolik di Ketapang, menuturkan, ukiran di gereja itu menginspirasi dan lebih kontekstual dengan kehidupan masyarakat. Sebagai pencinta seni, ia mengaguminya. Senada dengan itu, umat Katolik lain, Eugenius Kuncoro Try Cahyono (28), menuturkan kesan yang dirasakannya berada dalam gereja itu. Interior memukau dengan adanya ukiran-ukiran.
Yang lebih mengesankan baginya adalah ukiran kisah tentang Injil di belakang altar. Jadi, ia bisa melihat kisah di Injil dalam relief. Dengan melihat relief itu seolah membawa dirinya berpetualang pada rangkaian peristiwa-peristiwa penting dalam Injil.