Bencana banjir masih menjadi ancaman nyata yang harus dihadapi Jakarta selama musim hujan ini. Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta mencatat, pada 2019, masih ada 25 kelurahan yang rawan banjir.
Oleh
Ayu Pratiwi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bencana banjir masih menjadi ancaman nyata yang harus dihadapi Jakarta selama musim hujan ini. Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta mencatat, pada 2019, masih ada 25 kelurahan yang rawan banjir yang tersebar di wilayah Jakarta Barat, Timur, Utara, Selatan, dan Pusat. Sebagian lokasi itu berada di bantaran sungai serta ruas jalan yang lubang dan saluran air hujannya kurang memadai.
Hujan cukup deras yang mengguyur seluruh wilayah Jakarta pada Jumat (27/12/2019) mengakibatkan banjir setinggi 30-75 sentimeter di sembilan kelurahan. Tujuh kelurahan di antaranya berada di Jakarta Selatan dan masing-masing satu di Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Banjir kali ini umumnya disebabkan luapan Sungai Krukut, Sungai Grogol, dan Sungai Pesanggrahan.
Sementara itu, hujan deras yang melanda Ibu Kota pada Selasa (17/12/2019) pekan sebelumnya menyebabkan 19 ruas jalan tergenang air setinggi 5-40 sentimeter. Sebagian kejadian viral di media sosial, seperti yang terjadi di Jalan Asia Afrika (Jakarta Pusat) dan Jalan Jenderal Sudirman (Jakarta Selatan).
Genangan itu terjadi karena lubang atau mulut saluran air terlalu kecil sehingga perlu beberapa waktu sebelum semua air hujan mengalir ke dalam.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Data dan Informasi Kebencanaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta M Ridwan mengatakan, meskipun masalah banjir belum bisa dicegah sepenuhnya, jumlah lokasi di Ibu Kota yang rawan banjir berkurang dari tahun ke tahun.
Menurut dia, banjir atau genangan air hujan pun bisa ditangani secara lebih cepat dan surut dalam waktu beberapa jam. Tahun sebelumnya, perlu waktu berhari-hari sebelum banjir itu bisa surut.
”Penanganan banjir mengerahkan seluruh unit dari PPSU (Penanganan Prasarana dan Sarana Umum), Dinas SDA (Sumber Daya Air), dan pemadam kabakaran. Banjir tahun ini cepat surut karena cepatnya penanganan Pemprov DKI Jakarta,” kata Ridwan ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (28/12/2019).
Banjir yang meluap di beberapa sungai pada Jumat kemudian memang surut dalam waktu yang cukup cepat. Banjir mulai masuk Jumat sore pukul 16.00 hingga 20.30 dan sudah surut paling lama pada Sabtu pukul 04.00. Sebanyak tujuh warga di Kelurahan Pondok Labu, Jakarta Selatan, yang mengungsi juga sudah kembali ke tempat tinggalnya.
Banjir akibat luapan sungai ditangani dengan mesin penyedot air. Di ruas jalan yang rawan banjir, petugas juga dikerahkan untuk memastikan tidak ada sampah, lumpur, atau benda lain yang menutup lubang saluran air hujan.
Menurut BPBD DKI Jakarta pada November 2019, ada 25 kelurahan di Jakarta yang dikategorikan sebagai kawasan rawan banjir pada 2019. Di Jakarta Barat, ada Kelurahan Rawa Buaya, Tegal Alur, Kedoya Selatan, Kedoya Utara, dan Kembangan Utara. Di Jakarta Selatan, ada Cipete Utara, Petogogan, Cipulir, Pondok Pinang, Rawajati, Ulujami, Pondok Labu, Bangka, Pejaten Timur, dan Jati Padang.
Ada pula di Jakarta Timur, meliputi Kelurahan Bidara Cina, Kampung Melayu, Cawang, Cililitan, Cipinang Melayu, Makasar, dan Rambutan. Kemudian di Jakarta Utara, ada Kelurahan Pademangan Barat, Pluit, dan Penjaringan.
Tidak semua kelurahan yang dinyatakan rawan banjir betul-betul mengalami banjir hingga sekarang. Antisipasi juga telah dilaksanakan dengan menyediakan 111 pengungsian untuk korban banjir di semua kelurahan itu.
”Nanti, tahun 2020, mudah-mudahan kami bisa mengeluarkan update (daftar kelurahan rawan banjir). Insya Allah jumlahnya berkurang,” tambah Ridwan.
Pengamat perkotaan Nirwono Joga berpendapat, banjir yang masih terjadi di Jakarta menunjukkan bahwa sistem drainase Jakarta belum berfungsi secara optimal dan tidak mampu menampung luapan air hujan. Selain itu, program penataan bantaran sungai juga masih belum selesai karena ketidaksepakatan konsep penanganan dan pembebasan lahan.
”Pemprov DKI tidak siap menghadapi banjir. Banjir kemarin membuktikan masih buruknya sistem air Kota Jakarta. Penambahan RTH (ruang terbuka hijau) baru pun tidak signifikan sehingga daerah resapan air tidak bertambah banyak. Banjir masih akan mengancam Jakarta di awal tahun depan,” kata Nirwono.
Sementara itu, Fatchy Muhammad, anggota tim riset dari Masyarakat Air Indonesia, berpendapat, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada perbaikan saluran air hujan, tetapi juga lebih gencar membangun sumur resapan. Sebab, air hujan yang dialihkan ke saluran air akan berakhir di sungai atau laut dan tidak teresap ke dalam tanah. Padahal, warga memerlukan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.
”Yang saya lihat, cara Dinas Sumber Daya Air menanggulangi banjir masih terlalu fokus pada saluran air. Itu paradigma yang belum pas karena air hujan terbuang ke laut. Resapan buatan juga diperlukan supaya air hujan masuk ke tanah. Supaya kita punya stok air tanah yang cukup pada musim kemarau,” katanya.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini pekan lalu memastikan, pihaknya terus menggenjot pembangunan sumur resapan. Tahun ini, Pemprov DKI membangun 1.794 sumur resapan. ”Kami usahakan tahun 2020 bisa dua kali lipat dari tahun ini,” tambahnya.
Secara total, saat ini ada sekitar 2.000 sumur resapan di Jakarta. Angka itu masih belum memadai karena kebutuhan sumur resapan diperkirakan mencapai 1,8 juta.
Namun, Nirwono menganggap, sumur resapan hanya efektif di wilayah Jakarta Selatan dan kurang efektif di Jakarta Utara. ”Kalau ke arah utara, semakin dekat pantai atau laut, justru tidak efektif. Sebab, pada kedalaman tanah 1,5-2 meter saja, air sudah keluar sehingga tidak bisa dibangun sumur resapan,” ujarnya.
Selain sumur resapan, bagi Nirwono, solusi penanganan banjir harus melalui penataan bantaran sungai; rehabilitasi saluran air; revitalisasi situ, danau, atau waduk; serta penambahan RTH. ”Semua dilakukan bersamaan dengan benar dan bertahap,” tambahnya.