Kepentingan Publik yang Hilang
Rakyat, yang akan terkena dampak peraturan perundang-undangan, sudah sepatutnya dilibatkan dan didengarkan saat undang-undang itu dibuat. ”Nihil de nobis, sine nobis. Nothing about us, without us”.
Bulan madu rakyat dengan elite saat Pemilihan Umum 2019 berakhir begitu lekas. Dibahasnya sejumlah rancangan undang-undang bermasalah secara tertutup pada akhir tahun ini menunjukkan pelibatan rakyat dalam demokrasi masih sebatas urusan prosedural. Kepentingan politik elite mendominasi proses legislasi, menyisakan sedikit hingga tidak ada ruang bagi publik.
Tidak berlebihan jika kinerja legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepanjang tahun ini dinilai buruk. Lima bulan pertama praktis dihabiskan anggota DPR, yang 94 persen di antaranya kembali maju di pemilu, untuk kampanye. Kinerja legislasi pun hiatus di tengah kesibukan para wakil rakyat mempertaruhkan nasib demi menjabat lima tahun lagi.
Pemilu yang relatif lancar tahun ini membuat Indonesia mendapat sorotan dunia atas perhelatan pemilu serentak perdana yang masif dan kompleks. Partisipasi politik rakyat juga menunjukkan angka yang tinggi, yakni 81 persen, lepas dari keraguan yang sempat muncul bahwa tingkat partisipasi akan menurun.
Namun, hanya beberapa bulan sesudah pemilu, keberhasilan demokrasi prosedural dan tingginya partisipasi masyarakat itu seolah kehilangan makna. Menjelang akhir periode 2014-2019, tempo lambat kinerja legislasi DPR dan pemerintah berubah. Berbagai rancangan undang-undang (RUU) dikebut secara tertutup, diam-diam, tanpa melibatkan masukan dari masyarakat.
Pada awal September, revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diam-diam muncul bagai petir menyambar di siang bolong. RUU yang substansinya terindikasi melemahkan pemberantasan korupsi itu disahkan hanya setelah dua kali rapat pembahasan tertutup antara Badan Legislasi DPR dan pemerintah, tanpa membuka ruang audiensi dengan publik dan KPK.
Adapun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), yang substansinya berpotensi mengancam kebebasan sipil, difinalisasi tertutup dan terburu-buru selama dua hari oleh DPR dan pemerintah di Hotel Fairmont, Senayan, pertengahan September, untuk menyetujui isu-isu krusial. RKUHP pada akhirnya ditunda atas penolakan yang semakin luas dari publik.
Berbagai RUU bermasalah lainnya pun tiba-tiba ikut bergulir tanpa konsultasi publik, seperti RUU Keamanan dan Ketahanan Siber serta RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional. Pada saat yang sama, RUU yang disuarakan berbagai elemen masyarakat justru tidak kunjung dibahas, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Rakyat, yang hanya beberapa bulan sebelumnya dinomorsatukan dalam berbagai jargon politik, tidak berdaya menghadapi konsolidasi para elite pembuat undang-undang. Rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah kota, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya, yang mendesak pembatalan RUU-RUU bermasalah itu pun menjadi puncak kulminasi kekecewaan publik terhadap kekacauan legislasi.
Di tengah gelombang protes itu, DPR menyebut masukan publik tidak dibutuhkan lagi karena hanya akan menghabiskan waktu. DPR mengklaim, sebagai representasi rakyat, keputusan mereka sudah mewakili keinginan publik. Mengutip kata-kata seorang anggota DPR, persetujuan 10 fraksi di DPR sama saja dengan persetujuan lebih dari separuh rakyat Indonesia.
Minimnya ruang partisipasi publik dalam berbagai pembahasan RUU bermasalah menunjukkan kentalnya pemanfaatan instrumen legislasi untuk kepentingan politik elite. Ketika itu terjadi, tak ayal, kebutuhan masyarakat, khususnya kaum termarjinal dan minoritas, semakin terpinggirkan dalam perwujudan undang-undang dan keputusan politik.
Revisi UU KPK, misalnya, muncul di tengah kekhawatiran partai-partai ketika satu per satu elitenya ditangkap KPK karena kasus korupsi. Sementara revisi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dikebut demi kepentingan berbagi kekuasaan lintas sembilan partai di DPR.
Kini, meski sudah berganti periode keanggotaan, praktik legislasi yang sama berpotensi terulang. Diusulkannya empat RUU sapu jagat atau RUU berkonsep omnibus law usulan pemerintah yang diprioritaskan pada Prolegnas 2020, misalnya, kembali terkesan eksklusif dan tertutup.
Sampai saat ini, belum ada penjelasan detail dan terbuka kepada publik terkait materi RUU itu, termasuk naskah akademik dan drafnya. Ombudsman RI menilai, pemerintah hanya melibatkan unsur pengusaha dalam penyusunan RUU. Ombudsman pun mengingatkan pemerintah agar tidak mengesampingkan kepentingan rakyat demi mengakomodasi kepentingan investasi.
Selain omnibus law, pembahasan RKUHP yang kembali dilanjutkan di periode ini juga terancam tertutup. Komisi III DPR berencana membatasi masukan publik. Publik boleh memberikan masukan dan rekomendasi, tetapi hanya di bagian penjelasan pasal. Masukan publik tidak boleh mengubah substansi dan politik hukum pasal per pasal.
Beberapa anggota Dewan bahkan berencana tidak membahas kembali RKUHP dengan alasan sudah disepakati pada periode lalu dan tinggal dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan.
Akses informasi
Keterbukaan akses terhadap informasi menjadi salah satu prasyarat penting mencapai demokrasi deliberatif yang melibatkan rakyat secara aktif dalam proses perumusan kebijakan dan undang-undang. Namun, hal itu masih menjadi tantangan besar.
Mengutip peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Liza Farihah dan Della Sri Wahyuni, dalam Demokrasi Deliberatif dalam Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, demokrasi Indonesia masih terbatas pada jalur prosedural. Ada tiga aspek yang belum dipenuhi, yaitu kesadaran partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang, mekanisme dan sarana berpartisipasi, serta kepedulian terhadap iklim kebebasan publik berpikir dan berpendapat.
Kesadaran masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses demokrasi kini perlahan menunjukkan geliatnya. Namun, tidak demikian dengan aspek mekanisme berpartisipasi dan iklim kebebasan berpendapat.
Payung hukum untuk menjamin keterlibatan publik ikut memberikan masukan dalam proses pembahasan undang-undang sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan melalui landasan asas keterbukaan dalam proses legislasi.
Namun, saluran atau akses untuk menyampaikan masukan itu tidak diatur detail. Akhirnya, partisipasi publik sebatas jargon dan formalitas. Forum rapat dengar pendapat umum dengan kelompok masyarakat tidak selalu digelar. DPR sebatas melakukan sosialisasi satu arah dan menampung masukan secara selektif.
Akses publik untuk mendapat dokumen atau informasi secara langsung pun terbatas. Beberapa komisi menutup akses terhadap naskah akademik, draf RUU, daftar inventarisasi masalah, atau notulensi rapat. Dokumen dan informasi didapat dengan memanfaatkan koneksi dengan staf atau anggota DPR yang bersedia berbagi. Suatu ”kemewahan” yang tentunya tidak dimiliki seluruh lapisan masyarakat.
Jalur resmi untuk mendapat dokumen-dokumen pembahasan legislasi adalah melalui Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen (PPID) DPR. Tetapi, prosesnya memakan waktu lama dan hasilnya tidak selalu memuaskan. Situs resmi DPR juga jarang diperbarui.
Eksklusivitas dan krisis representasi rakyat ini adalah paradoks di tengah kemajuan pesat teknologi. Terbentuknya ruang-ruang publik yang tidak terbatas di internet seharusnya menjanjikan proses politik yang lebih deliberatif. Diseminasi dan pertukaran informasi seharusnya bisa lebih terbuka agar masyarakat bisa leluasa mengaktualisasikan hak-hak politiknya.
Laporan ”World e-Parliament Report 2018” oleh Inter-Parliamentary Union menyebutkan, banyak negara mulai berbenah dan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk lebih melibatkan publik dalam berbagai proses legislatif.
Dari 114 institusi parlemen yang disurvei, sebanyak 70 persen berupaya meningkatkan kapasitas memublikasikan informasi dan data kepada publik. Sebanyak 10 persen parlemen membuka ruang partisipasi publik lewat kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, 69 persen menggunakan laman situs resmi, dan hanya 9 persen parlemen yang membatasi akses data berdasarkan permintaan.
Kebebasan berpendapat
Namun, perkembangan teknologi sepesat apa pun bisa menjadi pisau bermata dua jika tidak ada kemauan politik dari elite untuk membuka ruang dialog dengan publik dalam proses legislasi.
Mengacu pada berbagai indeks untuk mengukur kualitas demokrasi, seperti Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) oleh Badan Pusat Statistik, Indeks Demokrasi 2018 oleh The Economist Intelligence Unit, dan Freedom House 2018, kebebasan berekspresi dan kualitas demokrasi substansial Indonesia di bawah ancaman.
Berdasarkan data Freedom House, Indonesia turun dari negara free (bebas) menjadi partly free (setengah bebas), dengan adanya penurunan di indeks kebebasan berekspresi. Sementara Lembaga Survei Indonesia mencatat, dalam survei nasional 8-17 September 2019, dari 1.550 responden, sebanyak 43 persen mengaku semakin takut bicara tentang politik, meningkat signifikan dibandingkan dengan survei serupa pada 2014.
Berbagai kenyataan itu menjadi benang kusut yang harus diurai ke depan. Masyarakat tidak bisa dipandang semata-mata sebagai perwujudan poin-poin suara numerik saat pemilu untuk menentukan siapa yang duduk di kursi kekuasaan.
Rakyat, yang akan terkena dampak peraturan perundang-undangan, sudah sepatutnya dilibatkan dan didengarkan saat undang-undang itu dibuat. Nihil de nobis, sine nobis. Nothing about us, without us.