Membuka Paradigma Mendunia
Setelah berakhirnya SEA Games Filipina 2019, tim panahan Indonesia harus mulai menata diri dan fokus membidik Olimpiade Tokyo 2020. Mereka perlu menepikan ego daerah dan memiliki paradigma mendunia.
Sepanjang 2019, tidak ada prestasi signifikan panahan Indonesia selain membawa pulang dua medali emas dari SEA Games 2019. Di tengah situasi tidak menguntungkan yang menjerat panahan Indonesia, raihan dua keping emas di Filipina itu adalah capaian moderat, yaitu tidak bagus juga tidak buruk. Mereka memenuhi target yang dipatok pemerintah.
Namun, jika dibandingkan dengan edisi sebelumnya, yaitu 2017 di Malaysia, pencapaian itu berkurang drastis. Di Malaysia, kandang tim panahan terkuat di Asia Tenggara, Indonesia, menyabet empat emas. Di satu sisi, penurunan prestasi itu bisa dimaklumi. Tahun 2019 bisa disebut masa ”turbulensi” bagi tim panahan Indonesia.
Meskipun rutin menjadi pendulang emas di SEA Games, langganan Olimpiade, dan mengukir sejarah dengan meraih medali perak dan perunggu dari nomor individu pada Asian Games 2018, panahan Indonesia sempat tidak dimasukkan ke dalam cabang prioritas. Kementerian Pemuda dan Olahraga menempatkan panahan di kasta ketiga dari empat kluster pemberian bantuan anggaran pelatnas.
Konsekuensinya, bantuan yang diperoleh tidak sesuai alias hanya sepertiga dari nilai pengajuan oleh Pengurus Pusat Persatuan Panahan Indonesia (Perpani). Dampaknya, durasi pemusatan latihan dan jumlah uji coba di luar negeri dipangkas drastis. Pelatnas di Jakarta, yang idealnya dimulai awal tahun 2019, misalnya, baru berjalan Mei lalu alias mundur empat bulan.
Efisiensi itu berdampak cukup besar, yaitu tidak sinkron atau efektifnya periodisasi latihan serta persiapan tim. Imbasnya, Indonesia gagal berprestasi dan mencuri medali di Kejuaraan Dunia Panahan 2019 di Belanda, Juni lalu, yang sekaligus satu-satunya try out atau uji coba tim pada tahun ini. Karena minimnya persiapan, karena baru memulai pelatnas sebulan, Indonesia tidak mampu memaksimalkan turnamen panahan dunia dua tahunan itu.
Padahal, ajang itu semestinya menjadi kesempatan panahan Indonesia meraih tiket lebih dini ke Olimpiade Tokyo dari nomor beregu, baik putra, putri, maupun campuran. Tiket itu bisa diraih apabila tim beregu Indonesia minimal menembus perempat final. Saat itu, Indonesia tidak bisa menurunkan tim terbaiknya dan hanya menurunkan pasangan eksperimen di nomor recurve, yaitu Riau Ega Agatha dan Linda Lestari.
Situasi itu memaksa tim Indonesia harus bekerja lebih keras mengejar tiga tiket beregu itu pada tahun depan. Piala Dunia Panahan Seri Ketiga di Berlin, Jerman, Juni 2020, menjadi kesempatan terakhir Indonesia merebut ketiga tiket itu menuju Olimpiade Tokyo 2020.
Sejauh ini, Indonesia baru mengamankan dua tiket cabang panahan di Olimpiade 2020, yaitu dari perseorangan putri dan putra, berkat prestasi Dianananda Choirunisa dan Riau Ega yang masing-masing meraih perak dan perunggu di Asian Games 2018.
Tantangan berat
Tak ayal, tahun 2020 bakal menjadi tantangan berat bagi tim panahan Indonesia. Mereka harus bersaing di level tertinggi olahraga segala cabang, yaitu Olimpiade. Maka itu, belajar dari pengalaman tahun ini, persiapan mengejar tiket beregu ataupun tampil di Olimpiade Tokyo harus dipersiapkan lebih matang, baik oleh PP Perpani maupun Kemenpora selaku pembina olahraga di Tanah Air. Pelatnas pun tidak boleh lagi telat, yaitu harus dimulai sejak awal tahun atau paling lambat Februari.
Jumlah uji coba pun tidak lagi boleh minimalis seperti menjelang SEA Games 2019. Idealnya, uji coba itu dilakukan selama tiga kali, termasuk tampil di Piala Dunia Seri Ketiga di Berlin. Uji coba atau latih tanding sangatlah penting dalam olahraga yang membutuhkan aspek nonfisik seperti insting dan ketenangan pikiran seperti panahan. Dengan sering bertemu lawan-lawan berkelas dunia, kepercayaan diri mereka akan tumbuh.
Hal itu terutama sangat dibutuhkan atlet-atlet yunior atau muda yang masih minim pengalaman. Apalagi, kini komposisi tim pelatnas panahan saat ini banyak diisi pemanah muda. Di recurve, satu-satunya kategori yang akan dipertandingkan di Olimpiade Tokyo, setidaknya ada dua atlet yunior putra Indonesia yang berpotensi dan dibawa ke SEA Games Filipina. Keduanya adalah Arif Dwi Pangestu dan Ryan Rafi yang masing-masing baru berusia 15 tahun dan 16 tahun.
Serangkaian uji coba, bahkan pemusatan latihan di luar negeri, terbukti turut andil dalam kesuksesan tim legenda panahan Indonesia, Trio Srikandi menyabet medali perak di Olimpiade Seoul 1988. Seperti diceritakan Nurfitriyana Saiman, salah satu anggota Trio Srikandi, dalam sejumlah pertemuan, saat itu pelatnas dilakukan secara jangka panjang dan nyaris tidak terputus. Durasinya bisa bertahun-tahun dan menjadikan Olimpiade sebagai target utamanya.
Pada masa itu, saat masih dilatih pelatih legendaris Donald Pandiangan, tim panahan Indonesia sering berkelana ke luar negeri, bahkan berbulan-bulan lamanya, untuk melakukan pemusatan latihan. Di sela-sela latihan tanding itu, mereka kerap mengikuti kejuaraan lokal di negara itu serta kompetisi berskala internasional lainnya. Kebiasaan itu bertujuan menanamkam mentalitas baja dan membentuk paradigma ”mendunia” di benak para atlet saat itu seperti Nurfitriyana.
Paradigma itu perlu kembali dihidupkan saat ini mengingat panahan Indonesia tidak pernah lagi berprestasi tinggi di Olimpiade setelah kesuksesan bersejarah di Seoul 1988. Meskipun rutin tampil di Olimpiade, Indonesia tidak lagi pernah meraih medali dari panahan dan acap kali tersingkir dini. Pada Olimpiade London 2012, misalnya, pemanah putri Ika Yuliana Rochmawati gugur di babak 16 besar. Padahal, ia satu-satunya andalan panahan Indonesia saat itu.
Empat tahun berselang, di Rio de Janeiro, panahan Indonesia mengirimkan empat atlet yang turun di tiga nomor, yaitu perseorangan putri, putra, dan beregu putra. Terlepas dari kejutan Riau Ega yang menaklukkan pemanah putra nomor satu dunia saat itu, Kim Woo-jin, di fase awal, Indonesia maksimal hanya mampu melangkah hingga perempat final, yaitu lewat tim beregu putra. Adapun Ika kandas lebih dini di babak pertama.
Potensi konflik
Di tengah beratnya tantangan panahan Indonesia pada tahun depan, kontroversi pun muncul terkait pelatnas. Diberitakan sejumlah media lokal, Pengurus Daerah (Pengda) Perpani Jawa Timur berencana menarik para atletnya yang menjadi andalan Indonesia, yaitu Riau Ega dan Diananda Choirunisa, untuk dibina di daerah itu menjelang Olimpiade. Mereka kecewa dengan kurang matangnya program pelatnas di Jakarta menjelang SEA Games 2019 yang berakibat cedera dan gagalnya Diananda meraih emas.
Wacana itu disampaikan Denny Tresyanto, pelatih pelatnas panahan Indonesia 2015-2018, yang kini menjabat Ketua Pengda Perpani Jatim. Ia ingin pelatnas Olimpiade dilakukan secara desentralisasi, yaitu di daerah-daerah asal atlet, agar bisa lebih memaksimalkan pembinaan anak-anak didiknya yang telah mereka orbitkan itu, sekaligus menyinkronkan dengan persiapan Pekan Olahraga Nasional 2020 di Papua.
Meskipun tidak lazim, desentralisasi latihan sebetulnya bukan hal aneh di Indonesia. Sejumlah cabang, seperti senam, rutin melakukannya sejak puluhan tahun lalu hingga detik itu. Cabang senam terpaksa melakukan itu karena ketiadaan fasilitas memadai, yaitu tempat ataupun alat-alat senam yang tersentralisasi di pusat. Karena itu, pelatnas atlet senam tersebar di sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Riau.
Namun, desentralisasi di panahan berpotensi menimbulkan komplikasi, bahkan konflik. Cabang itu sebetulnya cukup beruntung karena memiliki fasilitas latihan terpusat yang memadai, bahkan berkelas dunia, yaitu Lapangan Panahan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, sebagai warisan Asian Games 2018. Desentralisasi panahan juga pernah diwacanakan pada 2014 silam, yaitu menjelang Asian Games Incheon. Lagi-lagi, itu diungkapkan Pengda Jatim.
Masalah itu lantas berkembang menjadi konflik antara Perpani Pusat dan Pengda Jatim. Ketika itu, Pengda Jatim menolak melepas para atlet andalannya, seperti Ika Yuliana, Diananda, dan Dellie Threesyadinda, mengikuti pelatnas di Jakarta. Tindakan itu menimbulkan kemarahan Perpani Pusat dan mereka mengancam mencoret atlet-atlet asal Jatim dari daftar kontingen di Asian Games Incheon.
Konflik itu terbukti telah menguras energi dan emosi. Pemerintah pun turut campur tangan dan memediasi kedua belah pihak. Meskipun akhirnya Pengda Jatim bersedia mengirimkan atlet-atletnya ke Jakarta, keharmonisan tim telanjur rusak dan persiapannya terganggu. Hasilnya, tim Indonesia yang dipimpin almarhum pelatih Daniel Lumalesil itu gagal total di Incheon. Ika tersingkir di babak pertama, sementara Diananda terhenti di perempat final.
Pengalaman buruk itu patut menjadi catatan bagi Pengda Jatim ataupun jajaran pengurus baru di Perpani pusat pimpinan Kelik Wirawan yang dilantik awal 2019 lalu. Panahan Indonesia harus kembali berpikir mendunia, bukan justru mengedepankan ego kecilnya masing-masing.