Memantapkan diri untuk berkarya sebagai wirausaha, Arum Puji Lestari tak henti menambah ide untuk karya rajutannya. Ia tak segan bertukar ide dengan perajin lain dan mencari bahan di internet.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Lulus kuliah dari perguruan tinggi di Yogyakarta dengan indeks prestasi 3,3 tidak membuat Arum Puji Tri Lestari (29) berkeinginan bekerja di salah satu perusahaan. Sebaliknya, dia justru memilih untuk berkutat dan berkreasi dengan gulungan benang dan mencurahkan perhatian pada usahanya sendiri. Usaha kerajinan rajut tersebut ia rintis sejak tiga tahun silam.
”Kerajinan rajut ini adalah tumpuan perhatian dan kehidupan saya di masa sekarang dan masa depan,” ujar warga Desa Ngadiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ini.
Sebenarnya, usaha serupa rajut sudah digeluti banyak orang di sejumlah kota. Namun, yang tersedia di pasaran kebanyakan tas dan baju.
Oleh karena itu, untuk menghindari pesaing yang sudah terlalu banyak dan demi mewujudkan mimpinya, Arum memutuskan menciptakan pasar sendiri. Ia fokus pada produksi rajutan seperti boneka untuk cendera mata, bros, gantungan kunci, topi, dan payung. Produk massal kerajinan rajut seperti tas dan dompet hanya dibuat sesekali sesuai permintaan.
Hanya mengandalkan upaya promosi menggunakan media sosial, relasi, dan kerabat, Arum bisa memasarkan produknya secara luas. Kini, ribuan produk rajut yang dibuat Arum telah dipasarkan ke kota-kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.
Karyanya dijual dengan harga termurah Rp 3.500 per buah untuk bros. Adapun yang termahal adalah payung seharga lebih dari Rp 1 juta per buah.
Memulai usaha
Sejak kecil, Arum terbiasa menjalankan usaha. Saat duduk di bangku sekolah dasar, dia pernah berjualan permen di sekolah. Memasuki jenjang sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi, ia berganti-ganti usaha, yang di antaranya membuat dan menjual produk kerajinan.
Pada 2016, Arum kembali menemukan ide untuk menjalankan usaha. Semula, dia iseng mengikuti pelatihan merajut yang diselenggarakan temannya. Belakangan, dia justru tertarik menekuni kerajinan rajut serupa.
”Saya merasa takjub karena dari gulungan benang saja bisa menghasilkan beragam jenis kerajinan yang cantik dan menarik,” ujarnya.
Selepas pelatihan, Arum berupaya menambah ilmu dengan terus belajar dan mencoba-coba. Sebagian produk ia pakai sendiri dalam berbagai aktivitas di kampus. Cara itu membuat teman-teman kuliahnya tertarik. Dalam waktu sebulan, ia menerima pesanan 10 dompet.
Kegiatan merajut itu ia lakukan di sela-sela kuliah, bahkan sambil menyiapkan wisuda. Setelah diwisuda, Arum melamar ke sejumlah perusahaan, bahkan menjalani seleksi. Namun, pikirannya lebih banyak tercurah pada rajutannya.
”Ketika menempuh tes di salah satu perusahaan, saya tidak lagi bisa optimal mengikuti karena seluruh pikiran dan stamina saya tercurah untuk menyelesaikan pesanan tas yang belum selesai,” ucapnya.
Pada akhirnya, Arum justru semakin memantapkan diri untuk menekuni sektor informal. Ia fokus pada kegiatan dan usahanya merajut.
Keseriusan itu antara lain diwujudkan dengan memberi nama atau label pada karya rajutannya, yakni Kasanga. Kata ”kasanga” dalam bahasa Jawa berarti kesembilan. Sebab, usaha rajut ini merupakan usaha kesembilan yang dilakukan Arum.
Modal
Pada saat memulai usaha, Arum hanya bermodal Rp 500.000. Modal itu digunakan untuk membeli peralatan rajut dan benang.
Foto karya-karya awalnya ia unggah di media sosial. Ditambah dengan promosi dari mulut ke mulut melalui kerabat dan rekan-rekannya, Arum mulai menerima pesanan dari beberapa daerah.
Tak hanya gencar berpromosi, Arum juga mengembangkan diri dengan tak henti mencari ide tentang kreasi baru yang bisa dikembangkan dalam kerajinan rajut. Ia tak segan bertukar informasi dengan sesama perajin. Ia juga menggali ide dari internet.
Pada 2018, Arum mendapat informasi bahwa Taman Wisata Candi Borobudur akan menjadi lokasi penyelenggaraan Festival Payung Indonesia. Kendati belum pernah membuat payung rajut, Arum mendaftar sebagai peserta. Ia justru membuat acara itu sebagai ajang untuk membuktikan kemampuannya merajut dan menghasilkan karya rajut baru.
Saat itu juga, Arum mencari cara merajut kain pelapis payung. Semua itu dipelajari dan dipraktikkan secara otodidak. Adapun rangka payung dipesan khusus dari Solo.
Setelah melalui proses belajar dan uji coba, Arum berhasil membuat dua payung rajut. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat payung cukup panjang, yakni tiga pekan hingga empat pekan untuk satu payung.
Namun, usaha dan kerja kerasnya tidak sia-sia. Dua payung itu dibeli pengunjung dengan harga Rp 1,2 juta per buah.
Arum tiada kenal lelah memperkaya kreasinya. Dalam waktu dekat, ia akan membuat produk baru berupa tas berbahan mendong berhias rajutan dan tas dari rajutan tali goni. Ia juga membuat berbagai motif baru untuk payung rajut.
Dengan cara itu, ia berharap masyarakat semakin banyak melirik karya rajut. Ia juga kian memantapkan diri berkarya sebagai wirausaha di bidang seni rajut untuk menghasilkan karya indah.