Sebanyak hampir 200.000 tenaga kerja sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan, di Sulawesi Tenggara meninggalkan pekerjaannya dan beralih ke sektor lain. Akan tetapi, tenaga kerja ini tidak terserap ke pertambangan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Sebanyak hampir 200.000 tenaga kerja sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan, di Sulawesi Tenggara meninggalkan pekerjaannya dan beralih ke sektor lain. Akan tetapi, tenaga kerja ini tidak terserap ke sektor pertambangan yang melonjak. Sektor pertanian terancam dengan pertumbuhan yang semakin melambat, dan tidak adanya regenerasi petani.
Kajian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari menunjukkan, dalam dua gelombang menjamurnya pertambangan di Sultra, terjadi migrasi tenaga kerja yang tinggi, khususnya dari sektor pertanian. Dalam periode pertama, 2008-2012, tenaga kerja di sektor pertanian berkurang 139.201 orang. Periode kedua meningkatnya sektor pertambangan, terjadi penurunan tenaga kerja 49.960 dalam kurun 2016-2018. Sekitar 60-70 tenaga kerja ini adalah petani.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsul Anam menjelaskan, pertanian dan pertambangan adalah dua sektor utama yang mendukung perekonomian Sultra satu dekade terakhir. Akan tetapi, meledaknya sektor pertambangan ini, tenaga kerja sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, berkurang drastis. Sebagian besar dari tenaga kerja yang keluar ini di jenjang pendidikan rendah, dan menengah.
“Dari kajian kami, meski sektor pertambangan tumbuh tinggi, tenaga kerja ini tidak banyak terserap ke sektor pertambangan. Mereka lebih banyak masuk ke sektor tersier, yaitu perdagangan dan jasa. Sektor ini memang tidak memerlukan keahlian khusus, seperti penjaga toko, tenaga kasar, atau kasir,” ucap Syamsul, di Kendari, Jumat (27/12/2019).
Menurut Syamsul, hal ini terjadi karena adanya tekanan besar dari sektor pertambangan ke sektor primer lainnya, yaitu pertanian. Tekanan tersebut bisa karena alih fungsi lahan, tidak adanya perhatian pemerintah, atau juga karena iming-iming besar dari sektor pertambangan. Di satu sisi, sektor pertambangan sebagian memerlukan keahlian khusus yang tidak dimiliki petani atau nelayan. Selain itu, juga adanya persoalan perekrutan di sektor pertambangan itu sendiri.
Dari kajian kami, meski sektor pertambangan tumbuh tinggi, tenaga kerja ini tidak banyak terserap ke sektor pertambangan. Mereka lebih banyak masuk ke sektor tersier, yaitu perdagangan dan jasa
Dampak dari kejadian ini, tambah Syamsul, sektor pertanian mengalami penurunan produktivitas. Selain itu, sumbangsih sektor pertanian ke perekonomian secara umum juga terus menurun. Nilai tambah sektor pertanian juga tidak lagi meningkat, dengan semakin berkurangnya petani.
Berdasarkan data, kontribusi sektor pertanian ke perekonomian Sultra periode 2001-206 masih sebesar 36 persen. Pada kurun 2007-2013 turun menjadi 27,5 persen. Kontribusi ini diproyeksi terus menurun dalam lima tahun terakhir.
“Dengan kondisi seperti ini, sektor pertanian kita rawan karena petani berkurang, dan tidak ada regenerasi. Tidak adanya nilai tambah membuat hidup petani di desa akan semakin sulit. Sementara itu, ratusan ribu pekerja tadi masuk ke kota dan membebani kota,” urai Syamsul.
Oleh karena itu, Syamsul mengusulkan, agar pemerintah benar-benar memberikan perhatian tinggi ke sektor pertanian yang menjadi basis pekerjaan utama masyarakat. Program, penyuluhan, hingga dukungan anggara, dibutuhkan agar sektor ini bisa berkembang, dan memberikan nilai tambah ke masyarakat.
Suwantoko, Ketua Gapoktan Sri Kembang di Konawe Selatan menuturkan, petani memang mengalami sejumlah kendala setiap waktu. Kendala itu berupa infrastruktur pertanian, suplai air, hingga minimnya perhatian pemerintah untuk sektor ini.
Selama satu tahun terakhir, Swantoko menceritakan, sebanyak 15 hektar lahan milik petani dijual. Hal itu karena desakan kebutuhan, dan iming-iming manfaat sesaat. Lahan tersebut beralih menjadi perumahan, dan petani sebagian beralih bekerja menjadi buruh.
“Di Gapoktan kami ada 9 kelompok dengan 200 petani dan 250 hektar lahan. Luas lahan ini telah berkurang dari sebelumnya lebih dari 300 hektar dan hampir 300 petani lebih dari 10 tahun terakhir. Kami berharapnya agar pemerintah fokus untuk mengembangkan pertanian,” katanya.
Hatang (54), nelayan dan mantan Kepala Desa Kokoe, di Pulau Kabaena, Bombana, menuturkan, sebagian warga telah beralih kerja dan masuk di pertambangan yang beroperasi di pulau seluas 870.000 hektar tersebut. Mereka meninggalkan pekerjaan mencari ikan dan mengolah rumput laut dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Hatang, kondisi ini terjadi karena kondisi perairan juga kadang memburuk utamanya saat musim penghujan tiba. Air laut memerah dan membuat perairan tidak baik untuk diolah dan mencari ikan.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sulawesi Tenggara Suryati Raeba menuturkan, kondisi petani saat ini memang didominasi petani tua, yang sangat sedikit regenerasi. Hal itu terjadi karena kurangnya minat generasi baru untuk mengikuti jejak orang tua.
Salah satu penyebabnya, urai Suryati, adalah tidak adanya nilai tambah yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya petani. Hasil panen hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan terkadang kurang. Dengan kondisi itu, petani tergencet dan memilih keluar ke sektor yang penghasilannya cepat dan tidak membutuhkan keahlian khusus.
“Ini memang bukan pekerjaan mudah, dan harus dikerjakan secara lintas sektor. Mulai dari pendidikan, pembangunan saranan prasarana, fasilitas pendukung, hingga bantuan langsung. Tahun ini kami Sudah memulai, dan akan mengintensfikan bantuan ke petani. Salah satu yang kami dorong ini ada yang mampu panen di atas 10 ton per hektar. Agar menjadi stimulus bagi petani lain ke depan,” ujarnya.