Berbisnis dengan Etika
Sebaris slogan kini tak lagi cukup untuk menarik konsumen agar membeli sebuah produk.
Sebaris slogan kini tak lagi cukup untuk menarik konsumen agar membeli sebuah produk. Ketika konsumen mengonsumsi dengan kesadaran lebih, sejumlah produsen di Tanah Air berdiri di belakang sebuah isu dan berkontribusi nyata melalui jenama yang mereka bangun.
Belakangan ini semakin banyak konsumen yang berharap produk tidak sekadar fungsional, tetapi juga punya tujuan baik. Mereka sadar betul apa yang mereka inginkan ketika membeli baju, makanan, sepatu, atau kosmetik. Di mana, siapa, dan bagaimana produk-produk itu dibuat.
Ini menuntut perusahaan merengkuh cara baru berbisnis. Berita baiknya, semakin banyak pula perusahaan yang tumbuh dengan cara berbisnis demikian. Beberapa di antaranya adalah Sukkhacitta, One Fine Sky, dan Terartai di Jakarta; Pijak Bumi di Bandung; dan Biyung Indonesia di Yogyakarta. Mereka mengawali usaha dengan sebuah cause (misi atau prinsip) sebagai pijakan.
Duduk bersila beralas tikar, tiga perempuan sibuk memilah potongan-potongan kain aneka warna. Kain bergambar pola kemudian digunting. Di dekat mereka terlihat sejumlah pembalut kain yang selesai dijahit dan dikemas dalam besek bambu.
”Pembalut kain ini sudah siap dikirim kepada pembeli,” kata Westiani Agustin (42), pendiri Biyung Indonesia, Selasa (10/12/2019) sore, di Bantul.
Biyung Indonesia merupakan produsen pembalut kain dengan jenama (brand) Biyung. Menurut Westiani, usaha yang berdiri pada 2016 itu semula dibuat untuk tugas sekolah anak perempuannya, yakni membuat usaha yang dibutuhkan dan berdampak bagi orang lain. Setelah diskusi, disepakati mereka membuat pembalut kain.
Pembalut Biyung berbahan sederhana, terdiri atas empat lapis kain, yakni kain kaus, kain antiair, kain handuk, dan kain katun motif batik. Dilengkapi kancing, pembalut ini mudah dikaitkan pada pakaian dalam sehingga tidak gampang lepas.
”Kami ingin menghadirkan pembalut yang aman dan sehat untuk perempuan, juga ramah lingkungan. Dibandingkan dengan pembalut sekali pakai yang menghasilkan banyak sampah, pembalut kain jelas lebih aman karena bisa dicuci dan dipakai berkali-kali,” papar Westiani.
Umur pemakaian pembalut Biyung bisa 3-4 tahun. Pembalut biasanya dijual per paket seharga Rp 105.000. Satu paket terdiri dari empat ukuran berbeda, yakni S (25 sentimeter), M (28 cm), L (30 cm), dan XL (35 cm), yang bisa dipakai bergantian dalam satu siklus menstruasi.
Sebanyak 80-100 paket terjual setiap bulan lewat media sosial dan jaringan penjual (reseller). Sebagian hasil penjualan disisihkan untuk pelatihan pembuatan pembalut kain bagi perempuan dari kalangan tidak mampu.
Lingkungan juga menjadi misi perusahaan alas kaki, Pijak Bumi. Sepatu berbahan kulit itu laris meski harganya mencapai Rp 1,8 juta. ”Tinggal beberapa pasang lagi dari 300-an pasang yang kami buat tahun ini,” tutur Rowland Asfales, salah satu pendiri Pijak Bumi.
Sepatu warna krem ini berdesain unik, tampilan segar, dan detail rapi. Hal yang menjadikannya bernilai adalah konsep pembuatan ramah lingkungan. Bahan organik mencakup dua pertiga sepatu. Penggunaan bahan kimia diminimalkan. Hanya bagian sol tengah dan dalam berbahan styrofoam, selebihnya kulit sapi yang diproses secara organik.
Bahan organik lain yang dipakai adalah katun organik, yakni tekstil yang diproses secara alami, untuk membuat sneakers dan beberapa model lain.
Semula Asfales khawatir dengan pembuatan sepatu yang kerap memakai bahan kimia. Berkutat dengan usaha sepatu sejak tahun 2011, dia paham betul penggunaan bahan sepatu yang menghasilkan limbah berat.
”Beberapa tahun kemudian usaha ini bangkrut. Tahun 2015, saya coba bangkit dengan cara berbeda. Saat itu saya melihat kecenderungan orang mulai melihat produk berbahan dasar organik atau ramah lingkungan,” ungkapnya.
Konsep itu mendapat respons positif. Mereka turut mengedukasi masyarakat lewat racikan artikel berbasis sains dari berbagai literatur untuk menarik minat konsumen dan menjaga kesetiaan mereka pada Pijak Bumi.
Keberlanjutan
Tak hanya berpijak pada pelestarian lingkungan, Sukkhacitta mengangkat cause sustainability atau keberlanjutan dalam usahanya. Perusahaan sosial ini bergerak di bidang mode dengan produk busana buatan tangan ibu-ibu di enam desa di Tanah Air.
Chief Operating Officer Sukkhacitta Bertram Flesch mengatakan, tekstil Indonesia, terutama batik, kini terasa lebih penting daripada sebelumnya. ”Kami menawarkan cara yang tidak hanya ramah untuk orang, tetapi juga lingkungan. Dengan baju buatan tangan, kita memberi pekerjaan, pemasukan, kepada orang lain,” ujarnya dalam pameran T’angan di Museum Bank Indonesia, Jakarta Barat, (7/12).
Pameran itu bagian dari The Bach Project yang digagas pemain cello, Yo Yo Ma, untuk meningkatkan kesadaran akan masalah lingkungan. Lewat proyek itu, Sukkhacitta bakal mendirikan Rumah Sukkhacitta, sekolah kerajinan tangan.
Produk busana Sukkhacitta dibuat dari kapas yang dibiarkan tumbuh alami, kain yang ditenun sendiri, dan pewarna alami yang tumbuh di sekitar. Perusahaan ini memutus panjangnya rantai pasokan dari pembuat ke pemakai sehingga lebih menguntungkan para perajin. Keuntungan penjualan menyokong bisnis perusahaan dan pelatihan kepada perajin.
Dengan tagar #MadeRight, Sukkhacitta berusaha berbuat adil dan baik kepada bumi. Kendati demikian, imbuh Bertram, kita tidak harus serta-merta memakai produk buatan tangan ramah lingkungan. ”Kami berharap bisa memberikan inspirasi untuk memilih baju yang dipakai. Jika kita tahu cerita di balik pembuatannya, kita bisa lebih mengapresiasi,” ujarnya.
Masih terkait mode, perusahaan Terartai memproduksi scarf dengan desain karya anak-anak spesial gangguan perkembangan otak dan saraf motorik. Pendirinya, Amanda Maringka (27), ingin agar anak-anak spesial itu mendapatkan harapan dan semangat. ”Mereka mampu berpikir dan sebetulnya ingin didengar, tetapi butuh dorongan untuk maju,” katanya.
Amanda pernah jadi sukarelawan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kyriakon dan berjumpa dengan murid-murid dari beragam spektrum autisme, serebral palsi, atau keterbelakangan intelektualitas. Dia sering terperangah dengan kemampuan anak-anak itu membuat karya seni. Amanda mereka-reka ide anak-anak melalui sketsa gambar.
”Gambar yang dipilih itu kemudian diwarnai oleh mereka. Saya mengolahnya secara digital menjadi desain scarf, lalu diproduksi,” tuturnya. Dari setiap penjualan scarf, Amanda menyisihkan 20 persen untuk anak-anak yang memiliki desain.
One Fine Sky yang berdiri pada 2 Mei 2017 menyebut diri proyek sosial sebagai respons atas kesulitan ekonomi di sebagian masyarakat. Dari setiap penjualan koleksi, seorang anak SD menerima satu set seragam sekolah.
Dirintis Yuni Jie dan Claudia Halim, keuntungan One Fine Sky dikonversi menjadi seragam sekolah. Mereka prihatin karena banyak anak Indonesia tidak memiliki seragam sekolah layak. ”Dengan seragam layak, mereka akan lebih percaya diri, semangat belajar, dan menggapai mimpi,” ujar mereka.
Dengan misi “To do good and look good”, pembeli tak hanya berkontribusi pada cause mereka, tetapi juga tetap bisa tampil keren melalui beragam koleksi kemeja putih, polo shirt, dan topi sportif.
Mereka menggandeng pesohor, seperti Rifat Sungkar, Irfan Bachdim, Reza Rahadian, Dian Sastrowardoyo, dan Nicholas Saputra, untuk kolaborasi. Donasi pertama diserahkan kepada Komunitas anak nelayan di Cilincing, Jakarta Utara. Seragam juga didistribusikan ke sekolah dan panti asuhan di Semarang, Asmat, dan Nias.
Kesempatan
Cilla Henriette, Partner & Business Humaniser at Innate Motion, mengatakan, sekitar lima tahun terakhir bermunculan bisnis bermotivasi doing good. ”Sejak awal didirikan, mereka memiliki itikad baik, tidak sekadar untuk profit, tetapi juga memastikan ada dampak positif bagi planet atau masyarakat,” tuturnya.
Innate Motion adalah perusahaan global yang bergerak di bidang konsultasi pembangunan dan pemasaran. Sebagai anggota B Corp—komunitas global yang memanfaatkan bisnis sebagai kekuatan kebaikan—perusahaan ini membantu perusahaan denganmisi/prinsip tertentu mencapai tujuan.
Bisnis baru ini, imbuh Cilla, lebih tangkas dan muda. Dari awal, misi yang mereka usung sudah masuk dalam ukuran bisnis. ”Misalnya mereka tak akan sembarang menerima investor. Sebagai kekuatan kebaikan, mereka tulus melakukannya,” katanya.
Ke depan, dia menilai usaha semacam ini bakal tumbuh. Berdasarkan pengalaman kerja bersama klien, dia menengarai, kesadaran masalah lingkungan atau sosial di Indonesia sudah hampir 100 persen.
”Yang peduli dan bertindak sekitar 20 persen. Pada level global, jumlahnya sudah 40 persen. Jadi, sisanya sadar tetapi tidak berbuat apa-apa,” paparnya.
Ini sejalan dengan tren global yang menunjukkan keberhasilan banyak perusahaan dengan misi tertentu dalam menjalankan bisnis. Forbes dalam artikel ”Beyond Awareness, Successful Social Impact Brands Do These 4 Things” (30 April 2018) menyebutkan, guna mendapat perhatian, jenama perlu memberi kesempatan konsumennya untuk bergabung dalam upaya terkait misi mereka.
Ada yang membawa konsumen menyaksikan proses produksi, mengundang mereka jadi sukarelawan, hingga memberi kesempatan kepada konsumen melihat dampak pembeliannya, perusahaan mendapatkan hadiahnya: kesetiaan konsumen.
(RTG/HRS/WKM/NAW/FRO)