Mimpi-mimpi Baron
Sosok Aria Baron dikenal luas saat bergabung dengan GIGI pada 1994-1995. Toh kesuksesan GIGI kala itu tak menghentikan Baron mengejar mimpi lainnya.
Sosok Aria Baron dikenal luas saat bergabung dengan GIGI pada 1994-1995. Toh kesuksesan GIGI kala itu tak menghentikan Baron mengejar mimpi lainnya. Ia melanjutkan studi di New York Institute of Technology. Kini mimpinya adalah perlindungan hak cipta bagi para musisi Tanah Air.
Rabu (11/12/2019) sore, hujan deras mengguyur Jakarta. Baron duduk santai di teras rumah yang juga studionya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dia merangkum singkat perjalanannya saat mencoba meninggalkan dunia musik. ”Setelah dari Amerika dan pulang ke Jakarta, sempat bekerja di advertising. Tetapi akhirnya balik lagi ke musik,” tutur Baron.
Sore itu, Baron tak bicara soal perjalanan panjangnya di dunia musik. Dia tak bicara soal proyek-proyek musiknya bersama sejumlah band, seperti /Rif dan Baron Soulmates, atau saat dia jadi produser musik untuk band, seperti Wayang, Shiva, Zivilia, Merpati Band, Bambooe, hingga Indonesian Idol Artist.
Tidak juga bercerita soal ia jadi music technical director untuk Wali Band di album pertama hingga ketiga atau saat dia menjadi session guitar player untuk beberapa penyanyi, seperti Afgan (”Bukan Cinta Biasa”), Iwan Fals (”Aku Bukan Pilihan”), Glenn Fredly (”Happy Sunday”), Oppie Andaresta, hingga Padhayangan Project.
Dia hanya sedikit bercerita tentang kesibukannya empat tahun terakhir bersama GIGI. Ia tidak kembali menjadi personel band itu, tetapi lebih mengurusi aspek manajerial. Di sela-selanya, Baron sibuk dengan Six Strings bersama Baim, Tohpati, Dewa Budjana, dan Eross Candra. Ada beberapa kesibukan lain yang tak jauh-jauh dari musik. Selebihnya, Baron menyebut dirinya gitaris 1 menit, seperti tercantum di akun Instagramnya, @ariabaron.
Sebutan itu mengacu pada durasi video yang bisa ditampilkan di feed akun Instagram. Saat ini ada fitur IGTV yang menyediakan durasi lebih panjang, tetapi Baron belum tertarik memanfaatkannya. Begitu juga dengan kanal Youtube yang bagi sebagian orang begitu menggairahkan untuk mendulang popularitas dan tentu saja rupiah.
”Banyak yang minta untuk sharing-sharing juga, tetapi belumlah,” katanya santai. Sementara ini, dia cukup puas dengan feed Instagram 60 detik untuk membagi ilmu tentang teknologi gitar terbaru.
Pilihan Baron itu dilakukan dengan sadar. Di era digital seperti saat ini, semua ibarat pasar bebas tanpa batas, dia memilih bersikap kritis dan berhati-hati. Perlindungan hak cipta kini tengah menjadi perhatian terbesar Baron.
Obrolan sore itu pun lalu terfokus pada persoalan hak cipta para musisi di Tanah Air yang hingga kini belum jelas masa depannya. Sesekali obrolan terhenti, terdistraksi kehadiran kue-kue tradisional yang disediakan istrinya, Febriana Ria Dewi, untuk teman ngobrol. Begitu pun saat bakso hangat tersaji di meja.
Namun, Baron tetap serius berbicara soal perlindungan hak cipta. Beberapa tahun terakhir, ia memang sangat intensif berkampanye soal perlindungan hak cipta kepada sejawatnya.
Aset yang dilindungi
”Sekarang ini, yang namanya hak cipta itu kacau banget. Kalau di luar negeri, mulai dari sisi penegak hukum, pelaku industri, semua sudah berjalan. Di lingkungan kita, saya enggak tahu, di-biarin atau apa pun itu. Kalau kita ngomong soal industri musik itu bukan dengan adanya juara-juara, dikasih piagam. Bukan itu,” tutur Baron.
Industri musik, menurut dia, perlu dilihat pemerintah sebagai aset yang butuh dilindungi. ”Artinya, setiap ada satu tindakan bisnis di sini, kedua belah pihak harus dilindungi hukum. Kayak Queen, bisa kita lihat di filmnya. Ada lawyer pada kedua belah pihak, lalu ada akuntannya, diaudit,” lanjut Baron.
Dia mencontohkan bagaimana GIGI di saat awal-awal rekaman dulu, bukti lalu lintas transaksi keuangan ibaratnya hanya dicatat di atas selembar kertas rokok belaka. ”Lo ngambil duit berapa, tanda tangan. Keuntungan, jumlah kaset terjual, angkanya enggak jelas. Seharusnya, kan, ada standar industri. Itu tahun 1994-an lho. Apalagi tahun 1970-1980-an. Seharusnya ada audit kedua belah pihak.”
Urgensi perlindungan hak cipta itu, menurut Baron, saat ini makin mendesak karena di era digital semuanya akan menjadi open source. Terlebih dengan adanya tekologi global chain. ”Semuanya akan saling terkait kayak rantai. Mungkin nanti enggak ada lagi yang namanya warehouse khusus untuk satu perusahaan besar,” katanya.
Hal ini makin memerlukan perhatian karena keberadaan publisher (penerbit) yang menawarkan atau menjual karya-karya seniman jumlahnya masih sangat terbatas. Banyak seniman Indonesia yang belum terwakili.
”Misalnya lagu GIGI, besok ada yang mau nyanyiin. Itu bisa, lalu besoknya lagi untuk EDM. Satu lagu bisa 10 kali, enggak terbatas untuk versi dangdut, reggae. Ini tugas publishing,” katanya. Keberadaan penerbit yang independen mutlak diperlukan untuk melindungi karya.
Di era digital, setiap orang bisa menyalin ulang (cover) lagu dengan mudah, lalu mengunggahnya di akun media sosial dan dapat diakses tak terbatas. ”Sekarang real time. Semua orang jadi bos. Semua merasa punya hak, open source semua,” ujarnya.
Padahal, setiap lagu memiliki DNA atau kode masingmasing sehingga semestinya bisa teradministrasi atau terdokumentasi dengan baik. Saat diunggah harus jelas lagu itu milik siapa dan siapa penciptanya. ”Ini yang nantinya berhubungan dengan teknologi global chain.”
Faktanya, hari ini banyak yang masih latah. Merasa harus maju, harus mengadopsi teknologi, tetapi hanya karena tren. ”Oke jika payung hukumnya sudah kuat. Ini kekhawatiran saya, diurus rame-rame di hilirnya, tapi hulunya enggak diperhatikan.”
Menurut Baron, ketika dunia sudah mengarah pada smart business, diperlukan kehadiran orang-orang hukum yang mengerti teknologi informasi dan hak cipta. ”Sekarang, dengan satu HP, orang bisa melakukan apa aja. Mulai dari bertransaksi, ngobrol dengan artis yang zaman dulu mustahil. Siapa sangka dengan Rp 150.000, 3 orang paket keluarga bisa dengerin lagu sebanyak-banyaknya atau gratis streaming 3 bulan.”
Pemerintah dan industri juga harus memberikan edukasi kepada pencipta lagu, pelaku bisnis, dan praktisi-praktisi hukum. ”Kita harus sadar, ke depan bisnis yang akan berjalan adalah bisnis cerdas. Kita upload karya kita enak, belum tentu yang akan menikmati kita, keluarga kita,” katanya. Mau tidak mau infrastrukturnya harus disiapkan dengan baik agar hak-hak para seniman bisa terjaga.
”Jangan dianggap bohong kalau ada seniman yang enggak bisa nyekolahin anak, enggak bisa beli obat, ada yang enggak punya rumah. Sangat bisa terjadi. Sangat banyak seniman besar yang sampai pakai narkoba. Bagi saya itu juga bisa karena frustrasi,” ungkapnya.
Kelak, jika eksosistem industri sudah dipahami lebih baik, kontribusi musik terhadap pendapatan negara yang tercatat hanya 0,45 persen bisa saja salah.
Aria Baron Arafat Suprayogi
Lahir : Bandung, 16 Januari 1970
Istri : Febrina Ria Dewi
Anak : Batara Pascal Suprayogi & Fabian Rehan Suprayogi
Pendidikan :
- S-1: Administrasi Bisnis FISIP Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat
- S-2 : Master in Communication Arts, Advertising, New York Institute of Technology, Amerika Serikat
Diskografi :
- Angan (bersama GIGI, 1994)
- Dunia (bersama GIGI, 1995)
- Baron Volume 01 (bersama NO! Band, 2002)
- Flying High (bersama Baron Soulmates, 2008)
- The Winner (bersama Baron Soulmates, 2010)
Proyek :
- DKSB (Depot Kreasi Seni Bandung) Harry Roesli
- Circus Band
- Postcard Band
- /Rif Band
- GIGI Band
- Baron Soulmates Band
Organisasi :
- Government Relationship Persatuan Artis Penyanyi Republik Indonesia
- Founder Yayasan Bandung Music Council
-Pembina Yayasan Seniman Jalanan Indonesia