Ruang Diaspora untuk Berbakti kepada Indonesia
Ratusan ilmuwan diaspora Indonesia tersebar di berbagai belahan dunia dengan karier dan prestasi cemerlang. Meski puluhan tahun berkarier di negeri orang, Indonesia tetap terpatri kuat di hati mereka.
Lewat Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional yang disingkat I-4, para ilmuwan diaspora Indonesia yang ada di luar negeri berjejaring dengan ilmuwan di dalam negeri. Komunitas ini menjadi rumah bagi ilmuwan diaspora untuk terhubung kembali dengan tanah airnya. Lewat komunitas inilah mereka ingin membagi kepakaran, pengalaman, dan jaringan internasional yang mereka miliki.
Salah satu kegiatan utama komunitas ilmuwan diaspora adalah Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) yang digelar setiap tahun. Acara ini difasilitasi I-4, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta Kementerian Luar Negeri. Di ajang ini, mereka bertemu dengan ilmuwan dari dalam negeri dan perwakilan pemerintah.
Program SCKD 2019 yang berlangsung di Jakarta pada 18-24 Agustus membawa pulang puluhan ilmuwan diaspora dari sejumlah negara untuk berembuk bersama-sama ilmuwan dan petinggi di Tanah Air. Secara resmi mereka juga diterima oleh Jusuf Kalla yang saat itu menjabat Wakil Presiden RI sebagai wakil dari pemerintah.
Pertemuan tahunan ini membuka jalan untuk berdiskusi bukan hanya tentang kemajuan iptek di berbagai belahan dunia, terutama di negara maju tempat mereka berkiprah, melainkan juga peluang berjejaring yang bisa dilakukan antara ilmuwan diaspora dan ilmuwan dalam negeri serta institusi/negara.
Para ilmuwan diaspora juga mengunjungi berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Ada sesi untuk berbagi inspirasi bagi mahasiswa dan dosen. Lalu dicarilah peluang kerja sama, mulai beasiswa pascasarjana, dana riset, hingga publikasi bersama di jurnal internasional yang bergengsi. Sinergi ini dalam beberapa tahun terakhir dibuktikan dengan peningkatan jumlah kolaborasi riset dan publikasi bersama dengan institusi dari luar negeri yang ternama, tempat di mana ilmuwan diaspora Indonesia berkarier, bahkan hingga memiliki jabatan struktural atau pimpinan laboratorium.
Tahun 2019 menjadi spesial bagi I-4 yang memasuki usia satu dekade. Eksistensi I-4 dimulai 5 Juli 2009 pada simposium Internasional Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia di Den Haag, Belanda. Saat itu, para pelajar yang menimba ilmu dari berbagai belahan dunia mendeklarasikan berdirinya I-4 yang menjadi awal berkembangnya wadah ilmuwan, akademisi, ataupun profesional yang sedang berkarier di luar negeri untuk berkumpul dan berkontribusi nyata bagi kemajuan Indonesia.
Ketua Umum I-4 periode 2018-2020, Deden Rukmana, yang kini menjadi profesor dan Chair Department of Community and Regional Planning Alabama A&M University di Amerika Serikat, mengatakan, ada ”rumah” bagi ilmuwan diaspora untuk pulang ke Tanah Air yang salah satunya difasilitasi SCKD. ”Banyak ilmuwan diaspora kita di luar negeri yang punya prestasi gemilang dan punya karier bagus hingga menjadi profesor. Namun, eksistensi ilmuwan diaspora kita tetap masih harus ditingkatkan secara kuantitas dan kualitas untuk bisa menembus institusi top dunia. Negara seperti China, India, Korea Selatan, bahkan Vietnam sudah membuktikan peran ilmuwan diaspora mereka di dunia untuk mendukung kemajuan bangsanya,” ujarnya.
Keberadaan I-4 menjadi dorongan untuk memulai pendataan potensi ilmuwan diaspora Indonesia di luar negeri. Pendataan ini dilakukan I-4 dengan membagi kawasan berdasarkan data distribusi lokasi ilmuwan- ilmuwan diaspora. Kawasan I-4 tersebut adalah Singapura, Malaysia, Australia, Asia Timur, Timur Tengah dan Afrika, AS, Kanada, serta Eropa.
Terpisah jarak dan waktu tidak membuat jejaring ilmuwan Indonesia mati. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, ada program rutin I-4 Talks, I-4 Lectures, dan beberapa kegiatan langsung, hingga membangun kuliah dalam jaringan ke beberapa kampus dari sejumlah negara dalam topik keilmuwanan tertentu.
Bagus Putra Muljadi, Asisten Profesor di Departemen Teknik Kimia dan Lingkungan, University of Nottingham, Inggris, optimistis dengan mulai diberdayakannya ilmuwan diaspora Indonesia. Forum SCKD mulai bisa menyinergikan ilmuwan diaspora dengan ilmuwan dalam negeri. Berkaca dari China yang melakukan hal ini sejak 20 tahun lalu dengan memberi insentif bagi diaspora untuk bersinergi dengan ilmuwan lokalnya, kini China menjadi salah satu research hub dunia, selain AS dan Eropa.
Para ilmuwan diaspora mulai merasakan negara hadir untuk bisa membuat sinergi dan kolaborasi berjalan dengan masif dan sistematis. Selama ini kolaborasi ada, tetapi berjalan di tingkat akar rumput atau tidak terkoordinasi.
Salah satu manfaat jangka pendek dari mengoptimalkan ilmuwan diaspora lewat program SCKD adalah dalam tiga tahun terakhir sudah ada 90 publikasi ilmiah. ”Dalam jangka panjang, saya optimistis, pelan-pelan, iklim akademis akan ditularkan dari institusi para diaspora yang terkemuka ke Indonesia,” ujar Bagus, yang juga Deputi Managing Director I-4 Inggris Raya.
Ke depan, harap Bagus, sinergi ilmuwan diaspora bukan hanya mendukung peningkatan publikasi ilmiah dan komersialisasi, melainkan juga meningkatkan iklim akademis yang baik. Hal ini bisa mendorong masyarakat berpikir dengan basis ilmu pengetahuan/ ilmiah. ”Saatnya perguruan tinggi sebagai lembaga pendidik sumber daya manusia menjadi mercusuar pendidik bangsa dalam menghasilkan kebijakan modern berdasarkan fakta,” katanya.
Bagus menambahkan, pemerintah harus mendukung agar diaspora punya platform untuk berpikir dan menyalurkan aspirasinya. Dukungan ini bukan hanya dari kementerian terkait, melainkan juga dari insan industri, akademia, dan media.
Bagus mengaku telah diminta untuk menjalankan inisiasi I-4 di luar negeri. Hal itu direspons dengan pendataan ilmuwan diaspora Indonesia. Di Nottingham University, ilmuwan diaspora membentuk Indonesia Doctoral Patnership. ”Karena sudah staf permanen, saya jadi bisa memengaruhi kebijakan instansi kami. Kredibilitas untuk kerja sama juga naik karena negara sudah benar-benar hadir. Jadi bisa mewakili negara untuk menjadi agen kerja sama dan pertukaran ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Bagus menambahkan, ia mendapat dana dari Pemerintah Inggris dan Eropa untuk riset postdoctoral. Ada dana riset besar yang bisa dimanfaatkan Indonesia yang masih terbatas dana risetnya. ”Keberadaan I-4 jadi bisa dimanfaatkan secara strategis untuk kemajuan Indonesia dalam iptek dan SDM ke depannya,” katanya.
Perkenalan Juliana Sutanto (39), profesor sistem informasi di Lancaster University, Inggris, dengan I-4 seakan membawanya kembali ke Indonesia untuk bisa berbakti sesuai keahliannya. Perempuan asal Manado, Sulawesi Utara, yang minim kemampuan bahasa Inggris dan komputer ini ditawari beasiswa kuliah di Singapura. Ia pun memilih sistem informasi dan menunjukkan prestasi. Lalu, ia menjadi dosen di Zurich, Swiss, dan kini pindah ke Inggris.
”Saya beberapa kali mengikuti kegiatan I-4 dan bisa berjejaring dengan perguruan tinggi di Indonesia. Saya merasa ilmu saya bisa diaplikasikan untuk mendukung Indonesia, mulai untuk membangun aplikasi yang membantu saat bencana hingga mewujudkan taman pintar,” ujar Juliana.
Perbincangan para ilmuwan diaspora yang tergabung di dalam I-4 tidak lagi soal pembuktian cinta mereka kepada Tanah Air. Ini karena cinta Tanah Air atau berkontribusi kepada Tanah Air tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka yang ada di luar negeri kini membuktikan baktinya untuk Indonesia antara lain lewat jejaring di I-4.