Terbuka dan Beda
Bagi seorang pencinta seni rupa, Christiana Gouw, rumah bisa memenuhi kebutuhan dan hobinya menampung koleksi lukisan sekaligus mewakili karakternya yang terbuka.
Rumah bukanlah sekadar pilihan tempat yang nyaman untuk ditinggali. Bagi seorang pencinta seni rupa, Christiana Gouw, rumah bisa memenuhi kebutuhan dan hobinya menampung koleksi lukisan sekaligus mewakili karakternya yang terbuka.
Selepas lulus SMA sekitar tahun 1981 Christiana mendaftar kuliah di San Francisco State University di San Francisco, California, Amerika Serikat. Sembari menunggu hasil pendaftaran, ia mengikuti pendidikan pariwisata selama hampir setahun di Universitas Trisakti, Jakarta.
Di tahun berikutnya, ia mulai menempuh studi di San Francisco. Ia mengambil jurusan pendidikan finansial dan seni.
”Selama kuliah finansial, saya juga mengikuti pendidikan seni rupa murni. Saya suka drawing atau menggambar sketsa dengan cat air,” ujar Christiana, Kamis (31/10/2019), di Rumah Miring CGArtspace, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Rumah Miring CGArtspace, dengan CG sebagai kepanjangan Christiana Gouw, sekarang menjadi tempat tinggalnya.
Ia sekaligus menjadikan rumahnya itu sebagai ruang publik untuk pameran karya seni rupa.
Disebut sebagai rumah miring karena hasil rancangan arsitek Budi Pradono itu berkonsep pilar baja yang dimiringkan 70 derajat ke muka. Rumah itu dibangun mulai 2012 hingga 2016.
Rumah industrial
Pintu gerbang rumah miring itu memiliki banyak kisi-kisi udara. Melalui rongga gerbang itu terlihat fasad rumah hingga kelengkapan yang ada, seperti meja kursi bar mini, kolam renang, dan benda-benda seni berupa patung. Christiana menyebut tema rumahnya sebagai rumah industrial.
Setelah memasuki gerbang, terdapat pelataran kecil yang mungkin cukup memuat satu atau dua mobil. Dari situ ada sedikit anak tangga menuju ruang bar mini.
Di bar itulah Christiana menyambut tamu-tamunya. Di sisi kirinya terdapat kolam renang dengan ukuran 17 x 3,5 meter dengan kedalaman 130 sentimeter.
”Setiap pagi saya berenang di situ,” ujar Christiana seraya menjelaskan bagian per bagian lantai rumah miringnya.
Rumah miring itu didesain di atas tanah seluas 170 meter persegi. Di sebelah kanannya, dengan luas tanah yang sama, adalah tempat tinggal Christiana dengan dua lantai sekaligus untuk ruang pameran seluas 80 meter persegi dan selebihnya untuk gudang penyimpanan lukisan.
Secara keseluruhan, rumah miring dan tempat tinggal Christiana menempati dua kapling seluas 340 meter persegi. Rumah miring memiliki tiga lantai ditambah satu lantai bawah tanah yang juga digunakan untuk gudang penyimpanan lukisan.
Gudang bawah tanah itu berukuran 4 x 15 meter persis berada di bawah bar mini. Di belakang bar mini terdapat tangga menuju setiap lantai rumah miring. Tangganya terbuat dari kerangka besi yang menggantung. Besi penariknya diikatkan pada ujung pilar baja di atas.
Setiap tangga itu menuju lantai dua dan tiga dengan kamar yang terbuka. Di situ ada tempat tidur dan kamar mandi. Beberapa benda seni seperti lukisan dan patung berukuran kecil turut mengisi kamar-kamar itu.
Kamar di lantai satu ada di belakang kolam renang, biasanya digunakan untuk ruang makan. Semua lantai ruang itu tentu saja tidak ikut miring. Hanya pilar dan kerangka baja lainnya, seperti kerangka untuk jendela dan penahan dinding kaca, yang ikut miring.
”Saya menyukai rancangan rumah yang miring itu karena menjadi sesuatu yang beda. Saya juga menyukai karakter rumah yang terbuka,” ujar Christiana yang lebih senang lukisan ekspresionisme ketimbang realisme.
Menjadi sesuatu yang beda sejalan dengan karakter penciptaan karya seni. Namun, karakter rumah terbuka itu terkait dengan kisah Christiana di San Francisco.
Rumah seniman
Christiana menuntaskan pendidikan finansial dan seninya di San Francisco selama tiga tahun sampai 1985. Selepas itu, ia tidak langsung kembali ke Tanah Air, melainkan bekerja di bidang finansial dan menetap di San Francisco.
”Pada tahun 1985 itu, saya mendapat green card, diakui sebagai warga Amerika sehingga selain boleh bekerja, juga bisa terlibat di berbagai kegiatan sosial, seperti penyelenggaraan pameran lukisan,” tutur Christiana.
Di sela-sela rutinitas pekerjaannya, Christiana kerap menyambangi rumah para seniman di San Francisco. Ia banyak menjumpai seniman yang tinggal di rumah loft , berupa ruang kotak terbuka sekaligus menjadikannya sebagai studio melukis.
Ada kesan tertancap di benak Christiana tentang rumahrumah loft yang dihuni para seniman ini. Rumah itu punya satu ruang yang cukup untuk berbagai aktivitas layaknya sebuah rumah, seperti memasak, istirahat, tidur, menerima tamu, dan mengerjakan hobi atau pekerjaan sehari-hari.
Rumah loft seperti inilah yang kemudian menginspirasi ruang di setiap lantai di rumah miringnya. Namun, dengan karakter iklim tropis yang lebih panas, berbeda dengan San Francisco, Christiana tidak sepenuhnya bisa mewujudkan itu.
”Di sini udaranya lebih panas. Ketika sepenuhnya rumah terbuka seperti rumah loft, pasti membutuhkan penyejuk ruangan (AC) yang jauh lebih besar,” tutur Christiana.
Ia juga tidak menyukai rumah dengan banyak pintu. Bagi Christiana, pintu memberi kesan tertutup. Ia pun tak suka rumah yang berbau pengap sehingga baginya penting untuk mengatur proporsi sirkulasi cahaya dan udara di dalam rumah yang ditinggalinya.
”Tadi sempat terasa ada aliran udara semilir di ruang atas yang sepertinya tertutup, ya? Itu karena sirkulasi udaranya saya rancang bisa seperti itu,” kata Christiana.
Christiana menggunakan elemen kaca transparan, terutama sebagai dinding rumah miringnya. Jika rumah di sini benar-benar terbuka seperti rumah loft, tentu akan banyak nyamuk masuk pula.
Berburu lukisan
Sepanjang tahun 1985 sampai 1991, Christiana bekerja di beberapa perusahaan bidang finansial di San Francisco. Berikutnya, ia memutuskan kembali ke Tanah Air meski tetap bekerja di bidang yang sama di kantor konsultan keuangan milik asing di Jakarta.
”Ketika pindah dan bekerja di Jakarta, saya memiliki hobi nge-gym (kebugaran). Di situ saya bertemu teman-teman yang juga hobi lukisan, kemudian mulailah kami sama-sama sering berburu lukisan di Bali dan Yogyakarta,” ujar Christiana.
Pada era 1991, bagi Christiana, masih relatif mudah dan terjangkau baginya untuk membeli lukisan-lukisan seniman terkenal di Bali. Ia teringat waktu itu sering memborong lukisan karya seniman asing yang tinggal di Bali, seperti Arie Smith dan Le Mayeur.
Semula ia ingin mengoleksi lukisan-lukisan yang disukainya. Christiana berhasil pula membeli karya pelukis maestro Hendra Gunawan atau Sudjana Kerton.
Pada tahun 1997 jumlah koleksi lukisannya sekitar 500 lembar. Ia kemudian tertarik dengan bisnis terkait lukisan, yaitu membuka toko pigura lukisan di Plaza Indonesia, Jakarta. Lama kelamaan usahanya berkembang menjadi sebuah galeri yang menjual lukisan pula.
Langkah Christiana kemudian dikenal khalayak sebagai hal baru, yakni memelopori penjualan lukisan di mal. Hingga di 2008, Christiana diberi peluang untuk memperbesar galerinya di Plaza Indonesia.
Waktu itu pihak pengelola mal menyewakan area seluas 500 meter persegi dengan harga di bawah standar. Christiana serius merancang pameran di area seluas itu yang kemudian melambungkan galerinya yang diberi nama CGartspace itu. Hampir di setiap kali pameran digelar, lukisannya habis terjual.
Pada 2009-2012, bisnis lukisan Christiana terbilang sepi. Hingga di tahun 2012 ia menyewa lokasi yang lebih sempit lagi di Plaza Indonesia, hanya seluas 30 meter persegi. Anehnya, justru lokasi kecil itu mendatangkan pendapatan terbesar di sepanjang usahanya berdagang lukisan.
Dari hasil jerih payah itu, Christiana menyisihkan untuk membangun Rumah Miring CGArtspace di kapling sebelah tempat tinggalnya.