Asah Kemampuan untuk Keping Emas
Setelah delapan bulan masa kualifikasi Olimpiade, kuota dan atlet bulu tangkis yang akan mewakili Indonesia pada pesta olahraga itu telah tergambar. Saatnya mereka memastikan kemampuan terbaik untuk bersaing di Tokyo.
Perburuan pengumpulan poin untuk menempatkan diri pada posisi setinggi mungkin pada daftar peringkat Olimpiade Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) akan berakhir tanggal 26 April 2020. Meski masih tersisa empat bulan, target PP PBSI meraih kuota maksimal, masing-masing dua wakil pada setiap nomor, hampir pasti tak terwujud.
Berdasarkan daftar peringkat terakhir yang dikeluarkan BWF pada 24 Desember 2019, hanya tunggal dan ganda putra yang berpeluang besar menempatkan dua wakil.
Ganda campuran masih harus berjuang keras untuk meraih tiket kedua. Selain Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti yang berada pada peringkat kelima, Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja baru menempati posisi kesembilan.
Sementara itu, tunggal dan ganda putri, lagi-lagi, harus menerima fakta masih tertinggal dari banyak negara lain. Para pemain di kedua nomor itu kesulitan memenuhi syarat untuk meraih dua tiket.
BWF menetapkan, jatah dua tiket untuk nomor tunggal bisa didapat setiap negara jika minimal dua pemain dari negara tersebut berada pada peringkat 16 besar pada 30 April 2020. Adapun minimal dua pasangan ganda harus berada dalam delapan besar.
Mengacu pada peraturan itu, posisi aman, untuk sementara, didapat tunggal putra melalui Jonatan Christie, yang menempat peringkat keenam dunia, dan Anthony Sinisuka Ginting (7). Ganda putra memiliki Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon (1), Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan (2), dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto (5).
Ganda putra cukup sukses menempatkan tiga wakil pada lima besar. PBSI, sebagai pihak yang memiliki hak prerogatif untuk menentukan atlet yang akan tampil di Musashino Forest Sports Plaza, Tokyo, pada 25 Juli-3 Agustus, tinggal memilih dua dari tiga pasangan tersebut.
Satu tiket hampir pasti akan menjadi milik ”Minions”, yang memiliki prestasi konstan dalam tiga tahun terakhir. Tahun ini, mereka meraih delapan gelar, setelah sembilan gelar pada 2018 dan tujuh gelar setahun sebelumnya.
Semula, satu tiket lain diharapkan menjadi milik Fajar/Rian. Pasangan yang masing-masing berusia 23 tahun tersebut menjadi salah satu bukti sukses regenerasi ganda putra, salah satunya ketika mereka menjadi finalis Asian Games Jakarta-Palembang 2018.
Akan tetapi, pergeseran kekuatan terjadi. Meski berhasil menaikkan posisi, dari peringkat kesembilan pada awal 2019, menjadi kelima, status mereka turun menjadi ganda ketiga Indonesia.
Fajar/Rian kesulitan mempertahankan performa dalam sengitnya persaingan pada kualifikasi Olimpiade. Mereka menjuarai dua turnamen, Swiss dan Korea Terbuka, dan mencapai semifinal Kejuaraan Dunia. Namun, Fajar/Rian gagal melewati babak kedua pada empat dari lima turnamen BWF terakhir. Di SEA Games Manila, unggulan pertama itu langsung tersingkir pada penampilan perdana setelah mendapat bye pada babak awal.
Melesat
Pada saat yang sama, pasangan senior Hendra/Ahsan melesat dengan empat gelar dari 11 final. Tiga gelar didapat dari ajang besar, yakni All England, Kejuaraan Dunia, dan Final BWF World Tour.
Kematangan tampil dalam ajang besar, yang memunculkan tekanan lebih besar, menjadi kelebihan dua pemain berjuluk ”The Daddies” ini. Maklum, keduanya sudah berpasangan sejak 2012.
Kelebihan itu, diiringi kemampuan memainkan taktik yang tepat sebagai atlet yang telah berusia lebih dari 30 tahun (Ahsan 32 tahun, Hendra 35 tahun), serta motivasi bersaing yang tetap tinggi, menjadi ancaman bagi pemain lain, termasuk rekan sendiri.
Kevin/Marcus, meski unggul dari Hendra/Ahsan, masih kesulitan membuktikan diri dalam ajang besar, khususnya pada 2019. Mereka gagal pada babak pertama All England, babak kedua Kejuaraan Dunia (setelah bye di babak pertama), dan semifinal Final BWF.
Pada 2019, mereka memiliki ganjalan lain, yaitu ganda Jepang Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe, yang selalu menjegal ”Minions” dalam lima pertemuan. Endo/Watanabe pernah memberi Kvin dan Marcus tiga angka saat menang pada final Kejuaraan Asia, 21-18, 21-3.
Dalam pertemuan terakhir pada semifinal Final BWF, ketidakmampuan mengatasi beban besar terlihat dari sikap mereka di lapangan. Mereka lebih sering memunculkan raut wajah dan gerak tubuh yang mengekspresikan kekecewaan, dan patah semangat karena gagal meraih poin. Padahal, sesulit apapun tantangan dalam pertandingan, atlet pantang memperlihatkan rasa putus asa mereka.
Sebagai pasangan dengan kemampuan mumpuni dan sulit ditaklukkan pasangan top dunia lainnya, Kevin/Marcus memiliki pekerjaan rumah untuk mengasah mental dan motivasi dalam sisa waktu sebelum Olimpiade Tokyo.
Olimpiade bisa memunculkan semangat, sekaligus tekanan lebih besar dibandingkan All England dan Final BWF. Kualitasnya setara Kejuaraan Dunia yang sama-sama berstatus major events dalam struktur kejuaraan BWF, meski gengsi Olimpiade terasa lebih tinggi karena berlangsung empat tahun sekali.
Hendra/Ahsan pernah merasakan tekanan itu di Rio de Janeiro 2016. Sebagai pebulu tangkis Indonesia yang paling diunggulkan meraih medali emas, mereka justru gagal pada penyisihan grup. Padahal, keduanya berpengalaman tampil di Olimpiade bersama pasangan berbeda, Hendra bermain di Beijing 2008 bersama Markis Kido, sedangkan Ahsan tampil di London 2012 bersama Bona Septano.
”Kalau diberi kesempatan lagi untuk tampil di Olimpiade, saya akan menjalaninya seperti tampil dalam ajang-ajang besar sebelumnya. Saya tak ingin memberi beban terlalu besar pada diri sendiri,” ujar Ahsan berkaca pada pengalaman di Rio de Janeiro 2016.
Tembok berlapis Momota
Di luar ganda putra, kontingen Merah Putih bisa menyimpan asa pada tunggal putra dan ganda campuran untuk menambah medali, tentu dengan perjalanan yang tak kalah berat menuju podium tertinggi. Jonatan dan Anthony akan bersaing dengan tunggal putra nomor satu dunia, Kento Momota, yang akan mendapat dukungan penuh penonton tuan rumah.
Sebelas gelar juara, termasuk All England, Kejuaraan Dunia, dan Final BWF, dari ”King Kento” telah menjadi tembok berlapis tersendiri sebelum menyebut nama-nama pesaing lain, seperti Chou Tien Chen (Taiwan), Shi Yuqi (China), dan Anders Antonsen (Denmark).
Maka, kalau Jonatan dan Anthony tak berhasil berdiri di podium tertinggi, Tokyo 2020 akan menjadi pengalaman berharga mereka. Jonatan (22) dan Anthony (23) masih bisa menyimpan asa dan kemampuan untuk Paris 2024.
Praveen/Melati dan Hafiz/Gloria menghadapi situasi tak kalah berat. Mereka harus menembus benteng pertahanan ganda campuran yang dibangun dua pasangan China, Zheng Siwei/Huang Yaqiong dan Wang Yilyu/Huang Dongping, yang menempati dua posisi teratas dunia.
Praveen/Melati telah mematahkan kendala psikologis setelah selalu gagal dalam lima final sejak berpasangan pada 2018, empat di antaranya pada 2019. Mereka membuat kejutan dengan menjuarai dua turnamen beruntun, Denmark dan Perancis Terbuka, Oktober. Namun, untuk membuat kejutan di Tokyo dan menyamai prestasi Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang meraih emas di Rio 2016, akan jauh lebih sulit.
Sebagai pesta olahraga terbesar di dunia yang diselenggarakan empat tahun sekali, Olimpiade selalu menjadi momen paling menantang bagi atlet. Apalagi untuk pebulu tangkis Indonesia yang selalu mendapat tugas membawa pulang keping emas.