Menjaga kualitas demokrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan para pemangku kepentingan sepanjang tahun 2020 nanti. Ini karena kekhawatiran akan menurunnya kualitas demokrasi membayangi publik.
Pada 2020, pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak di 270 daerah akan menjadi ujian pertama para pemangku kepentingan di Indonesia, baik pemerintah, elite politik, penyelenggara pemilu, maupun pemilih. Selain itu, tantangan lain yang juga masih mewarnai tahun baru adalah pemberantasan korupsi.
Hasil jajak pendapat Kompas, pertengahan Desember 2019, merekam sejumlah hal yang menjadi kekhawatiran responden. Salah satu isu di bidang politik yang dikhawatirkan publik terjadi tahun depan ialah soal menurunnya kualitas demokrasi. Kekhawatiran ini disampaikan sebagian besar responden. Selain itu, stabilitas politik pemerintahan juga menjadi sorotan publik seiring masih hangatnya dinamika politik seusai Pemilu 2019. Dinamika ini diyakini akan terus bergulir seiring dengan pelaksanaan pilkada serentak tahun depan.
Sejumlah fakta politik yang terjadi sepanjang satu tahun terakhir boleh jadi menyumbang kekhawatiran itu. Sebut saja soal koalisi gemuk partai koalisi pendukung pemerintah yang menguasai mayoritas kursi parlemen. Hal ini dikhawatirkan bisa meminimalkan kekuatan partai politik non-pendukung pemerintah yang bisa menjadi kekuatan penyeimbang. Demokrasi yang sehat, salah satunya, memerlukan berjalannya mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara.
Selain itu, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang pada akhirnya tetap berlangsung di tengah penolakan publik, mau tidak mau, membuat publik gamang akan penegakan hukum terkait isu korupsi setahun ke depan. Kegamangan publik ini tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas.
Salah satunya yang menjadi isu besar di bidang hukum adalah kekhawatiran publik soal pelemahan KPK. Sebanyak 59,5 persen responden khawatir KPK akan melemah.
Masyarakat memang memiliki perhatian besar pada isu pemberantasan korupsi. Saat revisi UU KPK yang dianggap melemahkan KPK bergulir cepat di DPR September 2019, muncul aksi mahasiswa yang mempersoalkan pelemahan KPK. Aksi penolakan yang sama juga berlangsung di banyak daerah, bahkan sampai jatuh korban jiwa. Ujungnya, revisi UU KPK tetap disahkan DPR pada 17 September 2019.
Upaya penolakan tetap muncul dengan mendorong Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan peraturan presiden pengganti undang-undang. Namun, akhirnya publik harus menerima kenyataan revisi UU KPK itu berlaku sebulan kemudian setelah diundangkan sebagai UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan UU baru ini, sistem kerja KPK berubah. Salah satunya karena keberadaan Dewan Pengawas yang dinilai sebagian kalangan kewenangannya terlalu besar. Salah satu tugas Dewas yang disorot adalah memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan. Dewas KPK edisi ”perdana” ini relatif diterima publik karena lima orang unsur Dewas itu diisi oleh nama-nama yang selama ini diakui integritasnya.
Pilkada serentak
Selain soal korupsi, pelaksanaan pilkada serentak tahun depan juga jadi agenda yang mendapat perhatian publik. Salah satu isu yang muncul adalah bagaimana pilkada mampu menghasilkan pemimpin berintegritas. Menemukan sosok berintegritas menjadi ujian bagi proses demokrasi elektoral. Model pemilihan apa pun yang diterapkan—baik pemilihan langsung maupun pemilihan melalui DPRD—dampak pemilihan kepala daerah itu terhadap pembangunan daerah dan masyarakat, semua berpulang pada integritas pribadi calon pemimpin.
Kekhawatiran publik soal kepala daerah dan korupsi ini tidak lepas dari fakta yang menunjukkan tidak sedikit kepala daerah yang terjerat korupsi. Litbang Kompas mencatat, sepanjang 2004 hingga November 2019, KPK sudah menangani perkara korupsi yang melibatkan 15 gubernur, 77 bupati, 3 wakil bupati, 25 wali kota, dan 1 wakil wali kota. Data ini belum termasuk jumlah kepala daerah terlibat kasus korupsi, tetapi kasusnya ditangani kejaksaan atau kepolisian.
Tentu saja, data ini perlu menjadi pengingat bagi calon-calon kepala daerah yang akan berkontestasi di pilkada tahun depan. Bagaimanapun kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah ini memberi dampak buruk pada kepercayaan masyarakat. Dengan kata lain, korupsi yang melibatkan para pejabat publik yang dipilih lewat proses demokrasi, lama-lama, bisa menggerus kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri.
Optimisme
Di tengah kekhawatiran, secara umum responden masih optimistis pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mampu memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan hukum tahun depan. Jajak pendapat menangkap, 65,2 persen responden meyakini pemerintahan Jokowi-Amin mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas penegakan hukum. Tingkat keyakinan responden di bidang hukum ini lebih rendah dibandingkan dengan keyakinan responden terhadap upaya pemerintah membangun stabilitas politik dan ekonomi.
Bidang ekonomi menjadi hal yang menurut publik perlu diprioritaskan. Stabilitas ekonomi terbanyak disebut responden (35,5 persen) sebagai persoalan yang paling mendesak ditangani pemerintah pada 2020. Persoalan kedua yang dinilai responden perlu diprioritaskan ialah penegakan hukum dan keamanan (27 persen). Selain itu, perbaikan pelayanan publik juga menjadi perhatian responden.
Tentu untuk menjawab keyakinan dan harapan publik ini perlu komitmen dan kinerja yang prima dari pemerintah. Di tahun pertama periode kedua Jokowi, pemerintah perlu terus meyakinkan publik bahwa konsolidasi demokrasi yang lebih dari dua dekade ini dibangun tetap terjaga dan meningkat kualitasnya. Hal ini bisa diwujudkan lewat perlindungan hak sipil dan lewat kinerja nyata pemerintah.(Arita Nugraheni/Litbang Kompas)