Wabah demam babi afrika yang menyebar di Sumatera Utara sejak September 2019 memukul perekonomian peternak rakyat. Mereka berjuang sendiri menghadapi wabah itu, nyaris tanpa bantuan pemerintah. Usaha ternak yang menjadi tulang punggung kehidupan mereka pun terpuruk.
Robinton Tambunan (40) menunjukkan berbagai jenis obat dan ramuan yang telah ia berikan kepada ternak babinya di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sabtu (14/12/2019). Ada parasetamol, amoksisilin, vitamin, ramuan China, hingga bubur instan untuk bayi.
”Saya memberikan berbagai jenis obat pada ternak saya, tetapi tidak ada yang selamat. Sudah lebih dari 100 babi saya mati,” katanya. Puluhan kandang babi Robinton sebagian besar kosong. Hanya tersisa 20 babi, beberapa di antaranya mulai terkulai lemas.
Seperti sebagian besar peternak rakyat di Sumut, Robinton tidak mengetahui wabah penyakit yang menyerang ternak. Mereka bahkan tidak pernah mendengar istilah demam babi afrika (ASF). Sejak jangkitan wabah ASF pada September, tidak ada penyuluhan dari pemerintah yang menjelaskan wabah apa yang sedang mereka hadapi dan apa yang harus mereka lakukan.
”Belum pernah sekali pun ada petugas yang berkunjung ke daerah kami. Kami tidak tahu harus melakukan apa untuk menghadapi wabah. Kami hanya mencoba memberikan berbagai jenis obat,” katanya. Robinton mengatakan, semula ternaknya tidak mau makan, demam tinggi, dan muncul bercak merah di badan. Dalam 3-7 hari setelah gejala awal, babi pun mati.
Hanya dalam beberapa minggu, wabah ASF menyerang hampir seluruh kandang di sentra babi itu. Di Desa Helvetia yang berbatasan dengan Kota Medan, sedikitnya ada 700 keluarga beternak babi dengan skala 30-150 ekor per keluarga.
Robinton mengalami kerugian cukup besar. Pada Desember ini, ia seharusnya menjual sekitar 50 babinya yang rata-rata sudah berberat 80 kilogram per ekor. Dengan harga Rp 30.000 per kilogram, ia semestinya mendapat pemasukan Rp 120 juta. ”Sebagian uang itu rencananya saya gunakan untuk modal lagi. Sisanya untuk biaya sekolah anak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Sejumlah sekolah biasanya memberi keringanan kepada para peternak babi dengan memperbolehkan pembayaran uang sekolah sekali per enam bulan, yakni setiap panen babi. ”Saya sudah melapor ke sekolah bahwa saya belum bisa bayar uang sekolah anak,” katanya.
Pakan dari limbah
Para peternak di Desa Helvetia umumnya memberi pakan ternak berupa limbah makanan dari rumah makan, hotel, dan perumahan. Sisa makanan itu dicampur dengan ampas ubi. Mereka sengaja mencari tempat beternak yang dekat dengan Medan agar lebih mudah mendapat limbah makanan.
Bagi warga Medan, keberadaan para peternak sudah tidak asing. Mereka biasa disebut parnab (parnasi babi atau pencari nasi babi). Mereka biasanya membawa becak barang berkeliling kota mencari limbah makanan. ”Saya dan istri mencari limbah makanan mulai pukul 05.00 sampai malam. Semua usaha saya itu sia-sia karena wabah ini,” katanya.
Andri Siahaan (33), peternak lain di Helvetia, mengalami kerugian yang sama. Sebanyak 30 babinya mati. Kandang babinya kini kosong. Sebagai seorang sarjana teknologi pertanian, ia mengikuti perkembangan penanganan ASF melalui pemberitaan di media massa.
Ia mengemukakan kekecewaan terkait pernyataan Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fadjar Sumping Tjatur Rasa yang menyatakan tidak akan melakukan depopulasi dan tidak memberikan kompensasi bagi peternak. Fadjar menyatakan, tanpa depopulasi, babi peternak akan mati dengan sendirinya. ”Perasaan kami remuk mendengar pe rnyataan itu,” kata Andri.
Menurut Andri, sejak peternakan mereka diserang wabah, tidak ada bantuan atau sosialisasi apa pun dari pemerintah. Hanya Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) yang memberi penyuluhan kepada mereka. Selebihnya yang datang adalah petugas kepolisian yang mengancam akan memenjarakan jika peternak membuang bangkai babi sembarangan.
Andri mengatakan, mereka kesulitan menjual ternak meski virus demam babi tidak menular ke manusia. Bahkan, ada peternak menjual babi seberat 80 kilogram dengan harga Rp 100.000 per ekor. Di Desa Sitinjo I, Kecamatan Sitinjo, Kabupaten Dairi, ternak babi bahkan hampir tidak ada lagi. Marimsan Siburian (60) kehilangan 11 babi. ”Padahal, saya membeli anak babi pada Maret agar bisa dijual dan hasilnya untuk membeli baju Natal bagi cucu-cucu saya, tetapi semua sudah sirna,” katanya.
Marimsan mengatakan, mereka biasanya menanam ubi jalar dan ubi kayu untuk pakan ternak. Mereka mengambil daun dan umbinya. Pakan itu dicampur dengan dedak dan ikan asin. Sebelum diserang wabah, dua babinya sudah dipanjar pembeli. ”Saya harus menjual beras untuk mengembalikan uang panjar Rp 1 juta,” katanya.
Penanganan terlambat
Ketua Umum Pengurus Besar PDHI Muhammad Munawaroh mengatakan, penanganan yang dilakukan pemerintah sudah sangat terlambat. Deklarasi wabah penyakit ASF dilakukan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada 12 Desember, tiga bulan sejak penyakit dideteksi. Wabah pun telanjur menyebar ke 16 kabupaten di Sumut.
”Menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), deklarasi seharusnya dilakukan paling lama 24 jam setelah penyakit ditemukan,” katanya.
Menurut Munawaroh, deklarasi itu sangat penting dalam pengendalian dan penanggulangan wabah penyakit. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, deklarasi wabah diikuti dengan penutupan wilayah, pembatasan lalu lintas hewan, pengisolasian hewan sakit, pemusnahan bangkai, depopulasi, dan pembayaran kompensasi kepada peternak. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita dalam keterangan resminya menyatakan, pemerintah mengalokasikan Rp 5 miliar untuk penanggulangan ASF.
Peternak diberi bantuan berupa disinfektan, mesin semprot, alat pelindung diri, dan kantong bangkai. Menurut Diarmita, bantuan dan pendampingan peternak diberikan melalui posko darurat di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan. ”Kami ke sentra peternakan babi di Deli Serdang. Mereka kini tidak lagi butuh penanggulangan ASF. Mereka malah meminta bantuan beras untuk bertahan hidup,” kata Munawaroh.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap mengatakan, sejak awal ada indikasi ASF, mereka meminta agar otoritas veteriner di kabupaten/kota di Sumut melakukan penutupan wilayah terhadap lalu lintas babi. Namun, kematian babi masih terus terjadi. Jumlah babi mati yang dilaporkan sudah mencapai 30.000 ekor dari populasi 1,2 juta babi di Sumut.
Sejumlah dinas yang membidangi peternakan di daerah mengaku kepada Kompas tidak bisa melakukan penanganan karena kabupaten tidak mempunyai dana darurat. Sejak wabah merebak hingga ada deklarasi, mereka belum mendapat bantuan dana dari provinsi dan kementerian.
Para peternak pun terus berjuang sendiri. Mencoba dengan berbagai cara untuk menyelamatkan penghidupan mereka. Namun, mereka tak mampu melawan wabah ASF. (Nikson Sinaga)