Kerugian masif perusahaan milik negara, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), menuntut perbaikan menyeluruh industri asuransi di Tanah Air.
Kerugian Jiwasraya menjadi perhatian luas setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara terbuka menyebut kerugian triliunan rupiah yang dialami perusahaan asuransi itu diduga akibat adanya kejahatan korporasi. Tata kelola investasi dinilai bermasalah, sementara manajemen dianggap menyalahgunakan wewenang (Kompas, 20/12/2019).
Kejaksaan Agung mencegah 10 orang, dua di antaranya mantan Direktur Utama Jiwasraya, bepergian ke luar negeri. Kerugian negara sejauh ini diperkirakan Rp 13,7 triliun. Sebelumnya, Dirut Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menyatakan, Jiwasraya tidak sanggup membayar polis nasabah senilai Rp 12,4 triliun yang jatuh tempo per Desember 2019.
Masalah Jiwasraya menyangkut defisit keuangan dan ketidakmampuan memenuhi kewajiban kepada pemegang polis. Perusahaan asuransi ini, seperti dijelaskan Menkeu Sri Mulyani, mengalami masalah keuangan sejak tahun 2008-2009. Sejumlah upaya merestrukturisasi keuangan perusahaan sudah dilakukan pemerintah. Rasio solvabilitas sempat membaik menjadi 120 persen, artinya aktiva perusahaan dapat membayar semua kewajibannya.
Dalam perjalanan waktu, tata kelola investasi bermasalah. Salah satunya, imbal hasil produk asuransi yang ditawarkan terlalu tinggi, sementara modal yang terkumpul justru disimpan dalam saham-saham gorengan atau tidak prospektif.
Di luar sepuluh nama yang dicekal Kejaksaan Agung, beredar luas juga di media sosial nama-nama pengusaha yang diduga terkait dengan investasi Jiwasraya. Mantan direktur keuangan perusahaan itu pernah menjadi tenaga ahli utama kedeputian di Kantor Staf Presiden.
Kasus yang membelit Jiwasraya tidak dapat dianggap remeh. Perusahaan ini memiliki 5,5 juta nasabah, 474 orang di antaranya warga negara Korea Selatan di Indonesia. Sebagai pemegang saham, pemerintah wajib mengungkap tuntas dan transparan bagaimana perusahaan perintis asuransi di Indonesia itu mengalami gagal bayar dan defisit likuiditas.
Dugaan kesalahan tata kelola investasi dan kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh manajemen harus diungkap jelas sebagai pembelajaran ke depan dan tidak menjadi rumor liar yang merambat ke mana-mana. Di luar penyelesaian secara pidana apabila memang diperlukan, nasabah mendesak hak mereka segera dipenuhi. Mereka menginvestasikan dana pribadi dalam produk asuransi untuk jaminan hidup lebih pasti dan sejahtera.
Penyelesaian harus bersifat permanen dan berkelanjutan, bukan sekadar restrukturisasi secara hitungan buku. Karena itu, pembenahan harus bersifat menyeluruh, bukan hanya pada Jiwasraya, melainkan juga terhadap industri asuransi dan dilaksanakan segera. Hal ini demi menjaga kepercayaan publik di dalam negeri dan masyarakat internasional pada industri keuangan Indonesia.