BMKG Siapkan 200 Sensor Peringatan Dini Gempa Bumi
Untuk memperkuat mitigasi bencana, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika berencana memasang sekitar 200 sensor peringatan dini gempa bumi. Langkah ini diharapkan dapat melengkapi mitigasi mandiri masyarakat.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika saat ini tengah menyiapkan sistem peringatan dini gempa bumi. Meski begitu, mitigasi mandiri oleh masyarakat tetap harus digalakkan, terutama yang berbasis kearifan lokal.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kini tengah menyiapkan sistem peringatan dini gempa bumi. Dengan sistem ini, masyarakat diharapkan dapat mengetahui potensi guncangan gempa bumi sekitar 15-30 detik sebelumnya.
”Akan ada sekitar 200 sensor untuk sistem peringatan dini gempa bumi yang akan kami pasang. Diharapkan dapat beroperasi pada 2020,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam diskusi Refleksi Bencana Tahun 2019 dan Proyeksi Bencana 2020 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta, Senin (30/12/2019).
Dwikorita menjelaskan bahwa sistem ini bukanlah sistem untuk memprediksi gempa bumi. Sebab, hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu melakukannya. Sistem ini adalah sistem yang akan merekam empat jenis gelombang dalam sebuah kejadian gempa bumi.
Gelombang yang pertama kali datang adalah gelombang primer. Gelombang ini akan terekam lebih dulu berkisar 30-60 detik sebelum gelombang sekunder datang. Gelombang sekunder ini adalah gelombang yang akan menimbulkan guncangan bagi masyarakat. ”Setelah muncul gelombang sekunder, akan disusul oleh gelombang selanjutnya, yakni gelombang rayleigh dan gelombang cinta,” katanya.
Dengan sistem peringatan dini gempa bumi tersebut, waktu 30-60 detik sebelum guncangan akan dimanfaatkan oleh BMKG untuk memproses dan mengirimkan pemberitahuan kepada masyarakat lewat pesan singkat. Jeda waktu tersebut didapatkan berdasarkan pengalaman dari negara-negara yang sudah menerapkan alat tersebut, yakni Jepang, China, dan Amerika Serikat.
Sementara itu, pada 2019, BMKG telah menambah sensor seismograf sebanyak 194 unit untuk keperluan pengawasan kegempaan. Sebelumnya, tepatnya pada periode 2008 hingga 2019, BMKG hanya memiliki 174 sensor. Menurut rencana, sekitar 190 sensor akan kembali dipasang pada 2020.
Meski telah mengupayakan penerapan teknologi, Dwikorita tetap menekankan pentingnya mitigasi mandiri dari masyarakat, terutama yang berbasis kearifan lokal. Jika masyarakat berada di kawasan pesisir, tidak perlu menunggu informasi dari BMKG untuk mencari tempat yang lebih tinggi, segera setelah terjadi gempa bumi.
BMKG juga telah memetakan beberapa zona yang akan mereka waspadai berdasarkan aktivitas seismiknya. Beberapa kluster yang terus mengalami peningkatan aktivitas kegempaan adalah Kluster Nias, Lombok-Sumba, Ambon, Laut Banda, dan Membramo. ”Bukan berarti daerah lain tidak mengalami, tetapi aktivitas gempa bumi di Indonesia timur mengalami peningkatan, sedangkan di wilayah barat peningkatan terjadi di kawasan Sumatera Utara,” katanya.
Dwikorita menyebutkan, sepanjang 2019 telah terjadi gempa bumi 11.573 kali. Jumlah ini menurun dibandingkan dengan total kejadian gempa bumi pada 2018, yakni 11.920 kali. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan gempa bumi yang terekam oleh seismograf. ”Gempa bumi yang kekuatannya di atas magnitudo 5,0 sebanyak 327 kali, sedangkan yang dirasakan oleh masyarakat 1.107 kali,” ujarnya.
Terbanyak di dunia
Kepala BNPB Doni Monardo kembali menegaskan bahwa gempa bumi beserta tsunami adalah bencana yang berulang. Meski begitu, tahun lalu Indonesia menjadi negara dengan jumlah korban bencana terbanyak di dunia. Sebagian besar disebabkan gempa bumi dan tsunami.
Oleh karena itu, masyarakat diminta mencermati daerah mana saja yang lama tidak terjadi gempa bumi selama 10 tahun, 20 tahun, hingga 100 tahun terakhir. Hampir sebagian besar wilayah Indonesia merupakan sumber gempa. Praktis, hanya kawasan timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan yang relatif aman dari aktivitas kegempaan. ”Dua bulan lalu, salah satu pakar dari Jepang menceritakan kepada saya bahwa generasi muda di Jepang pun sudah mulai melupakan bencana masa lalu,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan, beberapa daerah saat ini tengah mengalami seismic gap atau kekosongan gempa besar. Seismic gap adalah istilah untuk menyebut kawasan yang aktif secara tektonik, tetapi jarang terjadi gempa kuat dalam waktu yang lama.
Daerah tersebut, antara lain, Mentawai, Selat Sunda, selatan Jawa Tengah, selatan Bali, Zona Sesar Matano, dan Laut Banda. ”Tanpa menakut-nakuti, tampaknya sedang terjadi akumulasi medan tegangan,” ujarnya (Kompas, 16 Desember 2019).
Menurut Doni, ada pelajaran bagus yang bisa dicontoh dari kejadian gempa bumi magnitudo 7,2 di Halmahera Selatan pada Juli 2019. Dari sekitar 1.000 rumah yang mengalami rusak berat, korban meninggal hanya 14 orang. Hal ini terjadi lantaran banyak masyarakat yang melakukan evakuasi mandiri pada detik kelima gempa bumi. ”Mereka langsung keluar rumah tanpa menunggu peringatan dari pihak mana pun,” ujarnya.
Terkait dengan ancaman tsunami, Doni menekankan pentingnya vegetasi berupa tanaman pantai untuk melindungi permukiman warga. Keberadaan tanaman-tanaman tersebut dinilai mampu meredam 88 persen kekuatan air tsunami setinggi 200 meter.