Jika Anda menghadap ufuk barat petang nanti, ada peluang Anda menyaksikan surya perlahan terbenam. Ini pula yang jadi judul lagu Quanno tramontina ’o sole.
Kemungkinan besar, suasana itu sunyi, membuat mereka yang menyaksikan larut dalam lamunan. Yang naturalis religius akan mengakui kebesaran Sang Maha Pencipta. Pelamun yang senang astronomi akan menyadari, untuk saat itu, satu rotasi Bumi telah dilalui. Dan petang nanti, menurut kalender, matahari terbenam terakhir kali di tahun 2019.
Selanjutnya akan datang lagi sebuah tahun baru. Namun, ini juga bisa diekstrapolasikan untuk skala waktu lebih besar, yang dikenal sebagai tahun. Inilah konsep yang memvisualkan dimensi waktu peristiwa astronomis yang lain, yakni pergerakan Bumi—menurut sistem Kopernikan—mengelilingi bintang induknya, Matahari.
Anda, dan kita semua, akrab dengan datang dan berakhirnya tahun. Namun, saat menatap matahari tenggelam di ufuk, kesan setiap orang berlainan.
Bagi Anda yang tekun mengikuti perjalanan bangsa, akan terbayang perjalanan tahun 2019 dengan segala hiruk pikuk, fenomena, dan kekonyolannya. Sungguh, hiruk pikuk dan kegaduhan yang diwarnai kekerasan, kekerdilan, dan ambisi berlebih sempat membuat kita khawatir.
Kini, pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo telah terbentuk, disertai banyak harapan dan optimisme. Mereka yang kritis sudah menyampaikan peringatan, tahun 2020 bukan tahun yang mudah. Optimisme yang menjadi kekuatan ekonomi menuju yang ketujuh menjelang seabad Indonesia harus menghadapi faktor eksternal tidak ramah.
Namun, sebaiknya kita juga jangan kerdil untuk menyangkal kelemahan diri. Sekadar menyebut ringkas tantangan yang ada: defisit neraca perdagangan tak akan hilang sebelum mentalitas impor tak kunjung diakhiri. Rendahnya daya saing negara sulit membaik jika performa SDM tak segera dibenahi. Kita pun sulit lolos dari jebakan negara berpendapatan menengah. Kita berharap para elite punya resolusi untuk membuat diri mereka tercerahkan, dan benar-benar akan mewujudkan resolusi tersebut.
Revolusi Bumi mengelilingi Matahari masih akan berlangsung hingga beberapa miliar tahun ke depan, tetapi umat manusia, termasuk kita, terdesak oleh berbagai masalah urgen, seperti terkait perubahan iklim/pemanasan global.
Pada tahun 2019, banyak orang membaca dua buku Yuval Noah Harari, Sapiens dan Homo Deus. Sapiens menuturkan dari mana kita berasal, sedangkan Homo Deus memperlihatkan ke mana kita akan pergi.
Dalam skala global, Harari menyebut, tiga masalah klasik dihadapi manusia dari masa ke masa—kelaparan, epidemi, dan perang—relatif sudah bisa diatasi. Dewasa ini ada lebih banyak orang yang meninggal karena kelebihan makan daripada kekurangan makan, lebih banyak orang meninggal karena usia tua daripada penyakit infeksi. Kemajuan kita akui, tetapi kekurangan dan kelemahan jangan kita tutupi.