Solusi Gagal Bayar Asuransi
Kasus gagal bayar asuransi jiwa terkait polis/kontrak yang sudah jatuh tempo mulai banyak mencuat sejak akhir 1990-an.
Masalah ini menjadi perhatian pihak regulator sehubungan dengan kasus-kasus yang melibatkan wanprestasi asuransi yang menelan korban jutaan pemegang polis dalam besaran total klaim hingga triliunan rupiah.
Salah satu kasus asuransi jiwa antara lain yang menerpa Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB) 1912. Kesulitan utama dalam memenuhi kewajiban kepada pemegang polis bagi asuransi berbentuk usaha bersama (mutual) adalah ketiadaan pemegang saham walaupun dalam perjalanannya sejak 1912 tetap mampu bertahan (survive) setelah didera paling tidak enam kali krisis.
Seperti diketahui, solusi cepat dalam jangka pendek untuk mengatasi kesulitan keuangan bagi perusahaan asuransi yang mengalami insolvency adalah dengan melibatkan pemegang saham. Alternatifnya, dalam bentuk pinjaman subordinasi atau penambahan modal setor atau mengundang investor baru untuk menyehatkan perusahaan dalam jangka pendek (instant solution). Intinya adalah harus ada aliran dana masuk untuk menopang kesulitan likuiditas perusahaan.
Pilihan tersebut tak akan dapat dilakukan pada perusahaan berbentuk mutual karena keterbatasan akses pada sumber pendanaan. Salah seorang mantan petinggi AJBB mengemukakan ide agar pemegang polis AJBB yang notabene adalah ”pemegang saham” perusahaan mengonversi hak klaimnya menjadi semacam ”penyertaan”. Masalahnya dalam proses konversi ini tak ada kucuran dana tunai kepada perusahaan yang sangat dibutuhkan.
Salah satu cara cepat adalah memanfaatkan kekayaan berbentuk properti yang bertebaran di seluruh Nusantara. Kekayaan itu tidak dijual, tapi disekuritisasi bekerja sama dengan investor atau lembaga keuangan, seperti perbankan. Revaluasi kekayaan tak dianjurkan karena tak ada kucuran dana dan harus membayar pajak penghasilan atas capital gain.
Kasus Jiwasraya
Posisi Jiwasraya (JS) sebagai BUMN asuransi yang mengalami gagal bayar relatif lebih baik dibandingkan AJBB karena memiliki akses ke sumber pendanaan seperti dikemukakan di atas. Mukhtarudin, anggota DPR Komisi VI dari Fraksi Golkar yang membawahkan BUMN, pada acara di Kompas TV mengemukakan tiga prioritas utama yang harus dilakukan pemerintah dalam kasus JS, yaitu penyelesaian gagal bayar terhadap nasabah korban, program penyehatan berkelanjutan, dan upaya penegakan hukum.
Disampaikan juga audit investigasi sudah diusulkan dan dimungkinkan DPR membentuk pansus untuk membedah kasus ini dan mencari alternatif solusi yang tepat. Bahkan, pihak kejaksaan, sebagai upaya penegakan hukum, telah memulai proses penyidikan dan memeriksa puluhan saksi. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya keterlibatan pihak ketiga dalam aktivitas investasi JS dan mengantisipasi kabar angin (rumor), termasuk hoaks, yang tak jelas kebenarannya. Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebutkan dugaan adanya unsur kriminal perlu dijadikan dasar bertindak oleh penegak hukum.
Produk JS Saving Plan yang bermasalah pada awalnya memang cukup menarik banyak nasabah (deposan) bank karena menjanjikan imbal hasil lebih tinggi dari bunga deposito. Melalui kanal distribusi bancassurance, pihak bank akan mendapatkan komisi (fee based income) dari penutupan polis asuransi serta memperbaiki rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) perbankan. Mayoritas tak ada dana segar yang dibayarkan pemegang polis. Yang terjadi adalah konversi dari produk perbankan, seperti deposito/tabungan, ke produk saving plan. Dalam transaksi itu tak ada interaksi langsung antara deposan/pemegang polis dengan agen ataupun staf pemasaran JS.
Mengapa sengaja berinvestasi dalam saham/surat berharga yang berisiko tinggi
Dalam periode awal pertanggungan produk itu so far so good. Namun, kuartal I-2018, JS memutuskan menurunkan imbal hasil yang dijanjikan dan kemudian menghentikan penjualannya pada semester II-2018. Manajemen baru JS menyadari imbal hasil yang dijanjikan dan wajib dipenuhi kepada nasabah akan sulit direalisasikan. Ini yang dikemukakan sebagai pembenaran oleh pihak manajemen sebelumnya, mengapa sengaja berinvestasi dalam saham/surat berharga yang berisiko tinggi (baca ”bodong”) dengan harapan imbal hasil juga tinggi agar dapat merealisasikan janji (guaranteed return) kepada pemegang polis.
Hal ini lambat laun akan menyulitkan usaha perusahaan dalam menyeimbangkan kekayaan versus kewajiban perusahaan (assets liability management/ALM). Ada kemungkinan jika produk ini dilanjutkan bisa terjadi ”gali lubang tutup lubang” yang identik dengan skema Ponzi alias investasi bodong.
Di sisi lain, pengurus memerintahkan agar laporan keuangan 2017 diaudit ulang. Hasilnya terdapat koreksi atas laba yang diperoleh, turun drastis dari Rp 2,4 triliun menjadi hanya Rp 428 miliar dan hasil penghitungan risk based capital (RBC) mengalami penurunan sehingga tak mencapai batas minimum sesuai regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Direktur utama baru yang diangkat November 2018 membuat kalkulasi, untuk dapat meningkatkan RBC dari kondisi saat itu yang minus 800 persen supaya mencapai RBC minimum, dibutuhkan dana segar lebih dari Rp 32 triliun. Angka inilah yang diminta direksi untuk dipertimbangkan pemegang saham supaya di-bail out.
Penulis berpendapat permintaan ini tak layak dipenuhi mengingat beban APBN pemerintah yang cukup berat untuk alokasi belanja rutin dan belanja pembangunan dan sebagainya. Hal ini juga diperkirakan akan menimbulkan preseden buruk bagi BUMN lain.
Alternatif penyertaan modal negara (PMN) lebih tidak dianjurkan karena prosedur yang rumit dan bisa terjadi seperti menggarami air laut. Di sisi lain, pemegang saham juga harus mencegah JS dilikuidasi karena perusahaan ini sudah berdiri sejak lebih dari satu abad dan merupakan warisan pusaka Nusantara.
Dampak lain, bisa mencoreng reputasi tidak hanya BUMN dan industri asuransi, tetapi juga nama baik Indonesia yang sedang giat mengundang investor asing. Masalah ini memang dilematis bagi pemerintah, tetapi solusinya jelas, yaitu biarkan JS menyehatkan dirinya, dengan catatan wajib difasilitasi pemerintah/Kementerian BUMN, tetapi bukan dalam bentuk pendanaan.
Wacana pendirian anak perusahaan serta pembentukan holding asuransi dapat saja dilanjutkan, tetapi hasilnya butuh waktu panjang di atas satu tahun. Upaya lain dengan menerbitkan surat berharga oleh anak perusahaan akan meragukan hasilnya, seperti masalah peringkat surat utang yang akan diterbitkan, bisa jadi tak akan laku dijual. Pilihan lain, mengundang investor baru yang tentunya bermotif mencari keuntungan dan akan mengurangi porsi saham milik negara.
Pertengahan Desember 2019, direktur utama JS secara terbuka mengungkapkan ketidaksanggupan JS memenuhi kewajiban kepada pemegang polis yang sudah jatuh tempo. Hal ini bisa dijadikan pertimbangan oleh OJK mengkaji kemungkinan ditunjuknya pengelola statuter untuk mengambil alih kepengurusan perusahaan, sesuai Pasal 62 UU Perasuransian. Seperti diketahui, tahun 2016 OJK menunjuk pengelola statuter mengambil alih kepengurusan AJBB.
Penyehatan jangka pendek
Penyehatan perusahaan berkelanjutan merupakan prioritas kedua yang wajib dilakukan, termasuk untuk merealisasikan gagal bayar kepada 17.000 pemegang polis bancassurance dan sekitar 5,5 juta peserta/pemegang polis asuransi jiwa kumpulan, di luar peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) JS. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis, JS dapat menyehatkan dirinya melalui beberapa quick wins sebagai solusi jangka pendek dan instan/immediately dengan memanfaatkan posisinya sebagai satu-satunya BUMN asuransi jiwa.
Langkah awal adalah melakukan financial due diligence dan dari aspek operasional mengagresifkan penjualan produk lama, tetapi potensial, seperti asuransi jiwa terkait pesangon (UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan upaya perusahaan pemberi kerja dalam memenuhi Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) 24, dengan fokus pada sesama BUMN (142 perusahaan dan sekitar 1 juta karyawan) ataupun perusahaan migas (67 perusahaan 22.000 personel) yang mendapatkan cost recovery dari pemerintah.
Diperlukan inventarisasi perusahaan mana yang telah mengalihkan pendanaan pesangon ini, termasuk perusahaan migas, kepada perusahaan asuransi jiwa atau DPLK. Upaya ini sudah pasti memerlukan fasilitasi dari Kementerian BUMN sebagai pemegang saham semua BUMN ataupun anak/cucunya serta pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu. Potensi premi dari produk ini dalam waktu minimal tiga tahun akan diperoleh triliunan rupiah. JS harus melanjutkan pengembangan produk yang sesuai untuk generasi milenial dengan menciptakan produk proteksi jiwa berbasis aplikasi yang simpel baik tanpa maupun ditambah unsur investasi.
Serahkan kepada ahlinya
Kerja sama dengan BPJS Tenaga Kerja (BPJS-TK) dapat dirintis dengan menawarkan asuransi kecelakaan di luar jam kerja secara sukarela yang tak dijamin BPJS kepada peserta karyawan perusahaan ataupun sektor informal bukan penerima upah (BPU) dan UMKM. BPJS-TK sesuai ketentuan perundangan hanya mencakup kecelakaan terkait hubungan kerja (occupational risk). JS dapat memanfaatkan basis data kepesertaan BPJS sehingga tercipta efisiensi biaya underwriting. Potensi premi tahunan yang dihasilkan dari produk kemitraan ini diperkirakan miliaran rupiah. JS dapat menawarkan tambahan (top up) manfaat kematian dari Jaminan Kematian yang besarnya dibatasi sesuai ketentuan perundangan.
Untuk merealisasikan rencana itu diperlukan personel atau tim yang memenuhi beberapa syarat, seperti pengalaman operasional mengelola perusahaan asuransi (bukan perusahaan nonasuransi), memiliki kompetensi ataupun reputasi, integritas yang telah terbukti, jejaring yang luas, bersedia mewakafkan diri, dan last but not least, pernah berkarya di JS sebagai syarat komplementer. Kementerian BUMN dapat melakukan beauty contest segera agar dapat menunjuk tim pengelola yang tepat atau pengelola statuter seperti disebut terdahulu, yang ditunjuk OJK. Ribuan pemegang polis butuh kepastian, kapan klaim mereka dapat dibayarkan.
Tim yang mengelola JS harus berkomitmen mengimplementasikan governance, risk management, andcompliance (GRC) sepenuhnya. Hal ini perlu dipastikan untuk mencegah kasus serupa terulang lagi. Dalam kasus gagal bayar ini, JS selain mengalami risiko ALM, juga risiko tata kelola dan kepengurusan. Dalam periode 2013-2018, perusahaan sebesar JS tak memiliki direktur teknik yang berdedikasi dan posisi itu dirangkap direktur utama sehingga menimbulkan benturan kepentingan seperti yang telah terbukti.
Juga tidak ada direktur yang secara khusus menangani kepatuhan dan manajemen risiko. Uniknya yang membawahkan fungsi ini adalah direktur umum dan SDM. Dengan demikian, pertahanan lapis kedua dalam konsep three lines of defence jelas-jelas tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini gara-gara ketiadaan direktur teknik yang seyogianya membawahkan fungsi kepatuhan dan manajemen risiko. Karena fungsi ini tak boleh ditangani direktur utama, maka diberikanlah penugasannya kepada direktur yang menjalankan fungsi pendukung (supporting function). Entah kenapa pembiaran ini dilakukan pihak yang berwenang sampai berlarut-larut hingga awal 2018 sehingga terjadilah kasus gagal bayar itu. Akibatnya, diduga pihak ketiga yang terlibat dalam aktivitas investasi dengan leluasa melaksanakan kegiatannya. Sungguh memprihatinkan.
Korupsi ataupun kecurangan bagi pengelola kekayaan triliunan rupiah semudah membalikkan tangan. Tidak diperlukan pakta integritas atau pakta apa pun, cukup bersumpah di bawah kitab suci bahwa ”Jika melakukan korupsi, kecurangan, atau memperkaya diri atau orang lain, siap dilaknat Tuhan Yang Mahakuasa”. Nah, siapa berani?
Solusi jangka panjang perlindungan pemegang polis
Alinea terakhir dari tulisan di atas bisa dijadikan contoh agar integritas menjadi komitmen penuh bagi seluruh jajaran perusahaan dengan kata kunci GRC. Namun, di luar men made disaster tetap ada risiko gagal bayar yang dialami perusahaan asuransi jiwa ataupun umum karena faktor eksternal di luar kendali. Solusi jangka panjang seperti yang sudah tertata baik di sektor perbankan dapat dilakukan untuk asuransi melalui pembentukan lembaga penjamin polis dengan memperluas cakupan jaminan lembaga penjamin simpanan (LPS) yang sudah ada.
Untuk merealisasikan hal ini, perlu dilakukan amendemen atas UU LPS yang mencakup juga, selain produk asuransi, jika diperlukan, penjaminan atas produk reksa dana. Solusi jangka panjang ini akan meningkatkan kepercayaan pada industri asuransi seperti yang telah terjadi pada sektor perbankan. Sesuai amanah UU Perasuransian, penjaminan bagi pemegang polis ini seharusnya sudah direalisasikan pada Oktober 2017.
Hotbonar Sinaga Direktur Utama Jamsostek 2007-2012; Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance sejak 2004