Anak Krakatau Fluktuatif, Wisata Pantai Tetap Diminati
Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, masih fluktuatif. Meski begitu, wisata pantai di pesisir Lampung Selatan tetap diminati.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, masih fluktuatif. Sejak empat hari terakhir, gunung api itu terus mengalami erupsi dengan tinggi kolom abu berkisar 50 meter hingga 2.000 meter di atas puncak kawah. Meski begitu, wisata pantai di pesisir Lampung Selatan tetap diminati.
Pada Rabu (1/1/2020), Anak Krakatau erupsi pukul 10.45 dengan tinggi kolom abu sekitar 700 meter dari atas puncak kawah. Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal dan condong ke arah tenggara.
Kepala Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau di Desa Hargo Pancuran, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, Andi Suardi menjelaskan, aktivitas Gunung Anak Krakatau terpantau meningkat pada 29 Desember 2019. Selain letusan, Gunung Anak Krakatau juga terus mengalami gempa embusan dan gempa tremor.
Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, Rabu, pukul 12.00-18.00, asap kawah teramati berwarna putih dan kelabu dengan intensitas tebal setinggi 100-500 meter masih terlihat dari puncak kawah. Gempa tremor menerus terekam dengan amplitudo 5-35 milimeter.
Dari pengamatan PVMBG, selama Oktober-Desember 2019, aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau masih terjadi. Pada dua bulan pertama, tinggi kolom erupsi berkisar 150-200 meter. Tinggi kolom erupsi meningkat cukup signifikan sejak 30 Desember menjadi 1.000-2.000 meter dari atas puncak kawah. Kolom abu yang berwarna putih tebal menunjukkan dominasi gas atau uap air, disertai material batuan berukuran abu yang terbawa ke permukaan.
Adapun kegempaan didominasi oleh gempa permukaan dan gempa vulkanik dengan jumlah fluktuatif dan di atas kondisi normal. Potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau adalah lontaran material lava, aliran lava, dan hujan abu di sekitar kawah dalam radius 2 kilometer dan hujan abu yang mengikuti arah angin.
Meski terus bergejolak, belum ada peningkatan status Gunung Anak Krakatau karena erupsi yang terjadi dinilai belum membahayakan warga. Luncuran abu tidak mengarah ke daratan Lampung ataupun Banten. Suara dentuman juga tidak terdegar.
”Status Gunung Anak Krakatau masih di level II (Waspada). Masyarakat tidak boleh mendekat dalam radius 2 kilometer dari kawah,” kata Andi saat dihubungi dari Bandar Lampung.
Tetap ramai
Sejak aktivitas Gunung Anak Krakatau meningkat dan memicu bencana tsunami pada 22 Desember 2018, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu menutup kawasan cagar alam dan cagar alam laut itu.
Kepala Seksi Wilayah III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu Hifzon Zawahiri meminta masyarakat tidak nekat mendarat di Anak Krakatau.
Dari patroli, petugas masih menemukan jejak orang yang masih nekat mendarat di Gunung Anak Krakatau. Padahal, erupsi yang bisa terjadi tiba-tiba dapat membahayakan nyawa wisatawan yang datang ke sana.
Kepala Bidang Pengembangan Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Selatan Syaifuddin mengatakan, erupsi Gunung Anak Krakatau tidak berpengaruh pada kunjungan wisatawan selama libur Natal dan Tahun Baru.
Sejumlah pantai di pesisir Lampung Selatan, seperti Pantai Minang Rua, Pantai Wartawan, Kahai Beach, Kedu Warna, hingga Pulau Mengkudu, masih menjadi pilihan tempat wisata favorit masyarakat Lampung dan luar Lampung.
Tingkat hunian di resor dan hotel juga mencapai 90 persen. ”Tidak ada wisatawan yang membatalkan pesanan karena erupsi Anak Krakatau beberapa hari terakhir,” katanya.
Pihaknya menyadari penutupan Gunung Anak Krakatau sebagai salah satu tujuan wisata unggulan di Lampung Selatan berpengaruh besar terhadap kunjungan wisatawan. Hingga Juni 2019, kunjungan wisatawan anjlok. Namun, saat ini, wisatawan sudah kembali berkunjung ke tempat wisata di pesisir Lampung Selatan.
Tidak ada wisatawan yang membatalkan pesanan karena erupsi Anak Krakatau beberapa hari terakhir.
Untuk tetap menarik wisatawan, Kelompok Sadar Wisata di Pulau Sebesi menawarkan alternatif tempat wisata. Meski tidak bisa berwisata ke Gunung Anak Krakatau, wisatawan dapat mengunjungi Pulau Umang-Umang, Pulau Sebuku, dan Pulau Pahawang.
Selain itu, wisatawan juga ditawarkan memancing, berburu, atau menyelam melihat keindahan laut di Lampung Selatan.
Rian Haikal selaku Sekretaris Kelompok Sadar Wisata Minang Rua Bahari, Desa Kelawi, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan, mengatakan, panitia sukses menggelar acara bertajuk “Injak Balik Minang Rua” selama 29-31 Desember 2019.
Acara yang bertujuan mengajak wisatawan kembali berkunjung ke pantai itu akan diisi berbagai kegiatan, seperti pameran foto, menerbangkan layang-layang, hingga mengecat perahu.
Pantai Minang Rua merupakan salah satu pantai yang rusak parah akibat diterjang tsunami. Saat itu, aset kelompok senilai Rp 300 juta berupa puluhan gazebo dan warung makan rusak.
Meski aktivitas Gunung Anak Krakatau meningkat dan hujan kerap mengguyur dua hari terakhir, wisawatan tetap antusias berlibur ke pantai untuk merayakan Tahun Baru 2020.
“Selain dari Lampung, ada juga wisatawan yang datang dari Sumatera Selatan dan Jabodetabek,” ujarnya.
Selama libur Natal dan Tahun Baru tahun ini, kunjungan wisatawan ke pantai itu sekitar 4.000 orang. Jumlah itu tak kalah jauh dengan kondisi sebelum tsunami merusak pantai tersebut.
Menurut Rian, pihaknya juga terus memperbarui informasi dari BMKG dan menginformasikannya kepada pengunjung pantai. Ancaman bencana memang tak semestinya membuat masyarakat takut. Yang terpenting adalah kesiapan mitigasi saat bencana itu benar-benar datang.