Godaan suap pemodal tambang emas liar dialami polisi di lapangan hingga Kepala Polda Maluku. Konsistensi pengawasan menentukan keberlanjutan penutupan lokasi tambang.
Oleh
Frans Pati Herin
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS— Tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, yang sudah tutup buka hingga 30 kali akhirnya mengalami masa penutupan paling lama dengan pengawasan petugas dari Kepolisian Daerah Maluku selama 439 hari. Inilah periode penutupan terlama tambang emas ilegal terbesar di Indonesia yang beroperasi sejak tahun 2011 itu.
Selama ini, lokasi tambang seluas 250 hektar itu menjadi rebutan petambang liar dan beberapa perusahaan yang mencemari lingkungan. ”Kami akan tetap mengawasi hingga pemerintah mengeluarkan izin tambang profesional,” kata Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa kepada Kompas di Ambon, Rabu (1/1/2020).
Penutupan terakhir tambang itu dipimpin Royke pada 17 Oktober 2018. Sebelumnya tambang liar itu lebih dari 30 kali ditutup, tetapi petambang kembali lagi. Penutupan terakhir tanpa perlawanan, lalu dibangun pos pengamanan di sejumlah pintu masuk dan puncak Gunung Botak.
Kami akan tetap mengawasi hingga pemerintah mengeluarkan izin tambang profesional.
Royke mengatakan, penutupan tambang itu menghentikan potensi kebocoran sumber daya alam. Sejak 2011, lebih dari 20.000 petambang di Gunung Botak, yang datang dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jambi, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Jumlah petambang yang diturunkan dari gunung pada 17 Oktober 2018 sekitar 7.000 orang.
Dalam sehari, setiap petambang bisa mendapat emas lebih dari 1 gram. Dengan perhitungan 7.000 gram emas per hari, maka dalam 439 hari, 3.073 kilogram emas ditahan tetap di Gunung Botak. Jika harga jual emas Rp 500.000 per gram, nilai emas setara Rp 1,5 triliun.
”Penutupan ini bertujuan menyelamatkan sumber daya alam yang selama ini diolah tanpa izin dan juga menyelamatkan lingkungan yang rusak berat akibat merkuri untuk mengolah emas,” ujarnya.
Penutupan tambang liar itu juga menghentikan perilaku kriminal, seperti pembunuhan, perampokan, peredaran narkoba, dan perdagangan manusia.
Royke mengakui, banyak godaan suap di lapangan ataupun kepada dirinya. Ada sejumlah pihak yang meminta tambang dibiarkan beroperasi lagi. ”Setiap hari saya menerima laporan dan sering saya datang ke Gunung Botak. Saya sudah ingatkan yang di lapangan tidak boleh main-main,” ujarnya.
Hal sama pernah disampaikan mantan Panglima Kodam Pattimura yang kini menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Doni juga yang menutup tambang emas liar Gunung Botak.
Berdasarkan data Kompas, pasca-penutupan itu, April 2019, Gunung Botak didatangi tim gabungan dari sejumlah kementerian dan lembaga. Saat itu muncul wacana Gunung Botak ditangani oleh anak usaha badan usaha milik negara bekerja sama dengan masyarakat. Namun, belum ada kejelasan terkait wacana itu.
Peneliti lingkungan Universitas Pattimura, Ambon, Abraham Mariwy, mengapresiasi Polda Maluku menjaga Gunung Botak sehingga tak kembali dimasuki petambang liar. ”Setidaknya laju kerusakan lingkungan, terutama pencemaran merkuri, bisa dihentikan. Jika tidak, selama waktu lebih dari satu tahun ini berton-ton merkuri dibuang ke alam,” ujarnya.
Ia mengingatkan, ketiadaan upaya menata lingkungan yang rusak selama penambangan sejak 2011 bisa fatal. Ia memperkirakan bahaya merkuri bakal meledak 5-10 tahun mendatang di Pulau Buru.
Paparan logam berat merkuri dalam jangka panjang di antaranya memengaruhi kesehatan janin pada ibu hamil. Bayi yang lahir berisiko cacat mental dan fisik.
Batu sinabar
Pekerjaan rumah lain yang kini menanti, menurut Abraham, adalah penertiban lokasi tambang liar batu sinabar di Gunung Tembaga, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Atas perintah Presiden Joko Widodo, tambang sinabar terbesar di Indonesia itu ditutup pada Desember 2017. Belakangan, aliran sinabar dan merkuri yang diolah dari sinabar masih mengalir dari Seram Bagian Barat.
Seperti diberitakan sebelumnya, sepanjang 2019, Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan Yos Sudarso Ambon menggagalkan pengiriman secara ilegal sebanyak 212 kilogram cairan merkuri dan 89 kilogram batu sinabar yang merupakan bahan baku merkuri.
Lemahnya pengawasan di Kabupaten Seram Bagian Barat, sumber batu sinabar terbesar di Indonesia, dinilai menjadi penyebab lolosnya peredaran barang tersebut hingga ke pelabuhan di Ambon (Kompas, 31/12/2019).
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, Kapolda Maluku telah memerintahkan Kapolres Seram Bagian Barat memeriksa kondisi terakhir di lokasi tambang sinabar. Laporan dari lapangan akan dijadikan pertimbangan untuk diambil langkah lanjutan.
Sejauh ini belum ada wacana terkait penutupan lokasi tambang itu. ”Tunggu saja perkembangannya,” ujar Roem.