Memasuki Tahun yang Baru, Resolusi Pun Dibuat
Awal tahun menjadi momen yang tepat untuk menyusun resolusi demi tercapainya kualitas hidup yang makin baik. Resolusi semestinya dibuat dengan strategi dan taktik yang matang agar tidak gagal di tengah jalan.
Resolusi diri disusun agar langkah lebih terarah di tahun yang baru. Awal tahun menjadi momen yang tepat untuk menyusun resolusi demi tercapainya kualitas hidup yang makin baik. Sayangnya, resolusi sering kali dibuat tanpa strategi dan taktik yang matang sehingga gagal di tengah jalan.
Sebuah artikel berjudul ”A New Year’s Vow: No More Resolution” yang terbit di koran The New York Times pada 30 Desember 1984 menceritakan seseorang yang tak mau lagi membuat resolusi di awal tahun. Resolusi yang ia buat tidak pernah berhasil dan justru membuat perilakunya lebih buruk dari tahun sebelumnya. Sang tokoh kemudian sadar, resolusinya selalu gagal karena tidak terukur.
Tiga dekade berselang, serba-serbi resolusi masih dibahas setiap menjelang awal tahun. Dalam artikel berjudul ”The Psychology Behind Why We’re so Bad at Keeping New Year’s Resolutions” yang diterbitkan Business Insider pada 7 Januari 2018 menyebutkan, 80 persen orang hanya bertahan menjalankan resolusi kurang dari enam minggu.
Orang tak tahan pada resolusinya karena target yang dipasang terlalu tinggi. Tingkat kedisiplinan, perasaan bosan, dan tidak tahu bagaimana cara mencapainya juga menjadi faktor penyebab resolusi tak terwujud. Padahal, resolusi dapat dijalankan dengan menyenangkan asalkan dibuat lewat perencanaan matang.
Bagaimana mereka menjalankan resolusinya?
Salah satu metode yang sering dipakai adalah SMART. Nama metode ini merupakan akronim dari Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-bound. Artinya, resolusi yang dibuat harus spesifik, terukur, relevan, dan memiliki target waktu yang jelas.
Setelah menyusun resolusi diri dengan cermat, proses menjalaninya juga harus menyenangkan. Dalam ”Immediate Rewards Predict Adherence to Long-Term Goals” yang dimuat dalam Personality and Social Psychology Bulletin tahun 2016, Kaitlin Woolley serta Ayelet Fishbach menyatakan, seseorang akan terus mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan dalam resolusinya selama menyenangkan dan memiliki nilai penting yang tinggi.
Lalu, bagaimana dengan publik perkotaan di Indonesia? Bagaimana mereka menjalankan resolusinya?
Publik perkotaan
Litbang Kompas pada 28 dan 29 Desember 2019 mencoba merekam pendapat publik terkait resolusi diri. Hasil jajak pendapat merekam, 80,5 persen responden menganggap penting untuk membuat resolusi atau target pada awal tahun. Kelompok yang menyuarakan pendapat ini merata dari segala usia. Proporsi antara laki-laki dan perempuan juga seimbang.
Akan tetapi, nyatanya hanya separuh responden (52,3 persen) yang benar-benar pernah menyusun resolusi. Dari kelompok yang pernah membuat resolusi tersebut, sebagian menyusunnya setiap tahun dan sebagian lain hanya membuat sesekali.
Sebanyak 31,6 persen di antaranya membuat resolusi pada awal tahun. Empat dari 10 responden yang membuat resolusi tiap awal tahun ini merupakan responden berusia muda (17-30 tahun). Kelompok responden itu juga cenderung maskulin dengan persentase laki-laki 63 persen. Maka, dapat dilihat bahwa laki-laki berusia muda memiliki kecenderungan rajin membuat target pada awal tahun.
Sementara itu, terdapat 14,1 persen responden yang juga membuat resolusi, tetapi tidak setiap tahun. Ada pula 6,6 persen responden yang membuat resolusi, tetapi tidak di awal tahun. Hal ini menunjukkan, mereka tak terpaku pada awal tahun dalam menentukan target yang akan dicapai pada tahun mendatang.
Target dan pencapaian
Dari kelompok responden yang membuat resolusi, pencapaian di bidang pendidikan atau karier merupakan target yang paling sering dibuat (38,9 persen). Target pencapaian ini mayoritas dibuat oleh responden berusia muda dengan proporsi 65,9 persen. Maka, tampak bahwa usia muda masih gemar untuk memimpikan sekolah lebih tinggi, mendapatkan beasiswa, serta memburu pekerjaan impian. Usia menengah dan tua cenderung tak lagi menginginkan naik jabatan atau naik gaji.
Di posisi kedua, responden paling sering membuat resolusi terkait keuangan, seperti keinginan untuk makin rajin menabung dan tidak boros berbelanja (25,2 persen). Resolusi terkait keuangan cenderung merata dan dilakukan semua kalangan usia. Proporsi tertinggi berasal dari kalangan usia tua yaitu 40,7 persen, lalu usia menengah 32,2 persen, serta usia muda 25,4 persen.
Resolusi yang ketiga ialah terkait kesehatan (17,1 persen). Responden dalam kelompok ini berkeinginan untuk dapat mengatur pola makan lebih sehat, olahraga teratur, cukup tidur, serta mencapai berat badan yang ideal. Resolusi jenis ini paling banyak dicita-citakan oleh kelompok usia tua (45 persen).
Kelompok usia lanjut usia (di atas 60 tahun) juga menyumbang 10 persen pada proporsi responden yang menyusun resolusi kesehatan. Adapun usia menengah dan muda cenderung santai dalam menyusun resolusi ini.
Responden juga membuat resolusi di bidang lain, antara lain terkait hubungan sosial (12 persen). Responden di bidang ini akan berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan pasangan, keluarga, dan juga pertemanan.
Sementara itu, terdapat pula 5,1 persen responden yang beresolusi untuk mencoba pengalaman baru. Responden pada kelompok ini berkeinginan menekuni hobi dan petualangan baru di tahun mendatang.
Hampir seluruh responden menyatakan berhasil mencapai resolusi atau target yang dibuat. Namun, hanya 20,9 persen yang menyatakan berhasil seluruhnya, sedangkan sebagian besar lainnya (68,4 persen) menyatakan hanya berhasil sebagian. Sebanyak 8,5 persen tercatat mengaku tak berhasil menjalankan resolusi yang dibuat.
Tantangan terberat dalam mencapai resolusi dilatarbelakangi banyak hal, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sebanyak 60,5 persen responden menyatakan alasan yang bersifat internal, sedangkan 31,3 persen menyatakan lingkungan pergaulan sebagai tantangan terberat.
Rasa malas dan putus asa menjadi alasan internal tertinggi, yaitu 26,9 persen, disusul dengan target yang telanjur dipasang tinggi (20,9 persen). Sebagian kecil bahkan menyatakan tidak tahu cara mencapai target sehingga resolusi yang dibuat selalu berujung pada kegagalan.
Dalam studi perilaku berjudul ”Conscious-Nonconscious Processing Explains Why Some People Exercise but Don’t Most” oleh Seppo E Iso-Ahola dalam Journal of Nature and Science pada 2017 menemukan kegagalan orang dalam menjalankan resolusi karena ada pertarungan dalam dirinya soal apa yang ingin dilakukan dan apa yang seharusnya ia lakukan. Hal ini menjadi acuan bahwa penting untuk menyusun resolusi yang sesuai dengan kebutuhan diri.
Penting untuk berencana
Saat separuh lebih responden membuat rencana untuk dijalankan sepanjang tahun depan, sisanya memilih untuk menjalani tahun yang baru tanpa resolusi. Sebanyak 45,5 persen responden mengaku tidak pernah membuat resolusi dalam hidupnya. Kelompok ini paling banyak terdiri dari responden usia tua (46-60 tahun), yaitu 33,9 persen, dan usia menengah (31-45 tahun) sebanyak 27 persen.
Tentu tak menjadi soal jika seseorang tidak membuat resolusi dalam hidupnya, selagi setiap individu mampu memenuhi setiap kebutuhan dan tidak tersesat dengan gaya hidup tidak sehat atau konsumtif. Kedisiplinan menjadi kunci untuk meraih kehidupan yang lebih baik, baik dari sisi kesehatan, finansial, maupun sosial.
Jika tidak suka dengan kata resolusi, membuat catatan tentang rencana kecil pun bisa dijadikan pilihan yang lebih sederhana. Resolusi atau membuat rencana memang penting, tetapi lebih penting adalah bagaimana kita terus berusaha untuk mewujudkannya tanpa kenal putus asa. Selamat mencoba. (Litbang Kompas)