Hujan tak pernah betul-betul reda di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (31/12/2019) malam. Hingga pergantian tahun, gerimis terus membasahi kawasan ini. Akan tetapi, orang-orang tetap saja berdatangan. Sebagian di antaranya hadir bersama pasangan. Berlindung di bawah payung yang sama, mereka menikmati suguhan musik dangdut dan pop serta gebyar pesta kembang api di malam Tahun Baru yang dingin dan basah.
Sarkomi (52) dipayungi oleh istrinya, Mulyati (48). Lebih kurang 27 tahun sudah pasangan suami-istri ini tidak merayakan malam Tahun Baru. ”Terakhir itu di Monas (Monumen Nasional), waktu anak pertama usia tiga tahun,” kenang Sarkomi yang saat itu mengenakan sarung. Sekarang, anak pertama mereka sudah berusia 30 tahun.
Pasangan asal Jelambar, Grogol, Jakarta Barat, itu kini tinggal di Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Dari berita televisi, mereka mendapat informasi bahwa panggung utama perayaan Tahun Baru berada di Bundaran HI. Maka, berangkatlah pasangan itu dengan menaiki kereta rel listrik (KRL).
Mereka awalnya menonton dari sisi depan panggung utama. Namun, penonton terlalu banyak, belum lagi ada payung-payung penonton lain yang menghalangi penglihatan. Lalu, Mulyati mengajak suaminya pindah ke belakang panggung, menonton dari layar besar yang disediakan panitia.
”Kalau dari TV juga, mending nonton dari rumah,” kata Sarkomi. Tetapi, toh, ia tetap menuruti ajakan istrinya.
Semalam suntuk, Mulyati-lah yang memayungi Sarkomi menyambut tahun baru. Tangan kanan Sarkomi sibuk menjaga sarungnya agar tidak terciprat genangan air, sementara bagian kiri badannya lumpuh karena stroke empat tahun lalu.
Dalam keseharian, Mulyati jugalah yang ”memayungi” kehidupan ekonomi mereka. Ibu dua anak itu membuat kue dan menjualnya ke warung-warung. Kondisi itu tak lantas menjadi penghalang mereka untuk tidak merayakan Tahun Baru di Jakarta, kampung halaman mereka. Terlebih sejak setahun terakhir mereka tinggal berdua di rumah. Dua anak perempuannya sudah bersuami dan tinggal di kota lain.
”Intinya mau lihat perkembangan Jakarta. Saya bangga. Pesat sekali kemajuannya. Dulu tidak ada trotoar sebagus ini. Transportasi umum juga belum sebagus sekarang,” katanya.
Pasangan lain yang ikut merayakan malam Tahun Baru di kawasan Bundaran HI adalah Aris (27) dan Ana (22) yang membawa serta Suci (1,8), si buah hati. Malam itu, ketiganya bertiga berpelukan di bawah payung sambil mendengar lantunan tembang dari penyanyi Erie Suzan.
Bersama istri dan anaknya, Aris tinggal di Sunter, Jakarta Utara. Biasanya, mereka merayakan Tahun Baru di kawasan Ancol. Pada pergantian tahun kali ini mereka ingin suasana yang berbeda.
”Bosan di Ancol terus. Aku kalau kerja mangkal di sekitar situ juga,” kata pria yang bekerja sebagai sopir ojek daring ini.
Sambil menyaksikan kemeriahan pertunjukan kembang api malam Tahun Baru di Bundaran HI, Aris berharap, memasuki tahun baru, Jakarta menjadi tempat yang nyaman bagi semua orang. Orang-orang kecil kian dimudahkan mencari nafkah. Selain itu, ia juga berharap rumah tangganya senantiasa bahagia. ”Bisa bareng terus sampai tua,” ucapnya.
Peneliti masyarakat urban di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarfina Mahya Nadila, menjelaskan, perayaan malam Tahun Baru di ruang publik, seperti di Bundaran HI, menghilangkan sekat-sekat sosial. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk merayakan malam Tahun Baru tanpa memandang latar belakang masing-masing.
”Mau orang kaya atau miskin, ya tetap saja untuk ke sana mesti jalan kaki atau naik bus Transjakarta,” katanya.
Di Jakarta, lanjut Syarfina, tidak banyak ruang ekspresi yang tersedia bagi masyarakat kelas bawah. Ruang publik di Jakarta terlalu didominasi oleh mal, hotel, dan tempat elite lainnya yang tidak semua orang mampu mengaksesnya. Mereka sekadar bisa berkunjung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena tak cukup uang untuk menikmati berbagai layanan yang disediakan.
”Namun, dengan adanya acara di ruang publik yang bisa diakses semua orang, di sana tak ada lagi sekat. Semua berbaur. Dari situ muncul sense of belonging terhadap kotanya sendiri,” ujarnya.
Magnet
Di ujung utara Jakarta, tepatnya di Taman Impian Jaya Ancol, derasnya hujan dan kencangnya angin tak membubarkan warga yang menanti pesta kembang api sambil menyaksikan pertunjukan musik dari band-band favorit.
Di atas panggung, musisi Ras Muhamad juga seolah tak kenal lelah menghibur ribuan pengunjung yang memadati Pantai Lagoon Ancol.
Untuk menghindari kehujanan, pengunjung membeli jas hujan sekali pakai. Sebagian lagi berteduh di bangunan yang ada di sekitar pantai. Beberapa pengunjung mendirikan tenda di pantai dan berlindung di dalam tenda.
Pengunjung tidak hanya datang dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari sejumlah daerah. Bagi mereka yang berasal dari luar kota, Jakarta adalah magnet. Mereka memandang perayaan Tahun Baru di Jakarta menjanjikan kemeriahan yang tak ada di daerah lain.
Aji Mustafir (33), pengunjung dari Lampung Timur, memilih Ancol sebagai tempat menghabiskan malam pergantian tahun karena mengincar kemeriahan yang tak ia dapati di Lampung. Ia memboyong keluarganya ke Ancol menggunakan mobil pada 30 Desember 2019 malam.
”Anak-anak ingin main ke pantai sekalian merayakan Tahun Baru. Ini pertama kali kami merayakan pergantian tahun di Ancol. Biasanya selalu di Lampung,” ujar Aji.
Di tengah hujan deras dan angin yang mengganas, Aji berdiri mengenakan jas hujan. Ia menonton konser musik dari tendanya. Sementara istri dan anak-anaknya beristirahat sejenak di dalam tenda.