Tahun ini, MA menyisakan lebih sedikit tunggakan perkara daripada tahun-tahun sebelumnya. Optimalisasi penyelesaian perkara merupakan capaian yang bagus.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Percepatan minutasi putusan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Mahkamah Agung. Tahun ini, MA menyisakan lebih sedikit tunggakan perkara daripada tahun-tahun sebelumnya. Optimalisasi penyelesaian perkara merupakan capaian yang bagus. Akan tetapi, percepatan penyelesaian perkara itu belum diimbangi dengan percepatan minutasi.
Sebelumnya, Ketua MA Hatta Ali dalam acara refleksi akhir tahun, akhir pekan lalu, mengatakan, problem minutasi itu antara lain disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Di sisi lain, setiap hari bisa dihasilkan ratusan putusan oleh hakim. Namun, semua putusan itu tidak bisa langsung dikirim kepada pengadilan pengaju maupun pihak berperkara, sebab putusan itu harus melalui tahapan minutasi terlebih dulu. Tahapan ini meliputi kerja-kerja pengetikan, pengecekan penulisan dan perapian putusan yang dilakukan oleh jajaran panitera MA.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengatakan, percepatan penyelesaian perkara merupakan perkembangan yang bagus dalam manajemen perkara di tubuh MA. Sebab, dengan demikian tidak akan ada banyak tunggakan perkara di MA. Harapannya, percepatan penyelesaian perkara ini juga diimbangi dengan minutasi putusan, sehingga putusan MA tersebut bisa segera dikirim kepada pencari keadilan.
Sampai dengan 27 Desember 2019, MA hanya menyisakan 255 perkara yang belum selesai diputus dari keseluruhan beban 20.276 perkara yang harus ditangani oleh MA. Sisa perkara ini lebih sedikit dibandingkan dengan sisa perkara tahun lalu, yakni sebanyak 906 perkara. Adapun jumlah perkara yang masuk sepanjang 2019 ialah 19.370 perkara, atau naik 12,91 persen dibandingkan dengan perkara masuk ke MA, 2018.
“Dari tahun ke tahun, percepatan putusan membaik, sehingga tunggakan perkara di MA makin sedikit. Namun, yang juga perlu dipercepat oleh MA ialah minutasi putusan. Sebab, masih ada putusan yang baru 6 bulan setelah diketok baru diterima oleh pencari keadilan atau pihak yang berperkara. Itu pun masih dalam bentuk petikan putusan, belum putusan lengkap,” kata Arsil, Rabu (1/1/2020) di Jakarta.
Untuk kasus pidana, pelambatan dalam penyerahan petikan atau putusan lengkap kepada pencari keadilan itu berdampak pada masa tahanan mereka.
Menurut Arsil, upaya percepatan minutasi itu seharusnya bisa dilakukan oleh MA, karena MA saat ini sudah memiliki format putusan sederhana. Format putusan sederhana itu terdiri atas beberapa lembar saja yang mencakup identitas, pertimbangan hakim, dan amar putusan.
Merugikan pencari keadilan
Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar mengatakan, lamanya minutasi membuat eksekusi putusan tidak bisa segera dilaksanakan. Akibatnya, ada potensi kerugian yang diderita oleh pencari keadilan, baik dalam ranah perdata maupun pidana. Mereka tidak bisa segera mendapatkan kepastian hukum atas kasus yang mereka ajukan ke MA, baik untuk kasasi maupun peninjauan kembali (PK).
Selain menambah SDM untuk mempercepat minutasi, MA dinilai perlu menyeleksi perkara yang masuk. Selama ini, ribuan perkara masuk ke MA, sementara tidak semua dari perkara yang masuk itu substansinya layak untuk diajukan kasasi.
“Sebagai contohnya, di kejaksaan ada kebijakan untuk mengajukan kasasi ke MA bila putusan kurang dari dua per tiga tuntutan. Padahal, boleh jadi putusan di pengadilan itu sudah benar. Tetapi karena ada kebijakan itu, jaksa harus kasasi. Akibatnya, perkara menumpuk di MA. Sekalipun putusan MA bisa dipercepat, tetapi minutasi yang memerlukan pengecekan, pemeriksaan kebali oleh hakim, dan penandatanganan, cenderung tersendat. Dampaknya ialah keadilan yang tertunda,” katanya.
Rekrutmen tambahan
Kendala SDM sebagaimana diungkapkan oleh Ketua MA Hatta Ali terkait dengan minutasi putusan, menurut Arsil, tidak bisa diatasi oleh MA sendiri. Sebab, proses itu sangat terkait dengan pengadaan hakim dan SDM lainnya di MA yang menjadi domain Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Jajaran panitera di MA yang melakukan minutasi juga hakim. Oleh karena itu, rekrutmen hakim guna memenuhi SDM dalam percepatan minutasi putusan bisa menjadi solusi.
Dalam rekrutmen hakim tahun 2018, MA mendapatkan 1.585 calon hakim yang masih dalam tahap pendidikan. Tahun 2020, mereka sudah mulai bisa memegang perkara. Tambahan hakim di daerah itu diharapkan bisa secara optimal dimanfaatkan oleh MA untuk memperkuat basis SDM mereka dalam penanganan perkara dan minutasi putusan.
Hatta pun mengakui, pihaknya belum puas dengan percepatan minutasi. Dari 20.021 perkara yang diputus hingga 27 Desember 2019, sebanyak 18.274 putusan telah diminutasi dan dikirim ke pengadilan pengaju. Namun, masih ada sedikitnya 1.747 putusan yang belum tuntas diminutasi.
“Untuk minutasi, saya belum terlalu puas karena masih ada pengiriman putusan yang lebih 3 bulan setelah diputus. Ini berkaitan dengan SDM yang terbatas. Sedangkan putusan setiap hari ada. Bahkan ratusan putusan tiap hari yang diputus bergilir. Hal ini menjadi kendala dalam pengiriman putusan,” katanya.
Namun, selain menunggu petikan atau putusan lengkap, terdakwa atau terpidana bisa mengetahui dirinya dihukum ataukah tidak dari informasi yang diterbitkan di laman situs MA.
Sementara itu, terkait dengan tambahan rekrutmen pegawai, Sekretaris MA Achmad S Pudjoharsoyo mengatakan, MA kembali mendapatkan kuota pegawai tahun ini. Akan tetapi, jumlah kuotanya belum dipastikan.