Ekonomi Indonesia 2020 diprediksi stagnan. Pada aspek politik, demokrasi Indonesia tidak makin terkonsolidasi menjadi flawless democracy atau demokrasi tanpa cacat.
Oleh
Azyumardi Azra
·3 menit baca
Tahun 2020, ekonomi Indonesia diprediksi oleh banyak ahli pada dasarnya stagnan. Pada aspek politik, demokrasi Indonesia tidak makin terkonsolidasi menjadi flawless democracy atau demokrasi tanpa cacat. Sepanjang 2019, tak terlihat tanda-tanda meyakinkan Indonesia melangkah ke arah demokrasi terkonsolidasi.
Sementara itu, stabilitas dan kohesi sosial tampaknya terus terdisrupsi. Disorientasi dan dislokasi yang meningkat mengakibatkan disrupsi tak hanya terjadi di dalam kehidupan warga bawah, tetapi juga sebagian pemimpin yang lewat berbagai pernyataan memicu kegaduhan serta ketidakrukunan sosial.
Di samping tantangan-tantangan tidak sederhana itu, masih ada tantangan yang tak kurang beratnya pada 2020 dan tahun-tahun berikutnya. Tantangan itu ialah merevitalisasi arah reformasi birokrasi untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Program penciptaan pemerintahan yang baik di Indonesia sudah ada hampir dua dasawarsa, tetapi tak banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai upaya masih parsial, ad hoc, dan terpenggal-penggal.
Bank Dunia dalam Worldwide Governance Indicators (WGI) 2017 menunjukkan capaian Indonesia terkait tata kelola pemerintahan yang baik masih rendah. Capaian tertinggi Indonesia ialah di sektor pelayanan publik dan independensi dengan skor 54,81 dari 100, lalu kebebasan berpendapat dan transparansi (50,74). Aktualisasi pemerintahan yang baik yang bisa memperkuat demokrasi pada sektor lain WGI 2017 membuat miris. Pada sektor kontrol terhadap korupsi (persepsi terhadap pejabat korup), skor Indonesia 48,08. Di bawahnya ialah penegakan hukum (40,87), sedangkan yang terendah ialah absennya kekerasan dan teror (29,50).
Belum membaiknya good governance terkait dengan belum berhasilnya Indonesia mereformasi birokrasi. Padahal, sudah ada desain pokok reformasi birokrasi 2010-2025; tapi tampaknya tidak dilaksanakan pemerintah secara konsisten dan kontinu dari waktu ke waktu. Sejak tahap pertama reformasi birokrasi (2010-2014), lalu berlanjut ke tahap kedua (2016-2019), tak ada capaian menonjol. Pemerintah tetap tidak efektif dan efisien, dari pusat sampai daerah; birokrasi marak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Lihatlah data korupsi yang masih merajalela, terutama yang melibatkan aparat pemerintah, baik aparatur sipil negara (ASN) maupun pejabat publik non-ASN hasil pemilu. Menurut data Indonesia Corruption Watch, tahun 2010-2018, rata-rata tiap tahun sekitar 350 pelaku korupsi adalah ASN.
Data itu menunjukkan upaya menciptakan pemerintahan bersih, efisien, efektif, kredibel, dan akuntabel masih jauh dari harapan publik. Kenyataan ini terjadi antara lain karena kebijakan reformasi birokrasi yang dikeluarkan pemerintah tak sesuai semangat pemberantasan korupsi. Kebijakan yang dikeluarkan sering lebih didasari pertimbangan politik daripada niat ikhlas dan kemauan politik memberantas KKN, sekaligus menciptakan pemerintahan yang baik.
Fenomena ini terlihat ketika Presiden Jokowi bersama DPR merevisi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi yang diundangkan menjadi UU No 19/2019 itu mengandung pasal-pasal kontroversial yang dipandang pengamat dan aktivis antikorupsi melemahkan KPK —membuat pemberantasan KKN kehilangan momentum.
Penolakan terhadap pelemahan KPK memicu unjuk rasa di banyak kota, September 2019. Lima demonstran, di antaranya mahasiswa, tewas di Jakarta dan Kendari. Di kalangan masyarakat sipil sempat muncul harapan setelah pertemuan dengan Presiden Jokowi. Presiden dalam konferensi pers bersama peserta dialog menyatakan mempertimbangkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai pembatalan revisi UU KPK.
Namun, harapan itu segera pupus. Presiden menyatakan tak akan mengeluarkan perppu karena menunggu hasil uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Ketika uji materi yang diajukan beberapa mahasiswa itu ditolak MK, Presiden Jokowi menyatakan tak akan mengeluarkan perppu karena akan melihat dulu kinerja KPK Jilid V yang telah dilantik.
Apakah KPK baru bisa mengakselerasi pemberantasan korupsi sejalan dengan reformasi birokrasi untuk good governance? Banyak kalangan boleh jadi skeptis. Namun, di awal tahun 2020, sepatutnya kita nyalakan optimisme; terciptanya Indonesia yang bermartabat mulia, bersih dari KKN.