Sunyi Kelasnya, Senyap Sejahteranya
Lebih dari 20 tahun, SDN 3 Karangwuni, Desa Karangwuni, Cirebon, Jawa Barat, ditelan sepi. Sekolah kekurangan sarana, guru, bahkan siswa. Warga kebanyakan memilih ”kabur” dari desa yang sunyi akan kesejahteraan.
Kadnur (8) dan Risa (8), siswa Kelas III SDN 3 Karangwuni, menggerakkan jarinya saat mengerjakan soal perkalian, Rabu (27/11/2019). Beberapa kali keduanya saling melempar karet penghapus untuk membetulkan jawaban yang keliru.
Mereka harus mempersiapkan diri saat dipanggil guru, Hendrik Andriana, untuk menyelesaikan soal Matematika di papan tulis. Di kelas III, siswanya hanya mereka berdua.
Suasana kegiatan belajar- mengajar pun lebih mirip les privat. Bangku dan meja hanya menumpuk di bagian belakang kelas, tidak terpakai.
Sebenarnya ruangan itu juga diisi siswa kelas IV yang berjumlah enam anak. Namun, saat itu, siswa kelas IV sedang berolahraga di lapangan depan kelas.
Di ruangan lain, empat siswa kelas VI tengah belajar Ilmu Pengetahuan Alam. ”Di sini sepi. Enggak kayak sekolah lain. Biasanya kalau jam istirahat, saya main sembunyi-sembunyian sama Nia dan Putri, anak kelas V,” kata Keysa Aulia Putri (11), siswi kelas VI.
Selain empat siswa kelas VI, ruangan itu biasanya juga diisi tiga siswa kelas V. Hal serupa terjadi pada siswa kelas I dan II. Ruangan belajar mereka digabung, tanpa sekat. Maklum, hanya ada tiga ruangan di SDN yang berdiri sejak 1984 itu.
Di sini sepi. Enggak kayak sekolah lain.
Jumlah siswa sekolah ini hanya 26 anak. Hal itu berbeda jauh dari sekolah lain yang siswanya bisa mencapai 120 anak hingga 200 anak, misalnya SDN 1 dan SDN 2 Karangwuni yang berjarak 8 kilometer dari SDN 3 Karangwuni.
”Sebenarnya siswa kami ada 27 anak, tetapi bulan lalu keluar satu karena ikut orangtuanya merantau ke Palembang (Sumatera Selatan),” ujar Hendrik, guru honorer yang sudah 12 tahun mengajar di sekolah itu.
Ada dua guru honorer lain, yakni Galuh dan Sahroni, penjaga sekolah yang merangkap Guru Agama. Adapun Galuh bertugas menjadi guru kelas I dan II. Hanya Dawud, guru kelas V dan VI, yang berstatus pegawai negeri sipil. Pelaksana tugas kepala sekolah dijabat Abdul Hanan, Kepala SDN 2 Sedong Kidul. Padahal, kata Hendrik, idealnya setiap sekolah memiliki minimal delapan guru.
Jangankan menambah guru, perpustakaan saja sulit diwujudkan. ”Kata orang dinas pendidikan, seumur hidup, SDN 3 Karangwuni enggak dikasih perpustakaan karena muridnya sedikit. Alhamdulillah warga sini ada yang mau menyumbang untuk sekolah,” kata Hendrik menunjuk kipas angin sumbangan yang menempel di plafon.
Di ruang guru ada tiga meja, satu set kursi tamu, dan lemari berisi piala dan piagam. Umumnya hadiah lomba sepak bola. Sebanyak 15 foto kepala sekolah terpajang di dinding.
Di dinding tertempel pula peraturan PNS, lengkap dengan foto mantan kepala daerah Cirebon, Sunjaya Purwadisastra dan Tasiya Soemadi alias Gotas. Sejak tahun lalu keduanya mendekam di penjara karena korupsi.
Merantau
Tano, Kepala Dusun 3 Blok Lojikaum yang merupakan alumnus pertama SDN 3 Karangwuni, menuturkan, awal 1990-an, jumlah siswa ada sekitar 80 anak. Hal itu belum pernah terulang.
”Ini bukan karena persaingan antarsekolah atau anak- anak enggak mau belajar. Masalahnya, mereka dibawa merantau oleh orangtuanya,” ujarnya. Anak Tano yang baru lulus sekolah menengah kejuruan juga merantau ke Palembang, ikut pamannya.
Menurut dia, sudah lebih dari 40 tahun warga memilih merantau ke Jakarta dan Palembang. Di sana mereka berdagang, umumnya menjadi penjual bubur ayam dan bubur kacang hijau. ”Ada 50 persen warga kami yang merantau,” ujar Tano yang membawahi sekitar 400 penduduk, baik yang tinggal maupun merantau.
Penyebab warga merantau adalah minimnya lapangan kerja di kampung. Di dusun itu, misalnya, hanya ada 15 hektar sawah. Itu pun hanya tanam sekali setahun karena terbatasnya saluran irigasi. Sebaliknya, pada musim hujan, Sungai Cijurai di daerah itu kerap meluap membanjiri persawahan.
Produktivitas lahan juga rendah. Jika di tempat lain 1 kuintal gabah saat digiling menghasilkan 70 kilogram beras, di dusun itu hanya dapat di bawah 60 kilogram. ”Di Palembang, penghasilan bisa dua kali lipat daripada di sini. Daya beli masyarakatnya bagus. Kalau ke sana, kami gotong royong. Maksudnya, pinjam uang untuk berangkat,” kata Sahroni, guru honorer yang merantau ke Palembang tetapi kembali karena anaknya ingin sekolah di kampung.
Tidak banyak guru bersedia mengajar di sana.
Akses ke Karangwuni juga kurang memadai. Jarak ke pusat Pemerintah Kabupaten Cirebon lebih dari 33 kilometer dengan medan menanjak dan berliku. Longsor pun sering mengintai. Setidaknya 10 rumah terpaksa dipindah karena terancam ambruk.
Itu sebabnya, tidak banyak guru bersedia mengajar di sana. Jika jalan tertutup tanah longsor, mereka harus berjalan kaki sekitar 1 kilometer atau memutar hingga 16 kilometer dengan sepeda motor. ”Dalam dua hari, ongkos transpor bisa habis Rp 10.000. Padahal, gaji cuma Rp 250.000,” kata Galuh yang menjadi guru honorer dalam dua tahun terakhir.
Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon Amin mengatakan, SDN 3 Karangwuni termasuk dalam tujuh SDN yang bakal digabung karena siswanya kurang dari 60 anak. ”Hampir setiap tahun ada 3-4 SDN yang digabung dengan SD lain karena kekurangan siswa. Ini untuk mempermudah sekolah membiayai operasionalnya,” ujarnya.
Menurut Amin, sedikitnya jumlah siswa bisa karena warga merantau dan membawa anaknya atau ketidakharmonisan pihak sekolah dengan warga. Menjamurnya pilihan sekolah swasta dan madrasah ibtidaiah (MI) juga diduga memicu berkurangnya jumlah siswa.
Tahun 2017, misalnya, MI di Cirebon mencapai 156 unit atau melonjak dibandingkan pada 2013, yakni 42 MI. Sebaliknya, jumlah SDN di Cirebon anjlok dari 1.025 unit pada 2016 menjadi 886 unit saat ini.
Soal warga yang merantau, Kepala Bidang Pemerintah Desa dan Kelurahan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Cirebon Nanan Abdul mengatakan, pihaknya menggulirkan program padat karya tunai dalam pemanfaatan dana desa. Artinya, dengan Dana Desa lebih dari Rp 1 miliar per tahun, pemerintah desa bisa mempekerjakan warga untuk proyek pembangunan desa. Namun, dia mengaku tidak memiliki data pasti apakah program tersebut sudah berjalan atau belum.
Minim sarana dasar
Kondisi serupa tampak di SDN 3 Sukadana, Desa Sukadana, Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Jaraknya hanya 1,1 kilometer dari SDN 3 Karangwuni. Sungai memisahkan kedua kabupaten itu.
Jumlah siswa di SDN itu hanya 23 anak dengan enam ruangan kelas. ”Sebelum 2016, jumlah siswa sampai 85 anak. Sekarang banyak yang dibawa merantau orangtuanya ke kota,” kata Dedi, guru SDN 3 Sukadana.
”Sejak 1980-an, warga merantau ke Jakarta. Sekarang saja ada 20 rumah kosong. Padahal, satu rumah dihuni dua keluarga,” kata Tarkim Susanto (56), Ketua RT 01 RW 05 Dusun Pahing, Desa Sukadana.
Siang itu, sejumlah rumah tampak tergembok dan berdebu. Rumah itu ditinggal penghuninya yang menjadi pekerja ”BRI”. Disebut demikian karena mereka berjualan bubur, rokok, dan indomi di kota.
Menurut Tarkim, penyebab warga merantau karena akses jalan dan air bersih sulit didapatkan di desa. Jarak ke kantor desa yang hanya 4 kilometer, misalnya, kebanyakan berupa jalan tanah dan batu. Sementara minimnya air bersih bisa dilihat dari sumur warga yang dipenuhi belasan sambungan pipa untuk mengalirkan ke rumah lainnya.
”Kalau para perantau datang dua kali setahun, air enggak cukup. Satu keluarga biasa mengantre air hingga tengah malam,” kata Tarkim yang pernah merantau ke Ibu Kota.
Selain itu, produktivitas dan harga hasil pertanian selalu rendah. Harga cabai di tingkat petani, misalnya, hanya Rp 4.000 per kilogram. Padahal, harga pasar Rp 10.000 per kilogram. Sulitnya akses jalan menjadi penyebab.
Berbagai problem itu berujung pada minimnya anak usia sekolah. Namun, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan Ayip Syarip berpendapat lain. Berkurangnya siswa di sejumlah SDN karena suksesnya program keluarga berencana.
”Di Kuningan, enggak banyak sekolah yang kekurangan siswa. Paling signifikan SDN 3 Sukadana,” katanya.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik justru mencatat pertumbuhan penduduk di Kuningan. Kalau pada 2015 sekitar 1,05 juta jiwa, tahun lalu jumlah penduduk menjadi 1,07 juta jiwa.
Farida Mahri, pegiat pendidikan, mengatakan, sekolah yang kekurangan siswa dapat terjadi karena sistem pembelajaran yang tidak kreatif meskipun gratis. Dari sisi eksternal, pemerintah daerah gagal meningkatkan kesejahteraan warga desa sehingga terjadi urbanisasi tinggi.
”Yang terpenting, saat merantau, anaknya tetap belajar. Namun, hal ini sulit dilacak,” ujarnya.
Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim meminta guru membuat perubahan kecil di kelas, sekolah di perbatasan Cirebon-Kuningan masih berkutat dalam kesulitan mendapatkan siswa, guru, dan fasilitas belajar. Membuat perubahan dalam kegiatan belajar-mengajar terasa jauh dari kenyataan ketika guru masih berjuang untuk kebutuhan hidup dasarnya dan sekolah kembang kempis mendapatkan biaya operasional minimal. Padahal, pendidikan menjadi salah satu fondasi untuk meningkatkan sumber daya manusia, seperti fokus Presiden Joko Widodo.