Wajah Henny (29) mengernyit menahan perih saat bidan memasukkan alat kontrasepsi implan di bawah kulit lengan atas pada tangan kirinya.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
Wajah Henny (29) mengernyit menahan perih saat bidan memasukkan alat kontrasepsi implan di bawah kulit lengan atas pada tangan kirinya. Hampir 10 menit ia terbaring di tempat tidur Posyandu Bina Ria Sejahtera Arso VII, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua.
Petugas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Papua tiba sejak pagi untuk memberikan pelayanan KB metode kontrasepsi jangka panjang bagi warga Distrik Arso, Selasa (19/12/2019). Tidak banyak ibu-ibu yang datang, hanya 17 orang.
”Mendadak baru dikasih tahu. Ini saja saya ke sini karena kebetulan lewat,” kata Henny setelah selesai melakukan ”bongkar-pasang” implan.
Pemasangan implan ini yang kedua Henny setelah enam bulan lalu memilih berpindah dari alat kontrasepsi metode suntik. Menurut ibu dari dua anak ini, penggunaan implan lebih nyaman dibanding suntik yang harus rutin dilakukan setiap tiga bulan sekali. ”Nyerinya baru hilang, sudah harus suntik lagi,” ucapnya.
Di kursi tunggu, Maria (28) yang dari tadi menunggu giliran tampak gelisah. ”Aduh serem, ya. Apa saya enggak jadi saja, ya,” katanya sambil menggendong anak ketiganya yang belum genap berusia dua tahun.
Sebelumnya, Maria memilih menggunakan metode pil dan suntik. Namun, kedua metode itu nyatanya tidak dapat menunda kehamilannya. Dari anak kedua, ia sebenarnya berencana untuk tidak lagi memiliki anak, tetapi tiga tahun kemudian anak ketiganya lahir. ”Jangan bobol lagi yang penting sekarang,” katanya.
Henny dan Maria hanya sedikit dari perempuan di Papua yang menggunakan alat kontrasepsi. Dari data Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2017, hanya sekitar 38 persen perempuan dari 443 perempuan kawin di Papua yang memakai alat kontrsepsi dalam metode apa pun.
Tantangan
Penggunaan alat kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana (KB) memang masih menjadi tantangan di Papua dan Papua Barat. Sebagian besar masyarakat belum bisa menerima program ini dengan baik.
Biasanya, para suami melarang istrinya menggunakan alat kontrasepsi karena metode ini dinilai dapat membatasi jumlah keturunan. Hal ini bertentangan dengan harapan masyarakat untuk menambah jumlah orang asli Papua. Mereka khawatir jumlah penduduk asli semakin terbatas di tanah Papua yang sangat luas.
Perwakilan Perempuan Adat Papua, Rori Marwani, menuturkan, selama ini program KB selalu dikenal dengan slogan dua anak cukup. Prinsip ini tidak bisa diterima oleh masyarakat Papua karena jumlah orang asli Papua masih perlu ditingkatkan dengan wilayah yang luas.
Pemahaman KB yang tepat sangat diperlukan untuk mendorong kepesertaan masyarakat. Menurut Rori, KB seharusnya bisa dipahami secara benar bahwa bukan sekadar membatasi anak, tetapi merencanakan kehamilan agar lebih berkualitas. ”Tentunya ini juga untuk memastikan kesehatan ibu dan bayi,” katanya.
Tidak membatasi
Berangkat dari kondisi itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo berinisiatif untuk mengubah konsep KB di daerah Papua dan Papua Barat. Ia berencana tidak lagi menggunakan slogan dua anak lebih baik sebagai sarana promosi penggunaan alat kontrasepsi.
Menurut dia, persoalan di Indonesia tidak bisa diatasi secara seragam. Penyelesaian harus berbasis kearifan lokal. Sama halnya dengan penggunaan KB di Papua dan Papua Barat. Penggunaan kontrasepsi di Papua tidak hanya dilihat untuk membatasi kelahiran, melainkan lebih untuk merencanakan kehamilan.
”Punya banyak anak boleh asalkan usia ibu tidak terlalu muda, usia ibu tidak terlalu tua, jarak antara kehamilan satu dengan berikutnya tidak terlalu dekat, yakni antara tiga sampai lima tahun. Edukasi seperti ini yang akan ditekankan di Papua dan Papua Barat,” ujar Hasto.
Usia ibu yang terlalu muda atau kurang dari 20 tahun bisa berisiko menimbulkan berbagai gangguan dalam kehamilan. Begitu pula jika usia ibu terlalu tua, yakni lebih dari 35 tahun. Risiko yang sama juga bisa terjadi pada kehamilan yang terlalu berdekatan.
Ketiga hal itu bisa berdampak pada tingginya risiko kematian ibu dan kematian bayi. Selain itu, risiko bayi mengalami berat badan lahir rendah pun cukup tinggi sehingga dapat memicu terjadinya tengkes atau
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik 2018, terdapat 456 bayi dari 26.634 bayi di Papua mengalami berat badan lahir rendah pada 2016. Kematian bayi di Papua Barat juga tercatat tinggi, yakni 300 kasus kematian bayi baru lahir, 195 kasus kematian bayi umur kurang dari satu tahun, dan 20 kasus kematian pada anak balita.
Data juga menunjukkan bahwa tingkat kesehatan ibu di Papua tergolong rendah. Dari data SDKI 2017 hanya sekitar 29.748 ibu dari 78.157 ibu hamil yang mendapatkan pemeriksaan kehamilan atau antenatal care (ANC). Kondisi ini tidak jauh berbeda di Papua Barat, yakni hanya 9.905 ibu dari 23.863 ibu hamil yang mendapatkan layanan ANC.
Hasto menilai, layanan ANC yang tidak dilakukan secara rutin menjadi penyebab kematian ibu saat persalinan. Kematian ibu hamil biasanya terjadi akibat pendarahan saat melahirkan. Kondisi ini seharusnya bisa dideteksi sejak dini dengan pemeriksaan tekanan darah pada masa kehamilan.
”Pengetahuan terkait kesehatan reproduksi memang perlu digalakkan lagi. Menyiapkan kehamilan yang sehat harus disiapkan mulai dari merencanakan pembentukan keluarga. Ketika kesehatan ibu dan bayi bisa terjamin, generasi unggul pun akan terwujud, termasuk generasi unggul di Papua dan Papua Barat,” tutur Hasto.