Penguatan Mitigasi dan Penanganan Pascabencana jadi Perhatian Utama di NTB
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat 5.330 kejadian gempa di Nusa Tenggara Barat tahun 2019. Menghadapi potensi bencana yang besar, penguatan mitigasi harus terus dilakukan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Pascagempa bermagnitudo 7,0 yang mengguncang pulau Lombok pada 2018 silam, gempa-gempa lainnya masih terus terjadi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat 5.330 kejadian gempa di Nusa Tenggara Barat tahun 2019. Menghadapi potensi bencana yang besar, penguatan mitigasi terus dilakukan pemerintah daerah setempat.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Mataram Ardhianto Septiadhi di Mataram, Jumat (3/1/2020) mengatakan, aktivitas seismik di wilayah NTB dan sekitarnya pada 2019 disebabkan aktivitas subduksi di selatan dan back arc thrust (sesar Flores) di utara pulau di NTB, baik Lombok maupun Sumbawa.
Menurut Ardhianto, berdasarkan frekuensi kejadian, dari 5.330 gempa sepanjang 2019, paling banyak terjadi pada bulan Februari yakni 636 kali. Selain itu, gempa didominasi magnitudo kurang dari 3 dengan jumlah 3.404 kejadian.
“Berdasarkan kedalaman, gempa bumi di NTB pada 2019 didominasi gempa bumi dangkal dengan kedalaman kurang dari 60 kilometer. Jumlahnya 4.587 kejadian,” kata Ardhianto.
Meski jumlahnya banyak tapi tidak seluruh gempa dirasakan. Menurut data BMKG Stasiun Geofisika Mataram, gempa yang dirasakan sebanyak 87 kejadian. Dampak yang paling signifikan terjadi pada 17 Maret 2019 dengan pusat gempa pada 20 kilometer utara Lombok Timur.
Gempa itu memiliki intensitas IV Modified Mercalli Intensity. Pada skala itu, gempa dirasakan banyak orang di dalam rumah, di luar oleh beberapa orang, gerabah pecah, jendela atau pintu berderik dan dinding berbunyi.
Menyikapi kejadian gempa itu, Ardhianto mengimbau masyarakat untuk tetap tenang serta tidak terpengaruh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal lain juga memastikan sumber informasi resmi berasal dari BMKG yang bisa diperoleh melalui kanal resmi seperti instagram, twitter, serta laman mereka.
Trauma
Selain menguatkan mitigasi, penanganan pascabencana juga menjadi perhatian. Menurut data Educational Consultant and Counseling Career (E3C) yang tengah menjalankan program pendampingan psikososial di Kecamatan Kayangan Lombok Utara bersama Yayasan Sheep Indonesia, mereka menemukan berbagai gejala trauma di enam dusun akibat gempa besar Agustus 2018.
Gempabumi bermagnitudo 7,0 yang mengguncang Lombok pada 5 Agustus 2018 lalu merusak 222.530 rumah, kategori rusak berat, sedang, dan ringan. Korban meninggal hampir 400 jiwa, ratusan orang luka berat, dan sekitar 360 ribu orang mengungsi.
Berdasarkan hasil kegiatan Rehabilitasi Psikosisial Masyarakat di enam dusun, mereka menemukan 33 penyintas traumatik, baik secara fisik, interpersonal, maupun emosional. Dari 33 orang itu, 10 orang mengalami gejala traumatik fisik seperti tidak ada gairah makan, badan gemetar, demam, sering buang air kecil, gelisah tidak bisa tidur, kondisi tubuh lemas, bahkan lumpuh.
Adapun, gejala traumatik interpersonal dialami sebanyak tiga orang meliputi murung, tidak mau bergaul, menyendiri, dan sulit diajak bicara. Adapun untuk gejala traumatik pada kondisi emosional dialami 10 orang berupa perasaan takut, cemas, marah-marah tidak beralasan, mudah terkejut, dan mimpi buruk.
Masyarakat Dusun Guntur Macan, Desa Guntur Macan, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, mendengarkan khutbah usai melaksanakan Shalat Idul Adha di masjid darurat, Minggu (11/8/2019).Lewat pendekatan yang dilakukan pendamping di lapangan, menurut Ketua E3C A Hari Witono, gejala trauma saat ini semakin berkurang. Program pendampingan akan terus mereka lakukan hingga para penyintas benar-benar pulih.
Meski trauma semakin berkurang, tetapi rasa khawatir masih menyelimuti masyarakat penyintas gempa Lombok. Menurut Haetun (40), salah satu warga Menggala, Kecamatan Pemenang, yang sering khawatir sebenarnya orang tua terhadap anak mereka yang tengah sekolah.
“Maka tidak heran, setiap kali ada gempa yang terasa, orang tua langsung ke sekolah untuk melihat dan menjemput anak mereka,” kata Haetun.
Penguatan mitigasi bencana
Terkait hal itu, Pemerintah Provinsi NTB melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), selain mendorong percepatan pemulihan fisik seperti hunian tetap, juga mendorong pemulihan psikososial. Sejalan dengan itu, penguatan mitigasi bencana juga dilakukan.
Kepala Pelaksana BPBD NTB Ahsanul Halik mengatakan, peristiwa itu menjadi momentum pembelajaran bagi pemerintah NTB akan pentingnya penanganan bencana yang komprehensif.
Oleh karena itu, manajemen bencana saat ini menjadi fokus perhatian utama pembangunan serta pengembangan NTB di bawah kepemimpinan Zulkieflimansyah bersama wakilnya Sitti Rohmi Jalilah. Salah satu misinya adalah NTB Tangguh dan Mantap melalui penguatan mitigasi bencana dan pengembangan infrastruktur serta konektivitas wilayah.
“Sejalan dengan itu, paradigma penanggulangan kebencanaan pun berubah dari responsif menjadi preventif. Dari sektoral menjadi multisektoral, dari tanggung jawab pemerintah semata menjadi tanggung jawab bersama, dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko bencana. Di sana, pelibatan masyarakat secara langsung dalam mitigasi bencana dilihat sebagai salah satu faktor penentu berhasilnya penguatan mitigasi bencana di NTB,” kata Ahsanul.
Oleh karena itu, pemerintah NTB, kata Ahsanul, mendorong prinsip-prinsip pengurangan risiko bencana. Langkah yang dilakukan yakni mengedukasi atau menyiapkan masyarakat di mana pemerintah adalah agen utama yang menginstalasi pengetahuan kebencanaan-kegempaan. Saat ini NTB mendorong “Desa Sadar Bencana” dan “Sekolah/Madrasah Aman Bencana”, serta “Komunitas Sadar/Siaga Bencana”.
Saat ini NTB mendorong “Desa Sadar Bencana” dan “Sekolah/Madrasah Aman Bencana”, serta “Komunitas Sadar/Siaga Bencana”. (Ahsanul Halik)
Langkah lainnya adalah perencanaan pembangunan melalui penataan ruang berbasis bencana, mendorong konstruksi bangunan yang tahan gempa, dan peningkatan sistem peringatan dini dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.
“Selain itu, kami juga tengah membangun sistem data kebencanaan yang disebut “NTB Satu Data Kebencanaan”. Sistem ini mencakup data pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Itu akan memudahkan pembuatan dan perumusan berbagai langkah upaya penanggulangan melalui keterpaduan kebijakan dan perencanaan khususnya dalam pengurangan risiko bencana,” kata Ahsanul.
Ahsanul menambahkan, mereka juga membangun kesadaran literasi kebencanaan. Tidak hanya soal kemampuan baca tulis, tetapi juga melek teknologi, politik, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. “Tentu, manajemen kebencanaan itu menuntut keterlibatan dan sinegritas semua pihak semau pihak terkait,” kata Ahsanul.