Jika tahun 2019 merupakan masa menabung ide bagi sastrawan muda Faisal Oddang (26), tahun 2020 ini lembaran baru dibuka. Faisal akan menyusun gagasan-gagasan tersebut ke dalam satu narasi utuh, yakni sebuah novel.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
Bagi sastrawan muda Faisal Oddang (26), tahun 2019 adalah masa-masa menabung ide. Sejumlah gagasan itu dikeluarkan satu per satu dalam karya. Selama kurun waktu lima tahun, ia telah menyelesaikan sembilan buku dan sejumlah karya yang terangkum dalam kumpulan tulisan.
“Sebelumnya kan tabungan ide itu dikuras. Dikeluarkan semua. Padahal, tabungan itu seperti bejana, dan menulis seperti membuka keran airnya. Jadi, selama setahun kemarin saya fokus membaca dan meriset dulu,” kata Faisal, saat ditemui di Makassar, Rabu (1/1/2020).
Maka, pada 2020, ia akan menyusun seluruh gagasan tersebut ke dalam satu narasi utuh. Sebuah novel yang bercerita tentang sejarah perbudakan di Bugis-Makassar pada masa abad 18-19, adalah rencana buku selanjutnya.
Pria yang mengagumi buku penulis asal Iran, Mazen Maarouf berjudul Jokes for The Gunmen, mengalami banyak tantangan selama menggeluti dunia sastra. Mulai dari akses bacaan, hingga kurangnya ekosistem yang mendukung kegiatan sastra.
Sejak remaja, kegemarannya membaca tidak terwadahi dengan baik. Perpustakaan sekolah dasar di Botto Tanre, Wajo, Sulawesi Selatan, berjarak 240 kilometer dari Makassar, tidak menyediakan banyak bacaan. Sulung dua bersaudara ini harus meminjam buku ke sepupu yang bekerja di perpustakaan untuk membaca buku karangan Marah Rusli, Sultan Takdir Alisjahbana, dan beberapa penulis lainnya.
Peraih Robert Bosh Stiftung and Literary Colloquium Berlin Grants 2018 ini juga sering ke pasar loak untuk membeli buku stensilan yang sampul depannya lalu ditutup sampul agar tidak ketahuan orang tuanya. Kesenangan membaca terus berlanjut saat SMA, kuliah, hingga saat ini.
Berbagai bacaan yang ia lahap selama ini, tambah Faisal, menjadi tabungan yang membantunya ketika sedang menulis. Olehnya itu, ia sangat berharap agar akses bacaan tersebar luas di berbagai daerah di seluruh Indonesia, agar semua orang memiliki kesempatan mendapatkan informasi dan bacaan yang sama.
"Meski telah masuk era digital dan berbagai kanal bisa diakses, ada banyak bacaan yang tidak tersedia. Dan ketika membeli secara daring, biayanya mahal. Kadang lebih mahal ongkos kirim dari harga buku”
“Paling mudah sebenarnya lewat perpustakaan daerah. Pemerintah menyediakan buku bacaan yang lengkap, beragam, dan informatif. Meski telah masuk era digital dan berbagai kanal bisa diakses, ada banyak bacaan yang tidak tersedia. Dan ketika membeli secara daring, biayanya mahal. Kadang lebih mahal ongkos kirim dari harga buku,” ucap Faisal.
Pemenang Cerpen Terbaik Kompas 2014 dan 2018 ini berpendapat, tumbuhnya ekosistem yang baik ikut berpengaruh berkembangnya sastra di sebuah daerah. Rumah baca, komunitas, perpustakaan independen, toko buku, festival dan diskusi, serta orang-orang yang tertarik dengan sastra.
Ekosistem yang tumbuh, menjadi wadah dan ruang untuk terus mengembangkan diri, belajar, dan menelurkan gagasan-gagasan baru. Sejauh ini, ekosistem tersebut semakin tumbuh di Makassar, dan berbagai daerah.
Sejak 2017, bersama sejumlah penulis dan pegiat sastra di Makassar, Faisal menginisiasi sebuah sekolah menulis bernama Institut Sastra Makassar. Sekolah yang terbuka untuk siapa saja ini memiliki durasi waktu selama 1,5 tahun, dengan waktu pertemuan dua kali per pekan.Terlibat pula para pengampu materi seperti Alwy Rahman, Aslan Abidin, Aan Mansyur, Alfian Dipahattang, Ibe S Palogai, dan Nurhady Sirimorok. Tahun ini, ISM menginjak angkatan kedua yang semua mahasiswanya diwajibkan menerbitkan sebuah karya.
Ke depan, kerja kolaboratif antara pelaku kreatif sangat dibutuhkan. Peminat sastra sebaiknya mengembangkan diri bekerja sama dengan pelaku film, teater, musik, dan berbagai medium seni lainnya.
“Hal itu tidak hanya bisa menghasilkan sesuatu warna dan rasa yang baru, tetapi turut serta menyebarluaskan gagasan dengan fromat berbeda. Jika sastra hanya mencapai peminat sastra, medium musik, film, atau teater misalnya, tentu akan menyentuh orang-orang lain yang sebelumnya tidak tersentuh lewat sastra,” tutupnya.