Massa udara basah masih terkonsentrasi di lapisan rendah atmosfer pada sebagian besar wilayah Indonesia. Hujan lebat hingga ekstrem berpeluang melanda hingga dua hari ke depan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Massa udara basah masih terkonsentrasi di lapisan rendah atmosfer pada sebagian besar wilayah Indonesia. Hujan lebat hingga ekstrem berpeluang melanda hingga dua hari ke depan.
”Asupan uap air dari utara dan selatan cukup kuat. MJO (Madden Julian Oscilation) fase basah juga menguat. Potensi hujan lebat hingga sangat lebat di sebagian besar wilayah Indonesia,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Fachri Radjab, di Jakarta, Jumat (3/1/2020).
Menurut Fachri, daerah yang perlu mewaspadai hujan lebat pada Sabtu (4/1/2020) adalah hampir sebagian besar Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. ”Untuk Sumatera sudah agak berkurang potensinya, hanya pesisir barat,” ungkapnya.
Daerah yang perlu mewaspadai hujan lebat pada Sabtu (4/1/2020) adalah hampir sebagian besar Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Gorontalo.
Peringatan dini cuaca tiga harian yang dikeluarkan Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono R Prabowo juga menunjukkan potensi hujan lebat disertai angin kencang dan kilat di sejumlah wilayah. Untuk Minggu (5/1/2020), potensi hujan lebat berpeluang terjadi di hampir seluruh Jawa, Sumatera Selatan, Riau, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Papua.
Semakin kompleks
BMKG berupaya membuat prakiraan cuaca, termasuk curah hujan dan potensi banjir, yang berlapis, mulai dari skala bulanan, dasarian, harian, hingga jam. Namun, potensi banjir skala dasarian yang dirilis BMKG untuk awal Januari di wilayah Jakarta dan sekitarnya disebutkan dalam kategori aman.
Fachri mengakui, prediksi cuaca di daerah tropis tidak mudah. ”Karena kita di daerah ekuator, angin berkumpul di sana sehingga dinamikanya bisa bersifat harian atau jam. Ditambah lagi kita negara kepulauan, pengaruh lokal seperti angin laut dan orografi juga sangat kuat,” katanya.
Upaya prediksi cuaca ekstrem semakin kompleks dengan terjadinya perubahan iklim. Contohnya, lonjakan hujan ekstrem yang terjadi pada pergantian tahun lalu, terjadi secara tiba-tiba.
Pihak BMKG sebenarnya telah mendeteksi potensi hujan lebat sejak tiga hari sebelumnya, tetapi skalanya masih provinsi. ”Perkiraan hujan secara lebih rinci untuk kepentingan peringatan dini dilakukan dalam skala harian dan jam karena kondisi cuaca yang dinamis,” kata Fachri.
Pada 31 Desember 2019 pukul 13.30, BMKG telah mengeluarkan peringatan dini hujan lebat yang kemudian dimutakhirkan pada pukul 16.00. ”Tetapi, kami tidak memperkirakan curah hujannya bisa sampai sangat ekstrem. Ini kembali pada kompleksitas prediksi cuaca di wilayah tropis dan perubahan iklim yang terjadi. Tantangan ke depan adalah mendetailkan peringatan dalam skala ruang dan waktu,” ujarnya.
Data BMKG menunjukkan, curah hujan 377 milimeter per hari yang tercatat di Halim pada 1 Januari 2020 merupakan yang tertinggi di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali pada zaman kolonial Belanda pada 1866. Sejumlah kajian di luar dan dalam negeri semakin banyak yang menunjukkan kaitan perubahan iklim dengan peningkatan hujan ekstrem.
Studi terbaru yang membuktikan hal ini dipublikasikan Kevin Reed dari School of Marine and Atmospheric Sciences (SoMAS) Stony Brook University dan tim di jurnal Science Advances pada 1 Januari 2020. Disebutkan, diameter badai tropis Florence yang melanda Carolina, Amerika Serikat, pada September 2018 membesar sekitar 9 kilometer dibandingkan dengan rata-rata. Dampaknya, intensitas dan skala hujan ekstrem juga meningkat signifikan.