Hingga hari kedua banjir dan longsor kemarin, ada beberapa kendala dalam penanganan korban. Meski bencana berulang, warga dan pemerintah tak siap menghadapinya.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah warga mengeluhkan minimnya jumlah perahu karet yang tersedia untuk mengevakuasi korban banjir dari rumah-rumah sehingga waktu yang diperlukan untuk memindahkan semua warga terdampak terlalu panjang. Kecepatan evakuasi penting mengingat sumber daya untuk bertahan hidup terbatas, terutama makanan dan air minum.
Hingga Kamis (2/1/2020) siang, banjir di Kota Bekasi, Jawa Barat, belum surut. Rumah-rumah warga masih tergenang air. Di RT 005 RW 001 Kelurahan Bekasi Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, air limpasan dari Sungai Bekasi masih menggenangi Gang KH Abdurahman, Jalan Juanda, setinggi lebih kurang 80 sentimeter.
Warga yang rumahnya kebanjiran pun bingung mencari lokasi yang aman untuk mengungsi sementara. Terlebih banyak di antara warga adalah lansia dan anak-anak yang kondisi tubuhnya rentan.
Di dalam kompleks Villa Taman Kartini, Kelurahan Margahayu, Bekasi Timur, ketinggian air lebih dari 1,5 meter. Mobil-mobil terendam, begitu juga sepeda motor.
Perahu ada semalam, tetapi tidak cukup, dan itu pun harus berebut dengan warga lain.
G Sidauruk (73), warga Villa Taman Kartini, baru bisa keluar rumah pada Kamis pukul 10.26. Ia naik perahu karet yang dioperasikan personel Brimob. Ia menyayangkan proses evakuasi yang terlambat. Semalam suntuk ia bertahan di lantai dua rumahnya bersama 10 anggota keluarga.
”Perahu ada semalam, tetapi tidak cukup, dan itu pun harus berebut dengan warga lain,” kata Sidauruk.
Di kawasan Ciledug, Karang Tengah, Kota Tangerang, hal serupa dijumpai. Koordinator tim evakuasi dari Badan SAR Nasional, Muhammad Abdullah, menjelaskan, luapan Kali Angke dari Jalan Pedurenan masih akan mengalir ke wilayah yang lebih rendah. Hal tersebut menyebabkan proses evakuasi belum optimal.
”Arus genangan itu mengarah ke kawasan yang lebih rendah sehingga kami menghindari rute yang cukup jauh ke lokasi rendah. Untuk ke lokasi yang lebih rendah diperlukan perahu bermotor dan harus melawan arus. Jumlah perahu bermotor dari Basarnas terbatas,” ujar Abdullah.
Di kompleks Ikatan Koperasi Pegawai Negeri (IKPN) Bintaro, Jakarta Selatan, luapan air Sungai Pesanggrahan mengakibatkan banjir setinggi 4-5 meter pada Rabu lalu. Salah seorang warga kompleks ini, Vharzha Andrefi (28), mengatakan, proses evakuasi tujuh anggota keluarga di rumahnya baru selesai pada Rabu sekitar pukul 17.00. Mereka bergiliran menumpang perahu karet penyelamat dengan selisih waktu sekitar satu jam karena perahu tak bisa memuat mereka semua sekaligus.
Vharzha dan anggota keluarga lainnya khawatir jika berlama-lama di dalam rumah mengingat mereka kekurangan sumber daya untuk bertahan hidup. Apalagi, mereka tidak mampu menjangkau bahan makanan di lantai satu rumah karena takut terseret banjir.
”Kesulitan lainnya, kami waktu itu kekurangan air minum dan ibu saya perlu ke toilet, sedangkan di lantai dua tidak ada toilet,” ucapnya, Kamis (2/1).
Secara keseluruhan, ada sekitar 700 warga di kompleks IKPN, tetapi hanya tersedia dua perahu karet untuk mengevakuasi warga. Warga sampai berselisih karena berebut perahu. Vharzha dan para pemuda lainnya juga dimintai tolong untuk membantu evakuasi pada Rabu malam karena sejumlah sukarelawan sudah kelelahan bekerja sejak pagi hingga sore.
Keluhan serupa disampaikan Ketua RT 007 RW 001 Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, Ari Sandra Sukmawan. Di tengah banjir dengan ketinggian mencapai 3,5 meter, untuk penyelamatan lebih dari 2.000 keluarga di RW 001, hanya tersedia tiga perahu karet.
Karena itu, Ari berinisiatif meminjam rakit berbahan HDPE (high density polyethylene) milik petugas dinas lingkungan hidup untuk mempercepat evakuasi warga RT 007. Meski demikian, evakuasi tetap berlangsung lama, selesai sekitar pukul 21.00.
Kesulitan lainnya, lanjut Ari, belum ada dapur umum di pos pengungsian warga RW 001 Semanan yang berlokasi di halaman apartemen Daan Mogot City setidaknya hingga Kamis sore. Makanan juga menjadi masalah di kompleks IKPN. Akibatnya, ada penjual makanan yang memanfaatkan situasi dengan menaikkan harga makanan.
Warga seperti Vharzha, Ari, dan Sidauruk berharap pemerintah memperbaiki pelaksanaan evakuasi dan penanganan pengungsi pada masa depan mengingat potensi bencana masih membayangi selama musim hujan 2019-2020 ini. Apalagi, banjir kali ini terjadi bukan di masa puncak musim hujan.
Bencana banjir juga sudah menjadi langganan, hampir setiap tahun terjadi. Berdasarkan prediksi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, wilayah yang berpotensi banjir selalu ada. Koordinasi antarinstansi seharusnya selalu siaga saat musim hujan datang.
Kemang tergenang
Warga RT 003 RW 002 Kelurahan Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, membersihkan endapan lumpur setelah banjir setinggi 1 meter merendam rumah mereka.
”Banjir tahun ini lebih parah dibandingkan tahun 2016. Tahun 2016, air hanya masuk sampai tangga depan rumah (30-40 sentimeter). Kali ini, air sampai masuk ke pintu (90-100 sentimeter),” kata Khaerudin (53), warga RT 003 RW 002 Kelurahan Bangka.
Padahal, sepengetahuan Khaerudin, kali justru baru dikeruk sekitar dua pekan sebelum banjir melanda.
Warga Kemang juga terkesan tak siap dengan banjir tahun ini. Sebab, berdasarkan pengalaman mereka, banjir tidak pernah setinggi ini. Warga memilih bertahan di lantai dua rumah mereka. Namun, ternyata, air bertahan lama, dan mereka tidak bisa beraktivitas karena listrik mati. Akhirnya, bayi, lansia, dan warga lainnya dievakuasi menggunakan perahu karet.
Desak penataan sungai
Prasetio Edi Marsudi, Ketua DPRD DKI Jakarta, Kamis, saat kunjungan ke Sungai Ciliwung di Gunung Sahari mengatakan, saat ini Jakarta tengah dilanda bencana banjir. Semua wilayah kota dilanda air banjir. ”Nah, di sinilah bagaimana normalisasi kali-kali harus dilaksanakan, harus ditindaklanjuti, tidak bisa ditunda-tunda lagi,” katanya.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan, menegaskan hal yang sama. Normalisasi Ciliwung bersama-sama Sungai Sunter, Angke, dan Pesanggrahan sudah diprogram sejak lama dengan dana bantuan Bank Dunia. ”Dengan dana itu, targetnya normalisasi kali harus selesai,” ujar Nirwono.
Gubernur DKI berani tidak mengerjakan normalisasi karena harus memindahkan warga?
Namun, normalisasi kali juga harus diikuti revitalisasi waduk dan situ serta penambahan luasan ruang terbuka hijau. Kalau ada 13 kali di Jakarta, setiap tahun bisa diprogram sungai-sungai yang akan dinormalisasi dalam lima tahun. Dengan ada 109 waduk dan situ di Jakarta, setiap tahun bisa diprogram jumlah waduk dan situ yang direvitalisasi. Jakarta masih memiliki pekerjaan rumah menambah 20 persen ruang terbuka hijau.
”Pertanyaannya, Gubernur DKI berani tidak mengerjakan normalisasi karena harus memindahkan warga?” katanya.
Namun, Prasetio menegaskan, demi kepentingan masyarakat Jakarta secara keseluruhan, kebijakan penataan sungai harus diprioritaskan.