Kebijakan pemerintah daerah di Jabodetabek untuk mengatasi banjir secara jangka panjang semakin lemah selama beberapa tahun terakhir.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·5 menit baca
Kebijakan pemerintah daerah di Jabodetabek untuk mengatasi banjir secara jangka panjang semakin lemah selama beberapa tahun terakhir. Banjir yang melanda Jabodetabek kali ini menjadi alarm untuk segera menguatkan kebijakan dan meningkatkan koordinasi antardaerah mengantisipasi banjir di tengah tingginya potensi hujan ekstrem.
Banjir di DKI Jakarta pada dua hari terakhir terjadi karena tiga faktor, yaitu curah hujan lokal ekstrem, air laut pasang, dan banjir kiriman dari hulu. Banjir yang memaksa 31.232 jiwa di Jakarta mengungsi dan 16 orang tewas di Jabodetabek ini menunjukkan ketidaksiapan infrastruktur pemerintah dalam menanggulangi banjir.
Menurut data curah hujan dan ketinggian muka air di pintu air, banjir yang terjadi pada Rabu (1/1/2020) pagi diakibatkan hujan lokal di Jakarta, Depok, Bekasi, dan Tangerang sendiri dan bukan banjir kiriman dari hulu. Tinggi muka air di Pintu Air Manggarai sudah memasuki status Siaga 2 pada Rabu sekitar pukul 03.00 dan Pintu Air Pasar Depok baru memasuki Siaga 2 sekitar pukul 09.00 saat air di Manggarai sudah tinggi.
Sementara Pintu Air Katulampa di Kabupaten Bogor baru memasuki Siaga 2 pada pukul 09.00. Artinya, ketinggian air di Jakarta sendiri sudah tinggi, sementara air kiriman dari hulu belum datang.
Seperti diberitakan sebelumnya, di Halim Perdanakusuma, curah hujan tercatat 377 mm, di Taman Mini Indonesia Indah 335 mm, dan Jatiasih 259 mm. Sementara banjir pada Rabu malam merupakan akumulasi antara hujan dan banjir kiriman dari hulu Ciliwung.
Empat sungai meluap, yaitu Ciliwung, Cakung, Krukut, dan Kali Sunter. Demikian juga saluran-saluran air sehingga belasan ruas jalan vital sempat terendam hingga mengganggu transportasi. Kondisi ini menunjukkan daya tampung sungai-sungai dan saluran air Jakarta tak memadai dalam menghadapi curah hujan ekstrem bahkan tanpa diperparah banjir kiriman sekalipun.
Empat sungai meluap, yaitu Ciliwung, Cakung, Krukut, dan Kali Sunter. Demikian juga saluran-saluran air sehingga belasan ruas jalan vital sempat terendam hingga mengganggu transportasi. Kondisi ini menunjukkan daya tampung sungai-sungai dan saluran air Jakarta tak memadai dalam menghadapi curah hujan ekstrem bahkan tanpa diperparah banjir kiriman sekalipun.
Sementara itu, kebijakan mengantisipasi banjir belum ada yang tuntas dikerjakan. Di kawasan hulu, perbaikan kawasan resapan air dan mengembalikan atau mengganti situ-situ yang hilang di Depok belum juga terlihat hasilnya.
”Ini cerita lama yang belum teratasi. Daerah aliran sungai dan resapan di Kabupaten Bogor dan Depok mengalami alih fungsi sehingga rusak. Situ-situ di Depok banyak yang sudah tidak ada. Langkah penertiban maupun membuat daerah resapan pengganti belum terlaksana,” kata Ketua Harian Forum DAS Nasional Chay Asdak.
Melambat
Di Jakarta, pelebaran kali yang lazim disebut normalisasi Ciliwung terhenti selama dua tahun, yaitu tahun 2017-2018. Penyebabnya, tak ada pembebasan lahan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sehingga Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) tak bisa melanjutkan pelebaran dan penataan bantaran kali selama dua tahun tersebut.
Tahun 2019, pengerjaan penataan Kali Ciliwung hanya sekitar 1,2-1,5 kilometer dari target 33 km. Laju ini melambat dari tahun 2013-2017 yang berhasil mencapai normalisasi pada 16 km atau rata-rata sekitar 3,2 km per tahun. Sementara tahun 2020 belum ada kejelasan sebab BBWSCC belum menerima data pembebasan lahan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kepala BBWSCC Bambang Hidayah mengatakan, kunci dari pencegahan banjir Jakarta secara jangka panjang adalah menambah daya tampung kali-kali di Jakarta, membangun tanggul pantai dan membangun pompa-pompa serta polder di pesisir Jakarta Utara.
”Tanpa banjir kiriman dari hulu saja, saat ini untuk Ciliwung hanya mampu menampung hujan normal 50 milimeter. Kalau sudah hujan lebat, 50-100 milimeter, sudah ada yang meluap, apalagi kemarin sampai 377 milimeter,” kata Bambang di Jakarta, Kamis (2/1/2020).
Pelebaran dan penataan bantaran kali-kali di Jakarta sangat tergantung dari tersedianya lahan yang dibebaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Sebetulnya selama 2013-2017, anggaran sudah tersedia untuk menyelesaikan seluruh target normalisasi Ciliwung. Namun, karena kendala lahan belum bebas, sisa dana terpaksa dikembalikan,” katanya.
Menurut Bambang, tak masalah metode apa yang dipilih untuk menambah daya tampung sungai itu, baik normalisasi dengan pembetonan bibir sungai maupun naturalisasi atau mengembalikan kondisi alamiah sungai.
Baik naturalisasi ataupun normalisasi, menambah daya tampung kali intinya dilakukan dengan pelebaran dan pendalaman kali disertai penataan bantaran. Langkah ini memang akan memerlukan pembebasan lahan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Untuk Kali Ciliwung, lebar ideal adalah 40-50 meter dengan lebar sempadan sungai 15 meter di dua sisi. Namun, kenyataannya, di alur sungai yang belum tersentuh penataan, lebarnya rata-rata hanya 17,5 meter. Sempadan pun penuh dengan pemukiman warga.
Bambang mengatakan, sepanjang 16 km Ciliwung yang sudah dinormalisasi, hampir seluruhnya sudah bebas banjir. Sebagian kecil saja memang masih mengalami luapan karena belum tuntasnya normalisasi dan di beberapa titik ada bolong-bolong.
”Di sekitar Kampung Pulo dan Bukit Duri karena tanggul beton atau parapet melimpah karena tingginya debit air,” katanya.
Beda pendapat
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berbeda pendapat mengenai kunci penanganan banjir itu. Ia menyatakan kunci mengantisipasi banjir adalah penanganan di daerah hulu. Menurut dia, selebar apa pun sungai di Jakarta, tak akan mencegah banjir di Jakarta apabila tak ada langkah pencegahan di bagian hulu.
Ketua Harian Forum DAS Nasional Chay Asdak mengatakan, mengatasi di bagian hulu saja tak akan mampu mencegah banjir di Jakarta. Membangun sumur resapan, secara prinsip hidrologi tak akan memadai mencegah banjir di Jakarta karena Jakarta merupakan daerah perlepasan air (discharge). Sumur resapan lebih cocok dibangun di bagian tengah, seperti Depok dan hulu, seperti Kabupaten Bogor.
Selama tiga tahun terakhir, Anies menyatakan kebijakan naturalisasi kali atau mengembalikan sungai ke kondisi alamiahnya dan pembangunan sumur-sumur resapan sebagai upaya mencegah banjir. Namun, sampai saat ini, bukti dan dampak nyata naturalisasi sungai yang ia maksud belum dipublikasikan.
Chay menambahkan, Jakarta perlu segera menambah daya tampung air, baik dengan membangun danau dan waduk maupun penataan sungai dan bantaran tanpa lagi membenturkan konsep naturalisasi dengan normalisasi.
Namun, Jakarta tak bisa sendiri, seluruh pemerintah daerah Jabodetabek dan pemerintah pusat harus bekerja sama dalam mengantisipasi banjir.