Hidup guyub rukun antarwarga masih lumrah ditemukan di kawasan urban Jakarta. Interaksi antar tetangga masih kerap dilakukan. Ragam latar belakang warganya tidak menyurutkan niat untuk menjaga keharmonisan persaudaraan.
Oleh
Albertus Krisna (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Hidup guyub rukun antarwarga masih lumrah ditemukan di kawasan urban Jakarta. Interaksi antar tetangga masih kerap dilakukan. Ragam latar belakang warganya tidak menyurutkan niat untuk menjaga keharmonisan persaudaraan.
Kota metropolitan Jakarta terbentuk dari proses migrasi yang panjang. Jakarta sebagai pusat pemerintah dan perdagangan, berhasil menarik kaum migran untuk mengadu nasib di Jakarta. Tradisi ini marak dilakukan sejak lama, bahkan sudah dimulai sejak tahun 1949 pasca ibukota Indonesia pindah kembali ke Jakarta.
Mengutip dari buku “Jakarta Sejarah 400 Tahun” (Blackburn, 2011), sebuah survei di Kota Jakarta Bagian Dalam (1953) menyebutkan, 75 persen warga di Jakarta merupakan warga kelahiran dari luar Jakarta. Setengah diantaranya mengaku bermigrasi ke Jakarta sejak 1949.
Lebih dari 50 tahun, kini penduduk Jakarta terus bertambah jumlahnya dan beragam latar belakang etnisnya. Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta tahun 1953 mencatat, jumlah penduduk di Jakarta : 1,8 juta orang. Sensus Penduduk 2010 mencatat, penduduk sudah meningkat menjadi 9,6 juta orang. Jumlah ini didominasi oleh etnis Jawa (35,9 %), Betawi (28,1 %), Sunda (14,5 %), Tionghoa (6,6 %), dan Batak (3,4 %).
Meski demikian kohesi sosial di Jakarta masih kuat. Warga pun masih cukup nyaman tinggal di Jakarta dengan berbagai masalah perkotaan yang timbul. Hal tersebut terekam dalam beberapa kali jajak pendapat Kompas selama 2019.
Interaksi Bertetangga
Jakarta sebagai melting pot kaum migran dari berbagai etnis dan latar belakang budaya membentuk heterogenitas permukiman, baik di perkampungan ataupun kompleks perumahan. Dalam satu kawasan permukiman, warga yang bermukim bisa berasal dari berbagai latar belakang asal daerah dan etnis.
Hidup rukun, harmonis dan berdampingan dengan tetangga adalah harapan semua warga Jakarta. Empat dari lima responden jajak pendapat Kompas akhir Desember 2018 menyatakan pentingnya interaksi fisik dengan tetangga.
Bentuk interaksi bisa berupa tegur sapa atau mengobrol dengan tetangga di sekitar rumah setiap hari. Kebiasaan ini telah dilakukan sekitar 80 persen responden. Hanya sekitar 17,7 persen responden yang mengaku jarang berinteraksi dengan tetangga karena kesibukan sehari-hari.
Intensnya kebiasaan tegur sapa ini dapat menjadi bibit kemunculan interaksi yang guyub. Tak hanya bertegur sapa, saat tetangga menyelenggarakan kegiatan hajatan/syukuran/pernikahan, tiga perempat responden juga mengaku selalu membantu. Hal serupa juga dilakukan tiga perempat responden yang datang dan membantu tetangga saat mereka kehilangan anggota keluarga ataupun sakit.
Meski demikian, masih ada sekitar seperempat responden yang mengaku jarang hadir dalam kegiatan lingkungan di sekitar rumahnya karena tidak sempat. Hal ini karena mereka cukup sibuk bekerja. Menurut data Susenas BPS 2017, mayoritas warga DKI mengabiskan hampir separuh hari untuk pekerjaan utamanya yaitu antara 9-11 jam/hari.
Guyubnya warga ibu kota juga dapat diamati dari rutinitas perayaan hari kemerdekaan di sekitar lingkungannya. Perayaan 17-an identik dengan berbagai perlombaan mulai dari makan kerupuk, balap karung, tarik tambang, hingga upacara bendera. Hasil jajak pendapat Kompas awal agustus lalu menggambarkan acara ini rutin diselenggarakan tiap tahunnya oleh hampir 90 persen responden.
Tidak hanya di kompleks perumahan, HUT RI ini juga marak dirayakan di sejumlah apartemen. Contohnya Apartemen Kalibata City di Pancoran, Jakarta Selatan yang rutin merayakannya. Tahun 2019 warga Kalibata City memperingati HUT RI ke-74 dengan tema “Menuju Indonesia Unggul”. Warga dari sejumlah blok di apartemen terpantau antusias turut serta dalam perlombaan di acara itu.
Tidak jauh berbeda dengan warga di Rusunawa Marunda. Tahun 2019 kemeriahan peringatan HUT RI juga dirasakan di rusunawa yang terletak di Cilincing, Jakarta Utara ini. Warga rusunawa memanfaatkan lahan kosong di lantai satu gedung blok B2 sebagai tempat berbagai perlombaan. Keceriaan warga terukir dari gelak tawa warga menyaksikan aksi lucu sanak saudara dan tetangga dalam setiap pertandingan yang diikuti.
Kegiatan rutin di lingkungan masyarakat seperti 17 Agustus ini sangatlah penting. Hal ini diamini hampir semua responden. Pendapat ini beralasan, karena melalui perayaan ini kekompakan dan kebersamaan antar sesama warga akan terbangun dengan baik. Melalui serangkaian perlombaan khas 17-an ini juga kebhinekaan di tengah heterogenitas warga kota dapat terbentuk.
Nyaman
Masih kuatnya kebersamaan antar warga sedikit banyak berpengaruh pada tingkat kenyamanan warga ibu kota. Dua pertiga responden jajak pendapat pertengahan September lalu mengaku merasa nyaman tinggal dan beraktivitas di Jakarta. Selain karena pengaruh kuatnya kohesi sosial, kenyamanan ini juga tidak lepas dari kemajuan infrastruktur Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Infrastruktur fisik dan non fisik mudah diakses dan didapatkan di Jakarta.
Meski demikian, guyub bertetangga merupakan hasil dari proses interaksi yang panjang di dalam suatu lingkungan masyarakat. Tidak semua lokasi pemukiman di Jakarta berhasil menciptakan kondisi semacam ini. Alih-alih guyub, konflik antarwarga justru yang kerap kali terjadi.
Barang kali ini yang kemudian membuat sepertiga warga menilai belum nyaman tinggal di ibu kota. Di samping sejumlah persoalan klasik di Jakarta seperti kemacetan lalu lintas, banjir, dan kriminalitas.
Menjaga ikatan kohesi sosial di ibu kota tidaklah mudah. Tantangannya bukan hanya soal kesibukan bekerja, tapi juga soal politik yang bisa memecah belah guyubnya warga. Menjadi tugas warga ibu kota dan pemerintah untuk ikut menjaga kohesi sosial yang ratusan tahun telah terbentuk.