Curah hujan ekstrem seharusnya tidak bisa menjadi pembenar bagi banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya yang menelan setidaknya 30 korban jiwa. Kerusakan lingkungan dan buruknya tata kelola banjir turut memicunya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Banjir bukanlah peristiwa baru di Jakarta. Sejak Jan Pieterszoon Coen membangun kota ini di muara Sungai Ciliwung pada 1619, banjir telah berulang kali melanda. Sekalipun berbagai upaya telah dilakukan, banjir Jakarta terus terjadi, bahkan cenderung membesar.
Hanya tiga tahun sejak dibangun, pada tahun 1621, Batavia, nama lama Jakarta, telah kebanjiran. Banjir juga terjadi pada 1654 yang menyebabkan kota tua Jakarta ditinggalkan. Perlahan, pertumbuhan kota mengarah ke selatan.
Menurut catatan Restu Gunawan, sejarawan yang meneliti riwayat banjir Jakarta dalam bukunya Gagalnya Sistem Kanal (2010), pada akhir abad ke-18, terjadi perpindahan besar-besaran penduduk Batavia ke daerah yang lebih tinggi di selatan, yaitu Weltevreden.
Weltevreden yang semula hutan dan rawa-rawa lantas berkembang pesat. Apalagi pada 1807, Herman Willem Daendels memutuskan menjadikan Weltevreden sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda di Asia.
Namun, banjir tak beranjak pergi, justru semakin menjadi karena okupasi daerah resapan di utara. Pada 1 Januari 1892, Weltevreden kebanjiran. Seperti ditulis koran Siang Po, banjir terjadi setelah turun hujan lebat selama delapan jam dengan curah hujan tertinggi 286 milimeter (mm) per hari. Setahun kemudian, banjir lebih besar melanda. Hampir seluruh kota terendam.
Batavia kembali kebanjiran pada 1895, 1899, 1904, dan 1909. Pemerintah kolonial dinilai gagal mengatasi banjir. Pada 19 Februari 1909, koran de Locomotief menulis berita berjudul ”Batavia Onder Water”, pelesetan dari singkatan BOW (Burgelijke den Openbare Werken), kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk pengairan.
Januari 1918, Batavia dilanda banjir hebat sehingga melumpuhkan aktivitas kota ini selama sebulan. Banjir juga terus berulang di Batavia hingga nama kota berubah menjadi Jakarta dan menjadi ibu kota Indonesia.
Berganti-ganti penguasa, dengan janji-janji politik untuk mengatasi banjir Jakarta, ternyata selalu menjadi pepesan kosong. Penelusuran di Pusat Informasi Kompas menemukan, hampir setiap tahun ada berita tentang banjir Jakarta. Sejak 1965 sampai awal 2000 ini, setidaknya terdapat 17.192 artikel tentang banjir Jakarta.
Pada 20 Januari 1967, misalnya, Kompas menurunkan artikel berjudul ”Banjir Rutin di Jakarta Belum Dapat Diatasi”, yang mengurai kegagalan penanganan banjir saat itu yang sudah menjadi langganan di musim hujan.
Hujan lebat jelas menjadi pemicu awal banjir Jakarta. Analisis Badan Meteorologi. Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, beberapa kejadian banjir besar di Jakarta pada masa lalu, misalnya yang terjadi pada tahun 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015, dapat dikaitkan dengan kejadian curah hujan ekstrem dan fenomena meteorologis yang membentuknya.
Menurut Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab, banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya kali ini disebabkan curah hujan ekstrem, di atas 150 milimeter per hari yang turun cukup merata. Bahkan, curah hujan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, yang mencapai 377 mm per hari menjadi rekor tertinggi sejak 154 tahun dilakukan pengukuran oleh Belanda.
Analisis meteorologis menunjukkan, anomali curah hujan tinggi ini dipengaruhi oleh penguatan aliran monsun Asia dan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara aau pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat di atas wilayah Jawa bagian utara. ITCZ memicu pertumbuhan awan amat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya.
Kajian Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto menunjukkan kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dan peningkatan intensitas curah hujan maksimum per tahunnya. Kesimpulan ini diperoleh dengan menganalisis data historis curah hujan harian selama 150 tahun (1866-2015). ”Di wilayah Jabodetabek, curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10- 20 mm setiap sepuluh tahun,” katanya.
Di wilayah Jabodetabek, curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10-20 milimeter setiap sepuluh tahun.
Krisis ekologi
Namun, aspek cuaca ini seharusnya tidak bisa menjadi pembenar bagi banjir Jakarta dan sekitarnya yang sejauh ini telah menelan sedikitnya 30 korban jiwa. Penyebab banjir di Jakarta sejatinya bukan hanya krisis iklim, melainkan juga karena krisis ekologi dan sosial.
Krisis ekologi dan sosial itu berupa besarnya limpasan air dari daerah hulu karena rusaknya tutupan vegetasi, berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air banjir, menyempit dan mendangkalnya sungai akibat sedimentasi dan penuhnya sampah, hingga penurunan daratan akibat terus disedotnya air tanah.
Berbagai penyebab ini sebenarnya telah lama diketahui. Solusi krisis iklim memang tak mudah diatasi karena bersifat global, tetapi krisis ekologi dan sosial seharusnya bisa diselesaikan.
Namun, di tengah upaya evakuasi korban, terjadi polemik antara Pemerintah Provinsi Jakarta dan pemerintah pusat terkait solusi untuk mengatasi banjir. Polemik yang diamplifikasi para pendukung fanatik di media sosial telah membelah publik dalam sengketa politik, sementara solusi permanen untuk mengatasi banjir Jakarta semakin mengabur.