Tak Cukup Jadi yang Tercepat
Peluang Indonesia meloloskan atlet panjat tebing di Olimpiade Tokyo 2020 sangat tipis, bahkan nyaris tertutup. Atlet panjat tebing Indonesia masih harus bekerja keras memperkuat kemampuan pada nomor lead dan boulder.
Tahun 2019 telah menjadi sejarah besar bagi Aries Susanti Rahayu maupun olahraga panjat tebing Indonesia. Atlet putri asal Grobogan, Jawa Tengah, itu mencatatkan diri sebagai pemanjat tebing putri tercepat di dunia. Namun, rekor dunia itu tidak lantas menjamin Indonesia bisa tampil pada Olimpiade Tokyo 2020.
Rekor dunia tersebut terjadi pada ajang Piala Dunia Panjat Tebing seri Xiamen di China, 19 Oktober 2019. Aries yang tampil pada nomor speed meraih medali emas dengan mencatat waktu 6,995 detik. Ia memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang Yi Ling Song dari China dengan 7,101 detik.
Pada babak final itu, Song yang menjadi lawan Aries hanya mampu mencatat waktu 9,032 detik. Aries pun langsung berteriak meluapkan kegembiraannya usai menggapai puncak jalur panjat. Begitu sampai di bawah, dua pemanjat putri tercepat di dunia itu saling berpelukan. Satu di antaranya sudah berhasil menembus catatan waktu di bawah 7 detik, yang diimpikan seluruh pemanjat tebing putri di dunia.
Impian Aries tersebut bahkan sudah diterjemahkan dalam sebuah film layar lebar dengan produser Lola Amaria bersama Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) dan dirilis pada akhir September 2019, kurang dari satu bulan sebelum rekor dunia itu tercipta. Kebetulan film itu juga berjudul ”6,9 Detik” dan Aries sendiri yang memerankan dirinya dalam film tersebut.
Aries kemudian menjadi bahan pembicaraan. Media massa di luar negeri seperti BBC memberitakannya lengkap dengan julukan ”Spider-woman” atau perempuan laba-laba. Sejak Oktober itu, Indonesia semakin diperhitungkan dunia dalam cabang olahraga ini.
Apalagi atlet panjat tebing putra Indonesia, yaitu Alfian Muhammad juga mampu merebut emas nomor speed pada Piala Dunia Panjat Tebing seri Chamonix di Perancis, Juli 2019. Alfian mencatat waktu 5,764 detik mengungguli Zhong Qixin dari China.
Prestasi para atlet panjat tebing Indonesia pada nomor speed ini mulai mencuri perhatian sejak Asian Games 2018. Saat itu, Indonesia meraih tiga emas pada nomor speed tunggal putri, speed relay putri, dan speed relay putra.
Tiket Tokyo 2020
Meski sudah banyak medali emas diraih dan rekor dunia dipecahkan, Indonesia menghadapi kenyataan pahit bahwa tiket Tokyo 2020 sulit direbut. Aries Susanti dan kawan-kawan harus menerima kenyataan bahwa mereka masih perlu memanjat lebih tinggi pada awal dekade ini agar bisa unjuk gigi di Olimpiade.
Cabang panjat tebing memang baru pertama kali diperlombakan dalam Olimpiade, dimulai di Tokyo. Namun, pada kesempatan pertama itu hanya akan diperlombakan nomor kombinasi, yaitu gabungan speed, boulder, dan lead. Ketentuan ini menjadi masalah karena Indonesia baru menguasai nomor speed.
Hanya menguasai speed tidak akan cukup untuk lolos kualifikasi ke Tokyo. Dalam nomor kombinasi, setiap atlet harus mengumpulkan poin dari ketiga disiplin panjat tebing untuk mendapatkan peringkat terbaik.
Pertandingan nomor kombinasi dimulai dari speed ketika dua atlet diadu untuk mencatat waktu tercepat dalam jalur panjat yang sudah baku. Atlet kemudian mencari poin pada bouldering, yaitu memanjat pada dinding yang dibuat dengan pegangan (volume) yang lebih besar agar menyerupai tebing. Setiap atlet berlomba tanpa tali pengaman untuk mencapai pegangan paling atas.
Lead sebagai tahapan terakhir, menantang setiap atlet untuk memanjat lebih tinggi dengan menggunakan tali pengaman. Tingkat kesulitan sedikit lebih ringan dibandingkan bouldering, tetapi jalur panjat jauh lebih panjang dan melelahkan. Keberhasilan memanjat dipengaruhi oleh daya tahan dan kekuatan otot atlet.
”Sejak awal, kami menyiapkan atlet pada nomor speed untuk Asian Games 2018. Ketika nomor speed tidak dipertandingkan di Tokyo, kami tahu akan sulit untuk bisa tampil di sana,” kata Wakil Ketua Umum (demisioner) FPTI, Pristiawan Buntoro, Minggu (29/12/2019). Indonesia kemudian hanya bisa bersabar dan mengincar target tampil di Olimpiade Paris 2024 ketika nomor speed akan dipertandingkan.
Pada Piala Dunia di Xiamen, China itu, misalnya, Aries meraih emas di nomor speed tetapi berada di peringkat terbawah pada nomor lead. Aries dan Alfian juga gagal mengamankan tiket Tokyo 2020 saat bertanding pada Kualifikasi Kombinasi di Toulouse, Perancis, November 2019.
Di Perancis, Aries finis di peringkat ke-16 dan Alfian di peringkat ke-13. Adapun tiket ke Tokyo bisa diraih para atlet yang mampu finis di peringkat enam besar, baik putra maupun putri.
Total ada 40 atlet putra dan putri yang akan tampil di Tokyo 2020. Masih ada satu ajang kualifikasi lagi di Jepang pada April-Mei 2020 bagi atlet-atlet Asia.
Namun, hanya akan ada masing-masing satu tiket putra dan putri yang diperebutkan di Jepang. Padahal, atlet-atlet tangguh pada nomor lead dan boulder dari negara Asia lain seperti Kim Ja-in asal Korea Selatan juga belum mendapatkan tiket dan akan menjadi pesaing berat Indonesia.
Pekerjaan berat
Menurut Pristiawan, Indonesia memang sudah membina atlet yang dipersiapkan untuk memiliki spesialisasi pada nomor lead dan boulder. Pengembangan pun menjadi pekerjaan yang sangat berat karena standar pelatihan yang dilakukan masih jauh di bawah standar kompetisi level dunia.
Standar pelatihan itu mengacu pada karakteristik lead dan boulder yang fleksibel. Atlet selalu menghadapi jalur panjat yang berbeda setiap kali berlomba. Jalur panjat yang dibuat pada kejuaraan level dunia pun memberikan tantangan yang belum bisa ditaklukkan atlet Indonesia.
Di sinilah peran penting seorang pembuat jalur dalam program pelatihan. ”Sayangnya, kami belum punya pembuat jalur yang berkelas internasional. Yang ada baru kelas kontinental dan itu belum cukup,” ujar Pristiawan.
Belum lagi dengan pengadaan poin pegangan dan volume yang masih mahal. Pristiawan mencontohkan harga sebanyak 5.000 poin pegangan dan volume yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 3 miliar.
Teknik memanjatnya pun berbeda. Atlet panjat tebing Indonesia, Aspar Jailolo, mengibaratkan mengadu atlet speed dan atlet lead/boulder seperti mengadu pelari 100 meter dengan pelari marathon. ”Ototnya berbeda. Untuk bisa di lead dan boulder, kami harus persiapkan daya tahan. Jari kami pun belum kuat. Kami masih harus mempersiapkan lebih spesifik lagi,” ujarnya.
Faktor utama yang dibutuhkan atlet speed adalah daya ledak, sedangkan atlet lead dan boulder membutuhkan kekuatan dan daya tahan tinggi. Mereka harus bisa menahan bobot badan mereka dengan jari tangan dalam waktu lama. Selain itu, kelenturan badan dan kecerdasan dalam menentukan arah pemanjatan juga sangat penting.
”Prosesnya butuh waktu bertahun-tahun lagi. Untuk mencari atlet lead dan boulder juga tidak sembarangan. Kalau mau serius harus mendapatkan atlet yang berotak profesor sekaligus berotot kuli. Itu tidak mudah,” ujar pelatih tim nasional panjat tebing Indonesia pada ajang Asian Games 2018, Caly Setiawan.
Pada akhir Desember lalu, FPTI baru saja menggelar musyarawah nasional dan menetapkan Yenny Wahid sebagai Ketua Umum yang baru. Kepengurusan dan program kerja yang baru yang akan segera dibentuk, diharapkan mampu menjawab tantangan ini.