Rendahnya inflasi perlu diwaspadai karena ada indikasi pelemahan daya beli. Apalagi, ada sejumlah kenaikan harga.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mencatat, inflasi sepanjang Januari-Desember 2019 mencapai 2,72 persen. Angka itu terendah sejak tahun 2012. Namun, rendahnya inflasi mesti diwaspadai karena ada indikasi pelemahan daya beli.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Jakarta, Kamis (2/1/2020), menyatakan, ada dua faktor utama yang memengaruhi rendahnya inflasi. Pertama, harga beberapa komoditas relatif terkendali, terutama beras. Tahun lalu, beras tak termasuk 10 besar komoditas yang memiliki andil dominan terhadap inflasi.
Kedua, kenaikan harga barang yang diatur pemerintah (administered price) tak berkontribusi signifikan terhadap inflasi. Sepanjang 2019, pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak. Selain itu, harga tiket pesawat dapat dikendalikan kendati masih relatif tinggi.
Jika ditilik berdasarkan komponennya, inflasi inti secara tahunan mencapai 3,02 persen. Menurut Suhariyanto, pergerakan inflasi inti tahun 2019 lebih rendah dibandingkan tahun 2018, yakni 3,07 persen. Kondisi ini mesti diwaspadai karena ada indikasi pelemahan daya beli pada akhir tahun.
Pola yang sama terjadi tahun 2017 ketika inflasi inti bergerak melambat dari awal ke akhir tahun. ”Hal ini mesti jadi perhatian untuk menjaga daya beli kendati kondisinya masih relatif aman,” ujarnya.
Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro menuturkan, inflasi inti adalah cermin kondisi ekonomi sehingga kerap dikaitkan dengan daya beli. Setidaknya ada dua komponen yang memengaruhi pelambatan inflasi inti tahun 2019, yaitu bahan makanan dengan kandungan impor tinggi dan harga sewa/kontrak rumah.
Tarif sewa/kontrak rumah masuk dalam 10 besar komoditas penyumbang tertinggi inflasi tahun 2019. ”Biaya sewa dan atau kontrak rumah lebih besar dari anggaran rumah tangga lainnya. Secara keseluruhan pendapatan riil mencukupi, tetapi porsi biaya komponen itu meningkat,” ujarnya.
Ari mengatakan, pemerintah mesti mewaspadai kenaikan harga properti, terutama di kota-kota besar. Besarnya biaya sewa dan kontrak rumah akan memperpanjang siklus belanja, terutama belanja barang-barang tahan lama. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan memukul industri manufaktur karena daya beli melemah.
Hal serupa kini tengah dialami Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Daya beli melemah karena harga properti terus naik dan turut memengaruhi harga sewa dan kontrak rumah. ”Jika harga properti tidak dikontrol, kenaikan tarif sewa dan kontrak rumah mungkin memicu resesi ekonomi,” kata Ari.
Inflasi 2020
Secara terpisah, ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Wisnu Wardana, berpendapat, pemerintah mesti mewaspadai potensi kenaikan inflasi tahun 2020 kendati masih dalam batas aman. Kenaikan inflasi ini bersumber dari peningkatan harga beberapa barang/jasa yang diatur pemerintah.
Tahun ini pemerintah berencana menaikkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat sebesar 100 persen, memangkas subsidi solar menjadi Rp 1.000 per liter dan subsidi elpiji 3 kilogram hingga 22 persen, serta meningkatkan cukai rokok menjadi 23 persen.
Inflasi diproyeksikan kisaran 3,39 persen.
Kenaikan beberapa komponen harga yang diatur pemerintah akan dibarengi tren penurunan harga energi dan pangan internasional. Tren inflasi di sejumlah negara juga bergerak rendah karena tekanan eksternal cenderung minim. Kondisi ini menguntungkan Indonesia. ”Secara keseluruhan risiko inflasi 2020 cukup seimbang. Inflasi diproyeksikan kisaran 3,39 persen,” ujarnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menambahkan, kenaikan inflasi tahun 2020 masih dalam batas aman karena kondisi pasar global cenderung stabil. Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, memberi sinyal pelonggaran kebijakan moneter tetap berlanjut pada 2020.
Di sisi lain, kenaikan inflasi akan diimbangi beberapa faktor pendorong pertumbuhan ekonomi domestik, seperti kenaikan harga komoditas sawit dan batubara, kenaikan penyaluran bantuan sosial, serta kenaikan upah minimum provinsi sebesar 8,5 persen.