PUISI
Triyanto Triwikromo
asal usul
“apakah kau pernah memperkarakan asal usulmu?” tanyaku kepadamu, “pernahkah sungai bilang, ‘akulah ibu sekaligus ayahmu?’”
“pernahkah kau memperkarakan tangismu?”
tanyamu, “pernahkah salju bilang, ‘akulah muasal
ratapanmu. akulah muasal rintihanmu?’”
“aku tahu kau tidak pernah memperkarakan mimpimu. aku tahu bukit-bukit tak pernah bilang,
‘di tubuhkulah kau disalib oleh para pendosa.’ aku tahu kau tidak pernah memperkarakan doa-doa yang kaulantunkan di taman. aku tahu siapa pun bilang, ‘ia memang tak memperkarakan apa pun sepanjang tahun.’”
setelah gempa itu
“jadi kau lebih mencintai keheningan?”
“aku lebih mencintai kabut.”
“kabut di antara gunung dan hantu?”
“kabut di antara laut dan rautmu.”
“dan kau berada di mana saat itu?”
“aku di antara burung-burung berisik dan
pohon-pohon yang tumbang setelah gempa itu.”
mengembara bersama
“mungkin kita perlu mengembara bersama,”
katamu, “mengembara ke gua-gua yang belum pernah dicari. ke mimpi-mimpi yang belum bisa dimaknai.
ke bulan-bulan yang terselip di rumpun bambu. mungkin ke hutan-hutan penuh gelatik. ke padang-padang penuh oasis atau hanya berdiri di bawah pepohonan saat hujan berusaha menenggelamkan perahu nuh.”
kehijauan kiamat
“mengapa kau mempercakapkan tentang kapal dan hujan?”
“karena di surga tak ada kapal dan hujan.”
“mengapa tidak kita bicarakan adam dan ular berbisa?”
“karena kita tak lagi berurusan dengan iblis. karena kita hanya akan melihat gunung berzikir dan nuh melupakan kehijauan kiamat dan kesetiaan.”
hanya menjadi iguana
dan aku hanya kelelawar yang tersesat di pohon-pohon putih berduri. aku satwa yang ingin menjulurkan lidah untuk menjangkau keindahan gerimis. aku hewan kecil yang membayangkan menjadi buaya tetapi justru hanya menjadi iguana. aku dimangsa makhluk-makhluk ganas dari gua terlarang.
dan kau hanya bilang, “belajarlah menangis pada manusia purba. belajarlah meratap pada pohon-pohon yang memberi rezeki pada nenek moyangmu. belajarlah mengungkapkan rasa pedih pada daun-daun yang membusuk di laut. belajarlah merintih pada ikan-ikan yang tak pernah berdusta dan menghujat cahaya di kegelapan kapal.”
hanya
“kaulah yang menciptakan kematian,” katamu,
“bukan aku. kaulah yang dari ujung cahaya memandu keranda-keranda besar menyongsong kematianku.”
“juga tak pernah kuciptakan makam di balik gunung. tak pernah kulahirkan dongeng-dongeng tentang pembunuhan,” katamu lagi, “tak pernah kugelegakkan syahwat pembantaian di medan pertempuranmu.”
“kau takut pada kematian?”
“aku tak pernah takut pada kematian.”
“karena kau merasa tak akan mati?”
“karena aku tak pernah mau berurusan
dengan kematian.”
“jangan sok digdaya.”
“aku tak pernah merasa perkasa.”
“jangan sok suci.”
“aku tak pernah merasa suci. aku hanya burung.
aku hanya embun. aku hanya daun-daun.”
telah pukul 23.17
telah pukul 23.17 saat aku belajar memahami sayatan suaramu. telah pukul 23.17 dan kau masih melantunkan semacam sabda sesat semacam fatwa tanpa kitab. telah pukul 23.17 dan aku masih berharap ada suara burung di taman-taman kota tanpa lampu tanpa satwa aneh yang mengganggumu
dan aku selalu mengenang apa pun yang terjadi pada pukul 23.17. mengenang kalimat-kalimat busuk yang diucapkan para pertapa sebelum mereka
berteriak-teriak di pasar dan bilang, “tuhan tak pernah mati. nabi tak pernah mati. kalianlah yang bakal mati satu dua jam lagi.”
dan aku masih sibuk pada pukul 23.17. masih menghitung jarak antara dunia dan surga. menghitung beda urat daun di pohon-pohon yang telah diberi nama oleh adam dari urat kertas di kitab-kitab yang hendak dibakar oleh para firaun. juga masih menghapus ingatan atas doa-doa yang salah. masih meletakkan klausa cinta di kalimat-kalimat penuh kebencian. mungkin telah pukul 23.17 juga saat kau menghardik, “bacalah sakitku dan setelah itu tidurlah di ranjang terakhirmu.”
aku tak mau tidur pada pukul 23.17
serupa badak
selalu kau bilang aku hanyalah gurun luas
yang tak pernah mengenal unta-unta yang mencari oasis. selalu kaubilang aku hanyalah pasir yang diterbangkan angin dan tak pernah bertemu dengan para nabi yang berjalan tergesa-gesa ke arah matahari terbenam. selalu kaubilang aku hanyalah ular berbisa yang tak pernah mampu membunuh siapa pun yang berteriak-teriak memanggili namamu di keheningan
siapakah aku sesungguhnya? apakah aku anjing di dalam cermin retak atau sapi tua di jalan kecil menuju kuil? jangan-jangan aku cermin para penyihir.
jangan-jangan aku racun para pembunuh.
jangan-jangan aku huruf tak terbaca di lontar-lontar berlumur bisa kalajengking. jangan-jangan aku senyap yang dipatuk oleh burung-burung bersayap hijau yang hampir mati setelah dihajar batu dari ketapel anak-anak kecil sehabis bermain sepak bola di bawah hujan dan kilat halilintar.
“ah, kau mungkin hanya sebuah akar,” katamu,
“akar gerimis yang tumbuh dari tanah basah dan terus tumbuh menembus langit hijau.”
salah, kataku, aku mungkin serupa tapir. aku
mungkin serupa badak.
kekasih
kekasih? siapakah kekasih? apakah ia debu
yang mengabur di padang ilalang?
apakah ia nisan kecil di keheningan makam
massal?
mungkin ia setetes embun di gemuruh
gelombang samudra
mungkin ia denting uang logam di keriuhan
pasar
barangkali ia mata buta di tubuh perempuan
bergaun hijau yang mengajakku mencari mata air di padang
rumput
barangkali ia telinga tuli di tubuh penjahat
sangar yang menodongkan pistol dan memintaku
menyanyikan lagu-lagu perjuangan
kupikir kekasih adalah sumur tua. teka-teki yang menyimpan wajahku. ufuk gelap yang menyedot
kisah-kisah kecilku sebagai boneka
kadang-kadang kekasih adalah ranjang merah.
kapal pesiar tanpa penumpang lain. tanpa satwa-satwa pilihan
kekasih bukan ombak. bukan badai. bukan
tsunami
kekasih bukan poster. bukan spanduk. bukan
reklame liar di jalan-jalan
“sesungguhnya kau boleh menyebut ia sebagai
kamar mandi,” katamu, “kau boleh membasuh
dan menyucikan mayatmu di keheningan matannya.”
“apakah ia boleh kusebut sebagai perahu?”
kataku, “apakah aku boleh bersamanya berlayar mencari arah kiblat yang selalu berubah sepanjang hayat?”
“kau hanya boleh menyebutnya sebagai
pengembara,” kata ular, “ia akan selalu meninggalkanmu
dan pergi ke negeri-negeri yang jauh.”
“ke negeri kosong?”
“kadang-kadang ke negeri kosong.”
“sendirian?”
“selalu sendirian.”
“ia pernah sakit?”
“ia selalu sakit.”
Triyanto Triwikromo
menulis buku puisi
Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015) dan
Kitab Para Pencibir (2017).