Solusi Banjir Tidak Tuntas
Sejumlah rencana pemerintah untuk mengurangi banjir di Jabodetabek tak terselesaikan. Sebagian rencana terhenti di tengah jalan. Saat terjadi banjir lagi, muncul rencana baru.
JAKARTA, KOMPAS— Pemerintah pusat menyiapkan sejumlah upaya untuk mencegah banjir di Jabodetabek. Upaya tersebut antara lain membangun bendungan di kawasan hulu, yakni Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor. Selain itu, juga disiapkan normalisasi sungai dan pembangunan sodetan di kawasan hilir.
”Sodetan di Kali Ciliwung ini akan signifikan untuk mengurangi volume air. Beban Kali Ciliwung akan semakin ringan,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono pada Jumat (3/1/2020) seusai rapat terbatas khusus membahas bencana alam yang digelar tertutup di Istana Merdeka, Jakarta. Rapat dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.
Dari rencana pembangunan 1,2 kilometer sodetan, baru 600 meter yang terbangun. Pembangunan sodetan belum bisa dilanjutkan karena terkendala pembebasan lahan. Basuki menegaskan, jika pembebasan lahan selesai dilakukan Pemerintah Provinsi DKI, pemerintah pusat membutuhkan enam
bulan untuk menyelesaikan pembangunan sodetan.
Dari penelusuran Kompas, pasca-banjir Jabodetabek tahun 2007, muncul sejumlah kebijakan, baik berupa regulasi maupun pembangunan infrastruktur. Dihasilkan pula Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Salah satu bagiannya mengatur penyediaan ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari luas wilayah. Sayangnya, penerapan aturan di lapangan berjalan tidak sesuai harapan.
Pada tahun yang sama, mengemuka lagi rencana pembangun minimal 200 situ di antara Bogor dan Jakarta, Bendung Ciawi seluas 200 hektar di Bogor, normalisasi sungai, serta pembangunan kanal timur. Dari sejumlah rencana itu, ternyata baru kanal timur yang selesai pada 2010.
Kesiapsiagaan
Dalam rapat terbatas, Presiden Jokowi meminta gubernur, bupati, dan wali kota meningkatkan kesiapsiagaan.
Berdasarkan prediksi BMKG, puncak musim hujan terjadi pada Februari. Hujan lebat hingga ekstrem berpeluang melanda sampai dua hari ke depan.
Pada banjir awal tahun 2020 ini, korban tewas akibat banjir, baik langsung maupun tidak langsung, bertambah. Terakhir, enam orang tewas di Jakarta Timur, Kamis. Satu keluarga yang terdiri atas empat orang meninggal diduga karena keracunan asap genset, sedangkan dua orang lainnya meninggal dalam kebakaran yang diduga akibat nyala lilin.
Dalam tiga hari banjir di Jabodetabek, 1-3 Januari, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendata total 43 orang tewas.
Sebagai perbandingan, pada banjir Jabodetabek selama 10 hari, yakni 31 Januari-9 Februari 2007, Bakornas dan Departemen Sosial mencatat, 79 korban jiwa, 1 orang hilang, dan ratusan ribu orang mengungsi.
Hingga Jumat siang, PLN menyalakan 87 persen dari total 5.744 gardu distribusi yang dipadamkan karena banjir. Sisanya, 743 gardu, masih padam menunggu kawasan bersih dari banjir.
Sementara itu, ribuan warga yang terdampak longsor di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (3/1), kekurangan makanan, minuman, dan obat- obatan. Di Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya, yang terdampak longsor, dapur umum yang dibuka karang taruna tak bisa beroperasi secara optimal lantaran keterbatasan personel dan bahan bakar.
Di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Jumat pagi, banjir bandang menerjang permukiman. Empat orang tewas, delapan luka-luka, dan puluhan rumah rusak. Lebih dari 100 keluarga mengungsi, sementara ratusan warga lainnya terisolasi karena jembatan rusak.
Perbaikan lingkungan
Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, curah hujan yang tinggi bukan penyebab utama banjir dan longsor. Penyebab utama bencana adalah kerusakan tutupan vegetasi karena peralihan lahan menjadi permukiman dan pertambangan.
”Teknologi, seperti modifikasi cuaca, memang sangat membantu mengurangi curah hujan. Namun, kejadian banjir yang terjadi sekarang seharusnya menjadi peringatan masyarakat agar dalam melakukan kegiatan usaha tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan,” kata Doni.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, siklus curah hujan yang tinggi kini memendek. ”Biasanya curah hujan ekstrem terjadi pada periode 10 tahunan, kini hal itu bisa terjadi hanya kurang dari lima tahun. Artinya, ada indikasi perubahan lingkungan yang kemudian memicu perubahan iklim,” ucapnya.
Kemarin, teknologi modifikasi cuaca (TMC) mulai dimanfaatkan sebagai upaya mitigasi bencana banjir dan longsor di Jabodetabek. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Hammam Riza mengatakan, teknologi ini bertujuan mengurangi curah hujan di kawasan Jabodetabek.
(NTA/SYA/OKA/HLN/JOG/IDO/VAN/DIV/NIA/BOW/SHR/DAN/TAN/AIK/XTI)