Seorang duta besar menulis dalam sebuah grup Whatsapp yang saya ikuti. Dia menulis begini, ”Instead blaming the darkness, light a candle”. Ia mengutip Benjamin Franklin.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·3 menit baca
Seorang duta besar menulis dalam sebuah grup Whatsapp yang saya ikuti. Dia menulis begini, ”Instead blaming the darkness, light a candle”. Ia mengutip Benjamin Franklin. Ia merespons ”perang” narasi dalam grup ataupun dalam media sosial mengenai banjir di Jakarta dan sekitarnya. Duta besar itu menulis akan lebih bijak membantu sesama korban banjir daripada saling menyalahkan antar-elite politik. ”Setelah banjirnya lewat, mari kita kritik kebijakannya,” tulisnya.
Fajar dekade baru 2020 terasa begitu berat. Optimisme yang coba diembuskan meredup. Mood rusak. Ekonomi terdampak. Hujan dengan curah hujan ekstrem menggenangi Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan wilayah lain. Sebagian wilayah terisolasi. Banjir pun dengan cepat memasuki ruang politik. Minimal dalam ruang-ruang percakapan di media sosial.
Politik kontestasi, Pilkada Jakarta, ternyata belum usai. Polarisasi nyata di masyarakat. Residu pilkada yang panas, yang memanfaatkan sentimen agama, ternyata belum bisa dipulihkan. Ini pelajaran berharga. Ada kelompok pemuja berlebihan. Ada kelompok pembenci yang juga berlebihan. Kekuatan tengah yang seharusnya bekerja mengawal rasionalitas ikut terjebak, meski ada juga yang bergerak menggalang solidaritas.
Tampaknya bangsa ini memasuki era berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus. Saling sindir atau saling tanggap antarpemimpin terjadi. Ketika Presiden Joko Widodo menyebut ada kerusakan ekologi dan kebiasaan membuang sampah menjadi salah satu penyebab banjir, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun merespons seperti dikutip Tempo.co. ”Di Halim itu setahu saya enggak banyak sampah, tapi bandaranya kemarin tak bisa berfungsi. Apakah ada sampah di bandara, rasanya tidak.” Bandara Halim memang ikut terendam. Penerbangan dihentikan.
Bencana itu selalu in between. Pernah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi lagi. Sejarah mengajarkan itu. Catatan Ahmad Arif berjudul ”Gagal Atasi Banjir”, Kompas, 3 Januari 2020, memberikan gambaran tiga tahun sejak Jan Pieterszoon Coen membangun Batavia di muara Sungai Ciliwung, pada tahun 1621 banjir melanda Batavia. Serial banjir terus terjadi pada 1895, 1899, 1904, 1909. Pemerintah kolonial dianggap gagal menangani banjir.
Penguasa datang silih berganti, tetapi banjir tetap saja lestari. Dalam memori Pusat Informasi Kompas (PIK), lima dekade terakhir, karikaturis GM Sudarta mengimajinasikan rumah dan mobil yang tepat untuk Jakarta. Karikatur yang dimuat Harian Kompas, 13 Februari 1970, itu menggambarkan rumah terapung di atas genangan air. Rumah berdampingan dengan perahu dan orang memancing. Mobil pun dirancang dengan knalpot menjulang ke atas antiair. Itu 50 tahun lalu.
Dalam Harian Kompas, 26 Agustus 1967, ada judul begini, ”Bandjir Masih Mengantjam Ibu Kota-Bangunan Liar di Tanggul dan Tepi Sungai jadi Sumber Bentjana”. Kemudian, 10 Januari 1970, Harian Kompas menulis di halaman muka, ”Hampir Duapertiga Ibukota Tergenang Air.” Situasinya tak banyak berubah.
Sejarawan Arnold J Toynbee menulis challenge and response. Setiap ada tantangan selalu ada tanggapan. Begitu seharusnya sebuah bangsa pembelajar (learning nation). Namun, ketika respons politik yang diberikan, bencana pun akan lestari. Ketika semuanya terlalu fokus pada politik kontestasi, memoles citra diri, bencana pun akan datang lagi. Padahal yang dibutuhkan adalah konsistensi kebijakan mengatasi banjir dan pelaksanaannya. Banjir adalah ancaman nyata bagi Jakarta dan sekitarnya. Kesetiaan pada tata ruang, penataan kawasan hulu, konsep pengelolaan 13 daerah aliran sungai, serta pembuatan waduk dan embung yang sering didiskusikan saat banjir terjadi perlu direalisasikan. Butuh peta jalan. Jangan ketika banjir pergi, diskusi sepi, sampai kemudian kembali terjadi banjir dan bangsa ini mendiskusikan hal yang sama. Saatnya kita tak hanya berpikir soal politik kekuasaan, melainkan politik lingkungan. Bukan hanya soal democracy, tetapi ecocracy.