Semenjak revolusi Iran tahun 1979, Iran dan Amerika Serikat tampaknya sudah ditakdirkan menjadi musuh bebuyutan. Perbedaan ideologi dan visi antara Iran dan AS membuat kedua negara menjadi sulit mendapat titik temu.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
Tewasnya tokoh militer Iran, Qassem Soleimani, oleh serangan rudal AS seolah membuka kotak terlarang, tindakan yang melampaui batas. Peristiwa itu memicu kemarahan Iran yang menempatkan AS dan sekutunya pada posisi berbahaya dan menyulut konflik terbuka.
Semenjak revolusi Iran tahun 1979, Iran dan Amerika Serikat tampaknya sudah ditakdirkan menjadi musuh bebuyutan. Perbedaan ideologi dan visi antara Iran dan AS membuat kedua negara menjadi sulit mendapat titik temu.
Jika sempat ada titik temu kepentingan, sangat hanya sementara. AS-Iran pernah ada titik temu kepentingan ketika perang pembebasan Kuwait atau Perang Teluk II tahun 1991. AS-Iran saat itu satu sikap, yaitu menolak pendudukan Irak di Kuwait. Namun, setelah itu, AS-Iran pecah lagi.
AS-Iran kembali mencapai titik temu kepentingan ketika invasi AS ke Irak untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein tahun 2003. Iran mendukung invasi AS ke Irak itu, tetapi setelah itu kembali pecah.
AS-Iran menemukan titik temu lagi ketika melawan Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Irak dan Suriah tahun 2017-2018, tetapi setelah itu pecah kongsi lagi.
Kini AS-Iran tengah kembali menuju konflik senjata terbuka pasca-tewasnya dua komandan elite militer Iran dan loyalisnya, yakni Mayjen Qassem Soleimani dan Jamal Jaafar Ibrahimi alias Abu Mahdi al-Mohandis, oleh serangkaian serangan rudal AS dekat bandar udara internasional Baghdad, Jumat (3/1/2020).
Soleimani menjabat Komandan Brigade Al-Quds, yakni unit elite di jajaran Garda Revolusi Iran yang memiliki tugas melaksanakan misi revolusi Iran dan bertanggung jawab atas pengembangan pengaruh Iran di mancanegara.
Adapun Mohandis menjabat wakil pemimpin milisi Hashed al-Shaabi, yakni kaukus milisi loyalis Iran di Irak yang kini menjadi kekuatan militer terkuat di negara itu dan memiliki popularitas sangat tinggi di Irak pasca-berperan besar mengalahkan NIIS. Mohandis juga komandan brigade Hezbollah Irak yang merupakan unit paling radikal dan elite dalam tubuh milisi Hashed al-Shaabi.
Brigade Al-Quds dan milisi Hashed al-Shaabi adalah dua kekuatan militer andalan Iran dalam pertarungan geopolitik di Timur Tengah saat ini. Sesungguhnya Brigade Hezbollah Irak yang bertanggung jawab atas berbagai serangan terhadap kepentingan AS di Irak terakhir ini. Mohandis dikenal sebagai tangan kanan dan kesayangan Soleimani.
Balas dendam
Karena itu, Iran dan loyalisnya di mana pun di muka bumi ini dipastikan akan melancarkan aksi balas dendam atas tewasnya tokoh militer sekelas Soleimani dan Mohandis.
Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, Presiden Iran Hassan Rouhani, dan Menteri Pertahanan Iran Amir Hatami pun berjanji akan melancarkan aksi balas dendam.
Rakyat Iran pun mengamininya. Bahkan, Dewan Keamanan Nasional Iran dalam sidangnya hari Jumat lalu memutuskan akan melancarkan aksi balas dendam di mana pun, tidak terikat di tempat tertentu.
Dengan demikian, masalah aksi balas dendam atas tewasnya Soleimani dan Mohandis merupakan kesepakatan nasional Iran saat ini. Kini hanya menunggu waktu dan model aksi serangan balasan Iran dan loyalisnya, cepat atau lambat, yang secara militer—saat ini—di Timur Tengah berada di atas angin.
Dukungan kuat
Loyalis Iran di Yaman, kelompok Houthi, kini makin mengontrol ibu kota Sana’a, bahkan lebih sering mengambil inisiatif menyerang berbagai sasaran di Arab Saudi dengan rudal ataupun pesawat tanpa awak.
Loyalis Iran di Lebanon, Hezbollah, juga sedang kuat secara politik ataupun militer. Di Suriah, rezim Presiden Bashar al-Assad yang pro-Iran hampir memenangi perang saudara di negara itu. Hamas dan Jihad Islami yang pro-Iran mengontrol Jalur Gaza. Iran sendiri—secara politik dan militer—mengontrol Irak melalui milisi Hashed al-Shaabi dan partai-partai politik pro Iran.
Maka, dengan mudah, setiap saat, loyalis Iran di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman mengambil inisiatif menyerang basis AS di wilayah itu, di Teluk, bahkan di mana pun juga.
Aksi
Meski demikian, Iran tidak akan mendeklarasikan perang terbuka terhadap AS karena keterpautan teknologi militer sangat jauh antara Iran dan AS. Tindakan Iran mendeklarasikan perang terbuka sama saja dengan bunuh diri dan bisa berakhir dengan ambruknya rezim para Mullah di Teheran.
Namun, banyak opsi lain yang menjadi pilihan Iran dan loyalisnya, seperti serangan bunuh diri, serangan drone dan rudal terhadap kamp militer AS atau kepentingan AS dan sekutunya di mana pun.
Loyalis Iran memiliki pengalaman kuat dalam aksi serangan bunuh diri, seperti serangan bunuh diri yang dilakukan anggota Hezbollah atas kamp marinir AS di Beirut tahun 1983 yang menewaskan 241 orang atau serangan atas kamp militer AS di Dhahran, Arab Saudi, tahun 1996 yang menewaskan 19 orang.
Loyalis Iran juga punya pengalaman sukses melancarkan serangan menggunakan drone dan rudal atas kilang minyak Aramco di Abqaiq dan Khurais, 14 September 2019.
Model serangan atas kamp militer AS di Beirut tahun 1983 dan di Dhahran tahun 1996, serta kilang minyak Aramco pada 14 September 2019, kemungkinan besar akan menjadi opsi Iran dan loyalisnya.
Sebaliknya, AS dan sekutunya, seperti Israel, Arab Saudi, dan Bahrain, tentu sudah punya kalkulasi atas kemungkinan balasan dari Iran.
Karena itu, AS pekan ini bergegas mengirim 3.000 anggota pasukan elite gerak cepat dari Divisi Linud 82 yang memiliki spesialis perang gurun ke Timur Tengah. Pasukan itu memiliki segudang pengalaman tempur, termasuk perang pembebasan Kuwait tahun 1991 dan invasi AS ke Irak tahun 2003.
Sebelumnya, pasca-serangan atas kantor Kedubes AS di Baghdad hari Rabu lalu, AS telah mengirim 750 anggota pasukan ke Kuwait untuk memperkuat sekitar 14.000 personel AS yang telah dikirim beberapa bulan terakhir ini ke Timur Tengah.
Diperkirakan pasukan AS yang tersebar di Timur Tengah saat ini mencapai 60.000 personel. Jika eskalasi ketegangan AS-Iran terus meningkat, AS kemungkinan besar akan terus mengirim pasukan tambahan ke Timur Tengah.