Waspada KLB Leptospirosis, Hindari Kontak Langsung dengan Banjir
Seiring dengan meningkatnya intensitas curah hujan di sebagian besar wilayah di Indonesia, potensi terjadi kejadian luar biasa penyakit leptospiroris semakin besar. Kewaspadaan terhadap penyakit ini perlu ditingkatkan.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring dengan meningkatnya intensitas curah hujan di sebagian besar wilayah di Indonesia, potensi terjadi kejadian luar biasa penyakit leptospiroris pun semakin besar. Untuk itu, kewaspadaan terhadap penyakit ini perlu ditingkatkan karena bakteri leptospira dari urine hewan yang terinfeksi bisa terbawa dari banjir atau genangan air.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, di Jakarta, Minggu (5/1/2020), menuturkan, surat edaran tentang Kewaspadaan KLB Leptospirosis telah diterbitkan dan diteruskan kepada seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Hal ini merujuk pada kasus leptospirosis yang terus meningkat di sejumlah daerah, terutama saat musim hujan tiba.
”Leptospirosis secara epidemiologis terjadi di hampir semua daerah di Indonesia karena semua daerah di Indonesia punya tikus sebagai inang atau host dari kuman leptospira. Dikhawatirkan bisa berpotensi terjadi kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis,” katanya.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus leptospirosis cenderung meningkat setiap tahun. Dilaporkan, pada 2016 terdapat 830 kasus dengan 61 kematian akibat penyakit ini. Jumlah ini meningkat pada 2017 menjadi 940 kasus dengan 236 kematian dan pada 2018 terlapor ada 894 kasus dengan 150 kematian.
Sementara itu, hingga Oktober 2019, tercatat sembilan provinsi telah melaporkan adanya peningkatan kasus leptospirosis dengan total kasus sebanyak 686 dengan 110 kematian. Adapun laju kematian (case fatality rate/ CFR) sebesar 16 persen tercatat di wilayah Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Maluku, dan Sulawesi Selatan.
Anung mengatakan, bakteri leptospira biasanya dibawa oleh hewan liar ataupun peliharaan, seperti tikus, babi, anjing, dan sapi. Bakteri ini ada pada ginjal binatang dan menyebar melalui urine sehingga bisa ditemukan dalam banjir dan genangan air.
”Kalau terjadi banjir atau ada genangan air, kuman leptospira yang ada pada kencing tikus berpotensi terbawa air tersebut. Apabila kulit kita ada luka dan terjadi kontak dengan air itu, leptospira bisa masuk ke tubuh manusia, di samping masuknya juga bisa lewat lendir atau mukosa tubuh,” tuturnya.
Menurut Anung, antisipasi yang paling utama untuk dilakukan adalah menghindari kontak langsung dengan banjir ataupun genangan serta tidak bermain air kotor saat banjir.
Anung mengatakan, jika terpaksa harus melakukan aktivitas di tengah banjir, masyarakat diimbau agar mengenakan pelindung diri, seperti sepatu bot, sarung tangan karet, dan kacamata pelindung agar tidak tepercik air. Segera cuci tangan dan kaki dengan sabun serta air mengalir setelah melakukan aktivitas di genangan air.
Praktisi klinis, Ari Fahrial Syam, yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menambahkan, masyarakat diharapkan segera memeriksakan diri ke petugas kesehatan jika ditemukan gejala penularan leptospirosis.
Gejala yang bisa timbul adalah demam tinggi mendadak, sakit kepala, mual muntah, lemas, dan nyeri otot, terutama pada otot betis. Selain itu, gejala lain seperti mata merah, kulit menjadi kekuningan, dan air kencing berwarna pekat seperti air teh.
”Penyakit leptospirosis sangat berbahaya jika tidak segera diatasi. Penyakit ini bisa berlanjut dengan berbagai komplikasi, antara lain kerusakan ginjal serta peradangan pada pankreas, liver, paru, dan otak. Deteksi dini menjadi penting, tetapi banyak masyarakat dan tenaga kesehatan kurang mewaspadai penyakit ini karena gejalanya mirip dengan infeksi hepatitis virus dan demam tifoid,” kata Ari.