2019, Banjir Ekskavasi di Jawa Timur
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, sepanjang tahun 2019 mengekskavasi setidaknya sembilan situs purba di beberapa daerah.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, sepanjang tahun 2019 mengekskavasi setidaknya sembilan situs purba di beberapa daerah. Hasil ekskavasi itu, selain menarik perhatian khalayak, juga turut membuka cakrawala dan khazanah kepurbakalaan di provinsi paling timur di Pulau Jawa tersebut.
Beberapa warga Desa Pendem, Kecamatan Junrejo, Batu, Jawa Timur, Minggu (15/12/2019) pagi, menebang pohon kelapa di pinggir makam keluarga. Di sela-sela aktivitas itu, mereka menyempatkan diri melongok Situs Pendem di kompleks makam itu. Situs itu baru selesai diekskavasi.
”Orang dulu kalau buat batu bata bagus, ya, tidak seperti batu bata zaman sekarang. Cepat rusak,” kata salah satu warga. Lalu, muncul pertanyaan dari warga lain. ”Habis ini apa yang dilakukan, Mas? Apakah ekskavasi sudah selesai?” Itu belum selesai. Masih ada juga yang menanyakan tahun pembuatannya. Rentetan pertanyaan itu mereka lontarkan kepada Kompas yang sedang mengabadikan sekali lagi hasil ekskavasi. Rasa ingin tahu muncul di antara warga.
Tiga hari itu, 12-14 Desember, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, membuka enam kotak ekskavasi di tempat itu. Hasilnya terlihat struktur empat lapis batu bata sepanjang 6,18 meter dengan ketebalan 84 sentimeter (cm). Struktur batu bata yang disusun dengan spesi tanah liat itu memiliki orientasi membentang arah utara selatan.
Hipotesa sementara, struktur yang tampak itu merupakan sudut pintu masuk sisi barat bangunan mandapa (pelataran) yang diduga berbentuk persegi empat. Dua buah koin tembaga—ditemukan pada kedalaman 60 cm—masing-masing bertuliskan ”Nederland Indie 1825” dan ”Java 1810”. Itu menguatkan dugaan bahwa Situs Pendem pada tahun 1800-an masih berada di atas permukaan tanah.
Dari sisi ukuran, batu bata di Situs Pendem memiliki dimensi 35 cm x 25 cm x 9 cm. Ukuran batu bata ini lebih besar dari temuan batu bata masa Majapahit di Situs Trowulan (Mojokerto) yang memiliki dimensi 30-32 cm x 18 cm x 6-7 cm. ”Batu bata Situs Pendem mirip batu bata yang ditemukan di Situs Sekaran di Desa Sekarpuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang yang diekskavasi Maret lalu,” ujar arkeolog BPCB Jawa Timur Wicaksono Dwi Nugroho yang memimpin ekskavasi.
Situs Pendem ditemukan Anton Adiwibowi (42), salah satu warga, yang hendak menanam pohon alpukat di tanah kosong di dekat makam keluarganya. Temuan tiga pekan lalu itu kemudian dilaporkan ke pemerintah desa. ”Awalnya, saya menggali tanah untuk menanam alpukat. Saat menggali tanah, saya mendapati struktur batu bata,” tutur Anton.
Selain Pendem, tahun ini BPCB mengekskavasi sejumlah situs di Jawa Timur. Ada yang berupa ekskavasi lanjutan, tetapi ada pula yang baru kali pertama. Hasil kegiatan ini memberi perspektif baru, baik menyangkut wacana yang berhubungan dengan situs itu maupun data arkeologis yang memperkaya keberadaannya.
Wicaksono membenarkan bahwa hasil ekskavasi tahun ini banyak menambah wacana dan interpretasi terhadap kesejarahan yang ada. Perkembangan lain yang membedakan dengan aktivitas pada tahun-tahun sebelumnya adalah koordinasi dengan pemerintah daerah yang tahun ini lebih baik.
Situs yang diekskavasi selama 2019 antara lain Situs Pataan di Desa Pataan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan; Situs Sumbergayu di Desa Klurahan, Kecamatan Ngronggot, Nganjuk; Situs Sumberbeji, di Desa Kesamben, Ngoro, Jombang; dan Arca Ganesha Gimbal di Desa Bangsri, Ngariboyo, Magetan.
Selain itu, ada Arca Garuda di Desa Manjung, Panekan, Magetan; Situs Kumitir di Desa Kumitir, Jatirejo, Mojokerto; Situs Sekaran yang ditemukan saat pembangunan Jalan Tol Pandaan-Malang Seksi V di Malang; dan Situs Rondokuning di Songgokerto, Batu.
Situs lainnya adalah Candi Gedog di Sananwetan, Blitar, yang disebut-sebut dalam buku History of Java oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles pada abad ke-19 hingga perahu baja buatan Amerika di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo di Lamongan yang merupakan tinggalan Perang Dunia II.
Situs Pataan, misalnya, hasil ekskavasi ketiga yang dilakukan BPCB Jawa Timur tahun ini semakin meneguhkan bahwa itu bangunan wihara yang ada kaitannya dengan Airlangga, sekitar abad ke-10. Dua ekskavasi sebelumnya dilakukan tahun 2013 dan 2018. ”Situs Pataan di Lamongan ini mengubah hipotesa sebelumnya yang menyatakan di Lamongan tidak ada candi. Ternyata faktanya kemudian ada,” kata Wicaksono.
Situs lain adalah Arca Garuda di tengah lahan persawahan di Desa Manjung. Batu itu sudah lama diketahui oleh masyarakat. Namun, mereka tidak tahu bahwa batu itu merupakan arca yang dilengkapi angka tahun 1177 Masehi atau semasa dengan Kerajaan Kediri.
Masa keemasan
Pertanyaan yang mengemuka kemudian, apakah benar masa keemasan Kerajaan Kediri sampai ke wilayah Magetan yang lokasinya cukup jauh? BPCB Jawa Timur pun berencana mengeksplorasi lagi arca itu pada tahun 2020.
Yang tidak kalah menarik perhatian adalah penemuan Situs Sekaran. Keberadaannya di jalur jalan tol sempat membuat pihak Jasa Marga harus menggeser trase jalan sedikit menjauhi situs yang diperkirakan dibangun pada masa sebelum Majapahit atau tepatnya di masa Singhasari.
Sekaran sendiri diperkarakan merupakan sebuah perkampungan yang berasal dari batu bata di luar wilayah kawasan Singhasari (sekarang Singosari dan menjadi wilayah kecamatan di Kabupaten Malang). Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Kabinet Kerja Muhadjir Effendi, saat itu, sempat meninjau lokasi dan menyatakan situs ini bisa menjadi referensi baru pendidikan sejarah dan bisa mengubah teori yang berkaitan dengan sejarah perkembangan Malang dan sekitarnya.
Sekaran juga sempat mengundang keprihatinan komunitas pemerhati budaya di Malang lantaran penanganan yang tak secepat laju pembangunan tol. Kabar terbaru pihak Jasa Marga telah menyiapkan dana Rp 500 juta untuk membangun atap seluas 450 meter persegi (berkurang dari bentangan sebelumnya 700 meter persegi) yang direncanakan diwujudkan awal Januari 2020.
Kegairahan baru
Ekskavasi di Situs Kumitir juga kembali menggairahkan semangat mengeksplorasi kembali Kota Raja Majapahit di Trowulan. Ekskavasi Kumitir yang dilakukan BPCB bersama Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemdikbud mendapati talud kuno sepanjang 200 meter.
”Kami saat ini agak pesimistis (melakukan eksplorasi) di Trowulan karena banyak struktur yang telah dihancurkan oleh pesatnya permukiman,” kata Wicaksono. Temuan di Kumitir itu menggairahkan kembali semangat eksplorasi Kota Raja Majapahit di Trowulan. Bahwa masih ada harapan, tidak semua tinggalan struktur bata di Trowulan habis.
Menurut rencana, tahun 2020 akan dilanjutkan kembali penelitian Situs Kumitir dan Trowulan. Dana dialokasikan Rp 10 miliar. Bukan hanya hasil ekskavasi BPCB Jawa Timur yang setahun terakhir memberi angin segar terkait pelestarian benda cagar budaya. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kemdikbud, Juli lalu, juga menyelesaikan penelitian tahap keempat pada Situs Adan-adan di Desa Adan-adan, Kecamatan Gurah, Kediri. Hasilnya disimpulkan bahwa situs itu merupakan sebuah candi Buddha.
Adan-adan diperkirakan dibuat antara abad ke-11 dan ke-12 pada masa Kerajaan Kediri. Situs ini dibangun satu masa dengan Situs Tondowongo yang berjarak 2 kilometer. Jika Tondowongo bercorak Hindu, Adan-adan bercorak Buddha. Ini menggambarkan bahwa sinkretisme sudah ada di Kediri sejak 10 abad silam.
Melihat banyaknya situs di Jawa Timur dan data baru yang diperoleh dari hasil ekskavasi dan pengkajian, tidak berlebihan kiranya jika muncul anggapan bahwa data masa lalu kini satu per satu muncul kembali ke permukaan.
Arkeolog dan sejarawan Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono, mengatakan, meski skala temuannya tidak besar (kolosal layaknya candi di Jawa Tengah), apa yang diteliti oleh BPCB dan lembaga lain punya nilai penting bagi dunia arkeologi. Meski tidak semua yang diteliti adalah temuan baru (lanjutan) dan kondisinya tidak lagi utuh.
”Kalau Kumitir boleh dikatakan baru dan besar. Situs ini ditemukan saat ada orang menggali tanah untuk batu bata meski tahun sebelumnya sudah ada sebagian yang diangkut dengan truk dan viral. Temuan boleh dikata berpotensi besar meski dari fungsi masih memunculkan perdebatan antara tembok kota atau tanggul,” ujarnya.
Meski tidak besar, menurut Dwi, temuan di Jawa Timur jumlahnya berlimpah, sangat banyak, ukurannya kecil, dan beragam satu sama lain. Tidak ada kesamaan bentuk, fungsi, dan bahan pada temuan situs-situs yang ada. Dwi Cahyono juga mengapresiasi langkah BPCB Jawa Timur yang mulai mengembangkan ekskavasi secara kemitraan, mulai dari pemerintah daerah, perguruan tinggi, hingga komunitas masyarakat, dan warga setempat sebagai sukarelawan.
”Di satu sisi, sukarelawan bisa membantu arkeolog dari BPCB yang tenaganya terbatas. Di sisi lain, langkah ini memberikan edukasi kepada masyarakat. Membuat mereka terlibat yang pada akhirnya bisa ikut menjaga kelestarian peninggalan purbakala,” katanya. Kolaborasi dan kerja sama para pihak merupakan kunci penting menyusun ulang kisah lampau yang memberi inspirasi pada masa depan yang gemilang.