Jumlah gempa di Maluku cenderung terus bertambah setiap tahun. Kesiapsiagaan warga dan pemerintah daerah menentukan seberapa besar dampak gempa yang pasti akan berulang.
AMBON, KOMPAS— Lebih dari 5.100 kali gempa melanda Provinsi Maluku sepanjang 2019. Sebanyak 461 gempa di antaranya dirasakan warga. Masyarakat pun diingatkan bahwa dampak gempa masih akan terulang sehingga para pihak diharapkan bersiap.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Ambon, Minggu (5/1/2020), jumlah gempa itu yang terbanyak sepanjang sejarah pencatatan gempa di Maluku. Tahun-tahun sebelumnya, jumlah gempa dalam satu tahun tidak pernah lebih dari 2.000 kali. Tahun 2015 tercatat 1.210 kali, tahun 2016 (1.222), tahun 2017 (1.392), dan tahun 2018 (1.587). Gempa yang dirasakan berturut-turut 2015-2018 adalah 19 kali, 43 kali, 58 kali, dan 62 kali. Terjadi tren peningkatan setiap tahun.
Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin, Minggu kemarin, mengatakan, tujuh gempa tahun 2019 tergolong merusak dengan kekuatan magnitudo di atas 5,2. Titik gempa terbanyak di Pulau Ambon dan sekitarnya serta Laut Banda. Sebagian besar gempa terjadi di laut. Sebanyak 4.652 titik gempa kedalamannya kurang dari 60 kilometer.
Menurut Andi, tingginya frekuensi gempa itu dipengaruhi beberapa kali gempa kekuatan signifikan. Gempa itu diikuti gempa susulan beruntun lantaran struktur batuan lemah. Contohnya gempa M 6,5 yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya pada 26 September 2019 yang diikuti ribuan kali gempa susulan.
Wilayah Maluku umumnya zona aktif gempa. ”Dari peristiwa itu kita belajar bahwa gempa bisa kapan saja. Kejadian gempa belum dapat diprediksi tepat kapan terjadi dan berapa besar kekuatannya,” kata Andi. Para pihak diharap meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi gempa dan tsunami. Mitigasi menjadi kunci pembangunan, mulai bangunan tahan gempa hingga penguatan sistem peringatan dini. Selain itu, peningkatan kapasitas publik.
Dalam beberapa kali kunjungannya ke Ambon tahun lalu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengingatkan risiko gempa dan tsunami. Ia mengajak masyarakat membangun rumah tahan gempa yang ada dalam kearifan lokal. Masyarakat Maluku mengenal rumah ”bakancing” dari kayu.
Gempa dan tsunami berulang di Maluku dicatat Georg Everhard Rumphius dalam ”De Levensbeschrijving van Rumphius ” yang dialihbahasakan Frans Rijoly. Direkam gempa besar diikuti tsunami di Ambon pada 17 Februari 1674. Naturalis Jerman itu mencatat, lebih kurang 2.300 orang meninggal, termasuk istri dan anaknya.
Sadar bencana
Gempa bermagnitudo 6,5 yang mengguncang Ambon 26 September 2019 menyadarkan banyak orang. ”Mau tidak mau, suka tidak suka, terima tidak terima, kita hidup di daerah gempa. Buat rumah harus tahan gempa, jangan asal-asalan,” kata Fery Lessy (37), warga Desa Liang, 39 km timur Ambon.
Liang terdampak terparah gempa 26 September. Ratusan rumah ambruk. Rumah-rumah itu kebanyakan beton, tetapi tidak ditopang besi kuat. Bahkan, ada rumah yang tidak menggunakan besi sepotong pun. Dari total 41 orang tewas dalam gempa itu, mayoritas tertimpa reruntuhan bangunan. Korban terbanyak berikutnya yang panik saat gempa.
Dari sisi mitigasi bencana, Doni mengajak masyarakat dan pemda kembali menanam dan melestarikan mangrove yang dapat meredam kekuatan dan kecepatan tsunami. Di Kota Ambon, banyak areal hutan mangrove dibabat untuk dibangun hotel dan rumah makan.
Di Malang, Jawa Timur, gempa M 4,8 mengguncang Minggu (5/1/2020) pukul 05.55. Sumber gempanya 66 kilometer barat daya Kabupaten Malang dengan kedalaman 10 km. Gempa tidak berpotensi tsunami.
Kepala BMKG Stasiun Geofisika Karangkates Musripan mengatakan, jika merujuk lokasi dan kedalaman titik gempa, kejadian itu gempa dangkal akibat aktivitas subduksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Guncangan terasa di Malang, Karangkates, Blitar, dan Tulungagung. Juga dirasakan di Sawahan-Nganjuk, Tempursari-Lumajang, Ponorogo, dan Trenggalek. (FRN/WER)