Pembetonan di Jakarta Ikut Memicu Banjir
Membangun infrastruktur dengan fokus menyalurkan air permukaan dari 90 persen area tadi ke ruang terbuka biru, seperti kali, danau, waduk, dan situ, tidak akan cukup untuk menanggulangi banjir Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah membangun infrastruktur dengan fokus menyalurkan air permukaan dari 90 persen area yang tertutup beton ke ruang terbuka biru, seperti kali, danau, waduk, dan situ, tidak akan cukup untuk menanggulangi banjir Jakarta. Sebab, beban yang diterima ruang terbuka biru ini terlalu besar.
Menurut data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hampir 90 persen permukaan tanah Ibu Kota sudah tertutup beton. Karena itu, saat hujan, air permukaan cenderung dialirkan ke ruang terbuka biru.
Berdasarkan perhitungan Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja, luas permukaan Jakarta yang tertutup beton ”hanya” 80 persen, tetapi kemungkinan mendekati 90 persen karena ada area tertutup jalan yang sekitar 5 persen. Selain itu, luas ruang terbuka hijau 9,9 persen, ruang terbuka privat 2 persen, dan ruang terbuka biru (RTB) 3 persen.
Sementara itu, berdasarkan data curah hujan yang mengguyur Jakarta pada 31 Desember 2019, pukul 07.00, sampai 1 Januari 2020, pukul 07.00, Guru Besar Hidrologi Universitas Gadjah Mada Joko Sujono memperkirakan Jakarta menerima 180 juta meter kubik air hujan yang memicu banjir pada tahun baru ini.
”Jadi, bayangkan, air 180 juta meter kubik jatuh di atas permukaan yang hampir 90 persennya tertutup beton, dilimpahkan semua ke ruang terbuka biru dan drainase yang cuma sekitar tiga persen,” tutur Elisa dalam konferensi pers menyikapi banjir Jakarta di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2020).
Baca juga : Akses ke Daerah Terisolasi di Lebak Mulai Terbuka
Konferensi pers dihadiri juga oleh pengacara publik LBH Jakarta Nelson N Simamora, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, dan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi.
Elisa menyayangkan sebagian publik terseret dalam arus perdebatan antara konsep normalisasi sungai ala Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat versus naturalisasi sungai yang digagas Pemprov DKI.
Ia berpendapat, normalisasi sebenarnya bagus karena bertujuan mengembalikan kapasitas tampung sungai, tetapi cara yang dikedepankan Kementerian PUPR, yaitu pembetonan, tidak tepat terutama jika untuk menanggulangi curah hujan ekstrem skala lokal seperti yang jadi pemicu awal banjir Jakarta pada 1 Januari lalu.
Apalagi, jika ditambah datangnya air ”kiriman” dari daerah lain, seperti biasa dialami warga bantaran Kali Ciliwung sewaktu status tinggi muka air di Bendung Katulampa sudah siaga II atau siaga I karena berarti ada air tambahan dari daerah hulu Ciliwung di Bogor.
Normalisasi Ciliwung bisa mengurangi risiko luapan ke daerah sekitar sungai itu, tetapi merugikan daerah lain. Sebab, air dari Ciliwung mengalir ke Kanal Barat, lalu berlanjut ke Cengkareng Drain.
Sementara itu, Cengkareng Drain tidak hanya menerima air dari Kanal Barat, tetapi juga dari sejumlah sumber di Jakarta Barat. Limpahan air dari Ciliwung akan lebih cepat masuk ke Cengkareng Drain dibanding air dari sumber lain di Jakarta Barat, tetapi dampaknya, badan Cengkareng Drain tidak cukup lagi untuk air dari sumber lain ketika hujan lebat turun.
Karena itu, Elisa mendorong perhatian tidak hanya tercurahkan pada isu normalisasi sungai yang merupakan bagian dari tiga persen permukaan Jakarta. Menuntaskan masalah di 80-90 persen permukaan yang tertutup beton saat hujan mengguyur menjadi kunci.
Ia merekomendasikan penerapan kewajiban terhadap pemilik atau pengelola lahan untuk meresapkan atau menahan air permukaan selama mungkin.
Baca juga : Pasang Surut Kebijakan Banjir
Itu sebagai respons terhadap ketelanjuran pelanggaran tata ruang di Jakarta yang mengakibatkan daerah-daerah tangkapan air berubah fungsi. Salah satunya, perubahan besar-besaran di Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang tadinya ruang terbuka hijau berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005 menjadi area untuk fungsi lain, antara lain untuk bisnis dan permukiman.
”Total perubahan lahannya itu sekitar 3.900 hektar. Itu setara dengan luas terbangunnya Bumi Serpong Damai (BSD di Tangerang),” ujar Elisa.
Untuk mulai mendorong pemilik atau pengelola lahan di Jakarta meresapkan atau menahan air selama mungkin, Elisa mengusulkan agar Pemprov DKI membuat skala prioritas. Daerah dengan luas yang masif, seperti kawasan Kelapa Gading, perlu disasar terlebih dahulu.
Selain itu, solusi yang diterapkan juga berbeda antara satu lokasi dan lokasi lain, bergantung karakteristiknya.
Chay Asdak, Ketua Harian Forum DAS Nasional, menuturkan, berbeda dengan wilayah hulu dan tengah yang merupakan wilayah resapan, wilayah utara Jakarta merupakan wilayah coastal atau pesisir. ”Karena itu, kalau di wilayah utara Jakarta akan dibuat sumur resapan, itu tidak akan efektif,” katanya (Kompas.id, 4/1/2020).
Terkait itu, Elisa menyarankan untuk Kelapa Gading tidak menggunakan sumur resapan. Solusi alternatifnya ialah pembuatan tandon air bawah tanah. Saat hujan, air masuk ke tandon itu terlebih dahulu untuk ”parkir” sementara. Setelah dipastikan tidak ada risiko genangan atau banjir di permukaan tanah, air dari tandon dibuang secara bertahap.
Elisa menambahkan, Pemprov DKI tidak boleh lalai memastikan para pengembang memenuhi kewajibannya untuk memastikan pembangunan tidak memicu genangan atau banjir.
Ia mencontohkan, perumahan lawas Sunrise Garden di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, terdampak banjir imbas pembangunan antara lain rumah sakit dan apartemen di sekitarnya yang belum membuat fasilitas pengelolaan air ketika hujan, seperti kolam resapan, sumur resapan, atau ruang terbuka hijau.
Penghuni Sunrise Garden sejak tahun 1978, Gunawan (75), benar-benar merasakan meningkatnya risiko banjir seiring perubahan fungsi lahan. Banjir bermula ketika tempat berkubang kerbau di dekat perumahannya sudah menjadi area terbangun. Setelah itu, berbagai pembangunan berjalan di sekitar perumahan.
Sekitar sepuluh tahun lalu, Gunawan meninggikan rumahnya sampai 30 sentimeter. Jika banjir atau genangan melanda, air hanya merendam jalan dan tidak sampai masuk rumah. ”Sekarang (banjir awal 2020) sudah sampai masuk mobil, air setinggi jok,” ucapnya.
Leonard mengatakan, banjir tahun baru ini merupakan alarm pahit perubahan iklim yang jelas sudah berdampak bagi Jakarta. Namun, karena terjadi di wilayah Ibu Kota, ia berharap segera ada tindakan konkret dari pemerintah pusat dan Pemprov DKI guna memperbaiki kondisi ini.