Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat membentuk Badan Pengelola Perbatasan Daerah. Badan tersebut dibentuk untuk terus mendorong kemajuan perbatasan Indonesia-Malaysia, terutama dari aspek manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat membentuk Badan Pengelola Perbatasan Daerah. Badan tersebut dibentuk untuk terus mendorong kemajuan perbatasan Indonesia-Malaysia, terutama dari aspek manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Senin (6/1/2020), menuturkan, dari sisi infrastruktur, daerah perbatasan sudah bagus beberapa tahun terakhir. Namun, manfaat ekonomi bagi masyarakat dan daerah belum begitu dirasakan. Sebagai pintu ekspor juga belum optimal. ”Pelaksana tugas kepala badan sudah saya tunjuk. Dalam waktu dekat kepala badan dilantik. Kami juga segera membahas masalah perbatasan akhir Januari. Pembahasan langsung di perbatasan sehingga melihat kondisi lapangan,” ujar Sutarmidji.
Badan tersebut bersinergi dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Perbatasan ingin dimaksimalkan menjadi pintu ekspor. Selama ini sudah ada pasar di perbatasan, tetapi belum menggeliat. Padahal, ada prospek bagus karena Kalbar memiliki komoditas unggulan, khususnya minyak sawit mentah (CPO) untuk minyak goreng.
”Ke depan, jangan sampai barang-barang yang sebetulnya bisa diproduksi di daerah malah membeli dari Malaysia. Sebagai contoh, minyak goreng, seharusnya tidak perlu memakai produk luar karena Kalbar produksi minyak sawit mentahnya besar,” ujarnya.
Ke depan, jangan sampai barang-barang yang sebetulnya bisa diproduksi di daerah malah membeli dari Malaysia.
Demi kemajuan perekonomian di perbatasan, Badan Pengelola Perbatasan Daerah perlu terus dievaluasi. Dari sisi perdagangan, masih lebih banyak barang Malaysia masuk ke Indonesia daripada barang Indonesia masuk ke Malaysia.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman menuturkan, Badan Pengelola Perbatasan Daerah dahulu pernah ada. Namun, tidak memiliki kewenangan besar, hanya sebatas fungsi koordinasi. Jika dibentuk lagi, badan tersebut perlu ditambah kewenangannya.
Badan itu perlu kewenangan mutlak untuk seluruh pembangunan di perbatasan, misalnya menyangkut infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Seluruh perencanaan perbatasan hendaknya melalui Badan Pengelola Perbatasan Daerah.
”Meskipun demikian, badan itu tidak bersifat teknis. Pembangunannya tetap dinas-dinas terkait dengan bidangnya. Dengan demikian, Badan Pengelola Perbatasan Daerah memiliki fungsi yang kuat di daerah,” papar Eddy.
Daerah juga tentu tidak bisa hanya berharap pada BNPP karena tanggung jawab BNPP meliputi perbatasan seluruh Indonesia. Badan Pengelola Perbatasan Daerah hendaknya proaktif berkoordinasi dalam proyek APBN agar dana mengalir ke Kalbar dan di mana saja wilayah perbatasan yang memerlukan kucuran dana karena daerah lebih memahami wilayahnya.
Badan Pengelola Perbatasan Daerah tidak hanya merancang pembangunan di perbatasan Kalbar, tetapi juga menyampaikan ke pusat bagian-bagian mana perlu kucuran dana. APBD juga perlu persetujuan badan tersebut untuk seluruh proyek APBD di perbatasan.
”Jika tidak diatur dan dipertegas seperti itu kewenangannya, pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah akan sama saja seperti yang pernah dibentuk. Dahulu badan tersebut tidak begitu jelas kewenangannya,” kata Eddy.
Sutarmijdi menuturkan, Badan Pengelola Perbatasan Daerah terdiri dari bidang pemantauan dan bidang koordinasi perencanaan. Badan Pengelola Perbatasan Daerah lebih leluasa membuat perencanaan dan bisa melakukan eksekusi program pembangunan.
Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalbar terdapat di Kabupaten Sanggau, Bengkayang, Sambas, Sintang, dan Kapuas Hulu, sekitar 900 km. Lima tahun terakhir pembangunan infrastruktur memang sangat gencar dilakukan. Sebagai contoh, wajah Pos Lintas Batas Negara di Entikong dan Badau sudah baik. Begitu juga dengan jalan paralel.
Catatan Kompas, kabupaten yang memiliki wilayah perbatasan terdapat berbagai potensi, misalnya lada. Realisasi saat ini di Kalbar sekitar 8.030 hektar. Dari 8.030 hektar itu, 80 persennya di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia dengan produksi sekitar 4.000 ton per tahun. Saat ini komoditas tersebut memerlukan kebijakan khusus karena harganya terus anjlok.
Thomas (45), petani lada di Entikong, misalnya, berharap ada kebijakan untuk menyelamatkan harga lada yang menjadi tulang punggung masyarakat. Semula lada putih mencapai Rp 180.000 per kg, kini hanya Rp 40.000 per kg. Lada hitam semula Rp 140.000 per kg, menjadi Rp 20.000 per kg.
Wilayah perbatasan juga sebetulnya bisa menjadi pintu ekspor berbagai potensi lainnya di Kalbar, misalnya karet dan minyak sawit mentah (CPO). Namun, kebijakan perdagangan di sana masih perlu didorong dalam skala besar.
Selama ini, aturan perdagangan di perbatasan berdasarkan Border Trade Agreement RI-Malaysia 1970. Warga perbatasan bisa berbelanja di Malaysia maksimal 600 ringgit atau setara dengan Rp 2 juta per orang per bulan. Itu pun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Namun, tidak untuk ekspor-impor dalam skala besar (normal trade).
Menurut Eddy, ekspor-impor skala besar saatnya diberlakukan di Entikong. Bahkan, harusnya sudah sejak Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan. Selain membuat dunia usaha daerah semakin berkembang, juga dapat meminimalkan penyelundupan barang.
Semakin jalur resmi dibuka, dapat semakin mudah mengawasi. Sebaliknya, jika jalur resmi itu tidak diberlakukan ekspor-impor skala besar maka oknum yang nakal akan memanfaatkan jalur tikus. Negara pun tidak mendapatkan pajak.